Agus Yuwantoro
(Pelukis dan Parfum ke-9)
Kurang
dua hari lagi aku mau mudik pulang kampung. Semua barang-barang sudah aku
peking dengan sempurna. Jajanan kesukaan biung sudah aku bungkus. Termasuk kopi
asli Bali pesanan Pakde Sarkum sudah aku masukkan dalam kardus bekas sarimi rasa
soto ayam bawang. Acara mudik sudah aku agendakan rutin setiap enam bulan
sekali. Terkadang kalau perasaan rinduku menggebu-gebu pada biung bisa dua
bulan pulang kampung. Hanya ingin membunuh rasa rinduku pada biung. Kali ini
aku pulang kampung ada dua acara. Pertama perayaan desaku yang diadakan setiap
setahun sekali. Kedua Pakde Sarkum mau mencalonkan lagi menjadi kepala desa
yang ketiga kalinya.
Tapi
menurut kabar burung tahun ini tidak ada saingan jagonya. Pilkades tahun ini
lawannya dengan kotak kosong. Demi menjaga citra martabat harga diri juga nama
baik keluarga besarannya Pakde Sarkum. Mengajak Pak Wagino untuk menjadi calon
pasangannya dalam pilkades. Semua biaya ditanggung Pakde Sarkum. Kebetulan Pak
Wagino ayahnya temen kecilku Supraptiwi. Bahkan pendidikannya hanya tamatan
esde. Belum pernah mengabdi pada masyarakat. Baik menjadi ketua erte, erwe
bahkan anggota Limas. Belum pernah. Semenjak usahanya membuat tempe bongkrek
khas makanan orang pinggiran. Bangkrut total. Sebab hasil olahan tempe bongkrek
membuat sebagian warga keracunan bahkan ada yang meninggal dunia.
Semenjak
kejadian itu tidak berani lagi membuat tempe bongkrek. Usaha apapun tetep gagal
total. Mungkin kena kutukan dari leluhur pendiri cikal bakal kampungnya.
Gara-gara olahan tempe bongkrek banyak yang keracunan dan tewas. Mau meleburkan
diri dari kesalahan dan dosanya lewat ritual ruwatan. Tidak punya biaya untuk
acara ruwatan. Ruwatan adalah ritual orang jawa asli dalam peleburan dosa lewat
muashabah introspeksi
diri sendiri dari semua pangkal kesalahannya.
Akhirnya
menjadi buruh tenaga tukang jemur cengkeh dan kopi miliknya bah Shiong. Juragan
cengkeh dan kopi juga pemilik toko mas di kota kecilku. Bab Shiong mampu
mengangkat derajat ekonominya yang hampir terpuruk ambruk. Usaha untuk membuat
tempe bongkrek dahulu modal dasar pinjam dari bang plecit. Untuk menutup semua
hutang piutangnya maka Pak Wagino menjadi kacung di rumahnya bah Shiong. Istrinya setiap
hari membantu masak, mencuci pakaian juga nyetrika baju keluarga bah Shiong. Tujuannya membantu
dan menambah penghasilan. Tapi semenjak Supraptiwi anak gadis satu-satunya ikut
bekerja keluarga besar bah
Shiong di Singapura ada berubah ekonominya. Setiap bulan selalu mengirim uang.
Sehingga terangkat dari lubang
hutang piutang dari bang plecit.
**
Rencana
mudik memakai jalur darat disamping murah sambil melihat panorama pemandangan alam yang natural.
Ketika bus berjalan melewati hutan, sawah, ladang juga deretan pohon mahoni
tumbuh kekar di setiap bibir jalan aspal. Sebagai bahan dasar sumber inspirasi
melukis tema pemandangan alam. Bus Nusantara lintas Jawa Bali berwarna hijau
leres kuning. Penuh lukisan pemandangan pantai di wilayah Bali. Sudah siap berjejer
rapi di depan pangkalan.
