Etty Sukaptiningsih
Saat waktu bergulir terlihat sisa cahaya dari matahari yang membaur
dengan kegelapan malam yang mulai datang. Meraka menyatu dan membuat langit
seakan-akan berwarna oranye dan sangat indah.Tampak di teras rumah yang
sederhana Budi dan Asih sepasang suami istri duduk di singgasana yang antik asyik
bercakap-cakap.
”Tak terasa lusa acara pertunangan Dewi
ya Bun,” kata Budi suamiku sambil menyeruput kopi hangat.
”Ya Yah,semoga bejalan mulus dan lancar
ya?” jawab aku dengan tenang.
“Bu, Dewi sudah pesen
snack buat acara besok malam,” kata Dewi ketika aku sedang membersihkan dapur.
”Apa tidak sebaiknya kita bikin sendiri
saja,biar lebih irit,” jawabku sambil mencuci piring.
”Biar lebih praktis, Bu” jawab Dewi singkat.
“Terserah yang terbaik menurut kamu,” saut aku singkat.
Aku nikah dengan ayahnya Dewi lima tahun
yang lalu, usiaku lima tahun lebih tua dari suamiku. Suami memiliki putri semata
wayang, aku memiliki