Jam
empat sore bersama merekahnya cahaya pelangi melengkung penuh warna di bawah
langit Bali. Aku masuk dalam bus pariwisata Nusantara. Duduk nomor tiga persis belakang
sopir. Semua barang sudah masuk dalam bagasi. Sambil duduk aku
siapkan buku gambar dan pensil 2B. Duduk sambil melukis sketsa suasana pos pangkalan
pemberangkatan Bus. Baik yang baru turun. Mau naik bus. Juga deretan penjual
kaki lima menawarkan dagangnnya. Manol. Kenek. Calo tiket bus. Sampai para bencong
mengamen dengan alat musik dari tutup botol minuman fanta dan coca cola.
Bibirnya dobleh memerah pipinya penuh bedak pantatnya genit bergoyang ke kanan ke kiri bahkan di goyangkan
ke depan
sambil nyrocos membawa lagu dang dut bang haji Oma Irama.
Para
sopir bus pariwisata ada yang sedang tiduran dalam bagasi di atas tikar
plastik. Kuli panggul lalu lalang membawa barang. Pengamen jalanan satu persatu
ngamen masuk Bus. Penjual salak bali manawarkan dagangannya di depan pintu
masuk bus. Tepat jam empat lebih sepuluh menit. Bus pariwisata berjalan
pelan-pelan. Belok ke kanan
sebelum masuk jalan besar. Aku melihat gadis kecil berambut panjang dengan pita
jingga. Melambaikan kedua tangannya ke arahku. Bahkan ada tulisan dari kertas
karton dikalungkan dalam lehernya bertuliskan.
“Hati-hati
di jalan ya Mas, sang pelukis jalanan.“
Hatiku
bergejolak rasanya ingin turun dari bus mengejar gadis kecil itu. Tetapi bus
tetap berjalan bahkan semakin cepat. Aku tetap menoleh pada gadis itu. Gadis
kecil itu terus melambaikan kedua tangannya. Bus tetap berjalan semakin cepat
menembus senja. Lama kelamaan mengilangkan pandanganku pada gadis itu di balik
kaca. Bus berjalan cepat menuju tujuannya. Aku sandarkan kepalaku pada jok.
Anganku melambung tinggi tersenyum sendiri. Aku tidak lupa gaya tulisannya
Supraptiwi. Di kertas karton itu tulisan spidol besar berwarna hitam.
Dikalungkan pada leher gadis kecil itu.
“Itu
kan tulisannya Supraptiwi, apakah dia di sini sedang ngecek toko mas miliknya
ayahnya bah Shiong, bener juga katanya si Jitong.“ Batinku sambil
tersenyum sendiri.
**
Mudik
atau pulang kampung adalah yang terindah dalam hidup ini. Bisa ketemu biung.
Keluarga. Teman-teman. Juga semua memori masa
kecilku. Aku dibesarkan di salah satu kampung kecil yang rata-rata penduduknya
adalah para pekerja buruh bangunan, pedagang, kusir dokar dan tukang becak.
Katanya rumah biung yang dahulu digusur kena proyek pembangunan bendungan raksasa.
Hampir
tujuh desa ditenggelamkan untuk proyek bendungan raksaksa tersebut. Salah
satunya adalah rumah juga tanah biung. Tapi itu cerita dari para kesepuhan.
Sebab selama ini aku belum sempat mencari informasi yang benar. Penggusaran
tanah dan rumah biung tidak mendapatkan ganti tanah. Sebab tidak punya tanda
bukti kepemilikan tanah. Sudah dua puluh empat tahun lalu. Jadi butuh nara
sumber yang tahu
persis kejadian itu.
“Kapan-
kapan akan aku cari sumber informasi yang akurat.“ Bisikku.
Bus
berjalan cepat menembus malam. Aku tertidur lelap sambil memeluk tas. Ketika
cahaya matahari bersinar cerah di atas plataran dinding langit memerah. Tanda
cahaya fajar tiba. Bus pariwisata masuk wilayah Jawa Tengah satu jam lagi
sampai di kota kecilku. Aku lepas jaketku. Memakai kaos kaki kemudian sepatu.
Tepat jam setengah tujuh pagi Bus berhenti. Semua penumpang turun di agen bus
pariwisata. Menunggu jemputan dari keluarga. Rumah biung dua kilo dari belakang
Terminal.
Aku
berjalan sambil membawa kardus
berisi oleh- oleh untuk keluarga. Berjalan lewat gang jalan sempit dengan
ukuran jalan setapak lebar satu meter. Komplek perumahan di sekitar terminal nyaris
tidak ada jarak bangunan rumah satu dan lainnya. Berdiri saling berhimpitan
tidak ada tanah kosong. Ketika aku masuk gang jalan menuju rumahku. Biung
dengan setia sudah menunggu kedatanganku. Duduk di pos gardu ronda kampungku.
Mungkin sehabis subuh sudah duduk manis menunggu kedatanganku. Terbukti biung
duduk sambil memeluk tas berisi mukena dan sajadah.
Aku
peluk biung. Bau badannya khas tanpa aroma parfum. Di saat memeluk rapat biung
seakan semua rasa capai hilang sirna di tengah pelukan biung.
“Syukur
slaman slumun waras slamet yo Mas.“
“Iya
Yung.“
“Mayoo
pulang sudah biung masakan kesukannmu.“
“Terima
kasih Yung.“
“Oseng-oseng
tempe gembus dengan campuran cabe hijau.“
“Makasih
Yung.“
Biung
masih memperlakukan aku seperti anak berumur lima tahun. Dengan setia menggandeng tanganku sangat
erat sekali. Seperti menuntun seorang anak kecil selagi belajar berjalan. Di
saat seperti inilah perasaan dan batin aku merasa bahagia sekali. Aku dan biung
sudah sampai rumah. Di depan kamar tamu di atas meja sudah tersedia tiga gelas
minuman teh hangat.
Ketika
aku masuk rumah di ruang tengah terdengar suara gadis kecil sedang membaca juz
amma. Gadis kecil si Sarmi yang selalu setia menemani biung di rumah.
“Mandi
dulu sana Mas.“
“Ya
Yung.“
“Itu
pakai air hangat biar seger badannya.“
“Ya
ya terima kasih Yung.“
Ketika
aku menaruh jaket, kardus,
sepatu, Sarmi mengampiri langsung berjabat tangan kemudian mencium tanganku
sambil menundukkan kepala sambil berucap.
“Terima
kasih ya Kak.“
“Iya
ya“
“Adik
doakkan kakak selalu diberikan rezeki yang banyak.”
“Amin
amin terima kasih ya Dik.“
“Iya
Kak.“
Kemudian
Sarmi mengambil sapu lidi. Ketika aku masuk kamar mandi terdengar suara gesekan sapu lidi
dengan tanah. Sarmi sedang menyapu halaman samping kanan kiri belakang dan
depan rumah. Semenjak ayah dan ibunya tewas dirampok di daerah jalan pantura.
Rencana mau setor satu truk gula jawa. Korban perampokan dan tewas di tempat. Satu bulan
kemudian aku minta izin pada biung untuk menjadi ayah asuh sampai sekarang.
Bahkan sekarang sudah naik kelas enam esde. Beberapa bulan lagi mau masuk
sekolah esempe.
Sehabis
mandi aku duduk di ruang tamu. Biung sudah setia menunggu duduk di ruang
tamu.
“Mas
enam bulan lagi ada pilihan kepala desa.“
“Iya
to Yung.“
“Laa
itu pakdhe Sarkum tidak ada calon pasangannya.“
“Lalu
gimana?“
“Rencana
si mau dipasang calon saingannya pak Wagino.“
“Pak
Wagino ya Yung.”
“Ya
itu lo Bapake temen kecilmu si Supraptiwi.“
“Apa
tidak ada calon jago lainny?
“
“Tidak
ada Mas.”
“Katanya
Mas Bowo ketua Karang Taruna mau nyalon Kades.“
“Iya
pada awalnya mau nyalon tapi tidak jadi.“
“Kenapa
Yung?“
“Laa
itu gara-gara uang listrik.“
“Maksud
Biung?“
“Itu
loo mas si Bowo kan dipasrahi mengumpulkan uang warga untuk
pasang listrik, ee malah tidak disetorkan ke PLN.“
“Kok
bisa ya Yung?“
“Ya
bisa Mas
sebab melihat uang banyak jadi lupa diri.“
“Lalu?“
“Ya
akhirnya ketua erte dan erwe juga pak Kadus lapor ke balai desa dilanjutkan ke
Polsek.”
“La
Mas Bowo sekarang dimana Yung?“
“Ya
dipenjara gara-gara nilep uang pasang listrik warga.“
“Oo
walah-walah.“
“Makanya
Mas
dari kecil biung tanamkan sifat jujur, ya jujur.“
“Iya
ya Yung.“
“Tu
contohnya Mas
Bowo sudah dibilangin sama pak de Sarkum untuk menjadi gantinya sebagai kader
penerus menjadi kades muda yang cerdas, pinter, berpendidikan, sarjanan, ketua
Karang Taruna. Eee malah tidak tahan melihat duwit. Malah nilep uang listrik
warga.”
“O
gitu to yung ceritanya “
“Iya
Mas.“
“Laa
Pak Wagino apa mau ya Yung,
jadi calon pasangannya pakde Sarkum.“
“Ya
mau tidak mau harus mau.“
“Maksudnya?“
“Kan
Pak Wagino cuma sebagai calon pasangannya sebab yang mendukung tentu saja tidak
ada.“
“Oo
gitu to Yung.“
“Iya
Mas. Pak Wagino hanya menjadi pasangan bayangannya pak de Sarkum. Dari pada
dengan kotak kosong kan keluarga besarnya pada malu Mas.“
“O
iya ya Yung.“
“Makanya
enam bulan lagi mas pulang ikut milih calon kepala desa ya.“
“Iya
ya Yung.“
“Nyoblos
pakde Sarkum aja ya Mas.“
“Gampang
lah Yung.“
“Jangan
gampang Mas
harus dukung pakde Sarkum lo?“
“Iya
ya Yung.“
“Nah
gitu, kampung sini seratus persen dukung pakde Sarkum kok Mas.“
“Ooo
gitu too Yung.“
“Iya
Mas.”
Sebetulnya
Pak Sarkum bukan garis kelurga dari biung. Tapi rata-rata semua warga kampungku
lebih suka memanggil pakde Sarkum dari pada memanggil pak Kades. Maka selama
ini aku dan biung memanggil pakde Sarkum. Ternyata pak Kades tidak keberatan di
panggil pakde. Kesannya malah semedhuluran. Sudah dua peride menjabat menjadi
kepala desa. Tapi desanya tetep ajeg tidak ada perkembangan sebab sudah
dibangun pola berpikir
pada setiap warga yang penting hidupnya pada guyup rukun. Tapi ada slentingan
sampai ke telingaku
kalau pakde Sarkum suka perawan tua. Apalagi janda muda yang baru selesai
menggugat cerai suaminya. Bahkan ada tiga perawan tua yang sudah dinikah siri.
Semua perangkat desanya sudah tahu tapi memilih diam. Sebab itu bukan urusan
desa. Masalah pribadinya jadi tidak ada untungnya ikut campur masalah
pribadinya.
Hampir
semua warga tidak mau repot mengurusi perilaku pakde Sarkum. Sebab ngurusi
kehidupan kebutuhuhan hidup harian saja sudah repot. Apa-apa serba mahal. Harga
tabung gas lima kiloan naik bahkan terkadang sangat sulit didapatkan. Belum
lagi harga minyak goreng satu kilo mahal sekali. Satu kilo nembus angka dua
puluh lima ribu rupiah. Harga beras satu kilo hanya dua belas ribu rupiah.
Belum lagi siaran radio dan televisi setiap hari menayangkan pejabat korup.
Bahkan tetap tersenyum dan melambaikan tangannya ketika memakai rompi berwarna
oranye
bertulis Tipikor.
Apapun
bentuknya desanya tidak mau tahu. Yang penting tidak banyak iuran untuk
kepentingan desa. Maka wajar pakde Sarkum masih banyak pendukungnya. Cukup
setiap setahun sekali warga wajib membayar pajak tanah dengan bukti SPPT yang
ditarik setiap dukuhan. Urusan maju mundurnya perkembangan kemajuan desa bukan
urusan warga. Itu urasan perwakilan warga atas nama ketua erte, erwe, kadus
tokoh pemuda, tokoh masyarakat, agamawan dan semua perangkat desa. Warga cukup
bekerja dan bekerja. Demi dapur ngepul keluarga di rumah bisa ngumpul. Slaman
slumun waras slamet wareg turu amblek.
Masalah
tatanan peta politik desa sampai tingkat Kecamatan, Kabupaten, Provinsi dan Pusat itu
urusaan para ahli bidangnya masing-masing. Warga cukup bekerja sesuai dengan
bidangnya. Pagi berangkat kerja pulang bisa beli beras untuk makan sekeluarga
di rumah.
Cukup lima tahun sekali kewajiban warga klas pinggiran. Datang ke bilik
pemungutan suara. Baik memilih anggota dewan Kabupaten, Provinsi dan Pusat. Nyoblos
gambar calon pasangan Bupati dan wakil Bupati. Nyoblos calon Gubernur dan wakil
Gubernur. Sampai pilihan Presiden dan wakil Presiden.
Orang-
orang pinggiran seperti warga kampungku. Siapaun yang terpilih dan jadi
dilantik. Itulah yang terbaik dan hebat. Itu saja. Yang lainnya tidak paham.
Apa lagi visi dan misi juga program. Sudah paham betul janji dan kenyataan jauh
berbeda. Tetap jalannya masih rusak total. Harga sembako dari hari kehari
mahal. Biaya kesehatan mahal. Warga kampungku cuma ingin hidup layak sejahtera.
Adem ayem turu amblek. Apa-apa serba murah. Aman. Guyup rukun tanpa ada konflik
di klas para elit politik atas. Sebab tidak paham bahasa dan
maknanya.
Apa
lagi yang namanya gogol pilkades. Tim sukses pilkada pilgub. Sampai tim
kemenangan apa saja namanya tetep tidak paham. Yang paham beras habis harus
kerja dan kerja. Untuk nempur beras. Bayar listrik dan air. Beli tabung gas dan
minyak goreng.
Lebih
dari paham dan khatam dalam memperjuangan hidupnya dari pada seorang gogol
pilkades, tim sukses juga tim kemenangan hidup dalam ketiak sang pemenang. Di
tengah nuansa aura politik yang berterbangan bebas di udara Negeri yang namanya entah
berantah.
AGUS YUWANTORO, Lahir di Prambanan 5 Agustus 1965, Pendidikan Terakhir S2 di Unsiq Prop Jateng. Prodi Magister Pendidikan Agama Islam 2009, anggakatan ke 2. Tahun 2010 mendapatkan penghargaan Bapak Gubernur Jawa Tengah, juara pertama menulis sajak dan puisi dalam rangka peringatan 100 Tahun Meninggalnya Presiden RI Pertama Bung Karno juga mendapatkan Piagam kehormatan dari Panitia Pusat Jakarta an. Prof.DR.H. Soedijarto, MA, Aktif nulis fiksi sudah 25 Buku Antologi baik puisi dan cerpen sudah terbit. 3 buku solonya,Antalogi Puisi dengan judul “Tembang Sepi Orang Orang Pinggiran”. Antalogi Cerpen “ Kembang Kertas Nulis Novel berjudul Gadis Bermata Biru setebal: 250 halaman. Alamat Penulis Gedangan RT.08 / RW.05. Ds. Pecekelan.Kec.Sapuran.Wonosobo,Jateng.WA : 081325427232.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar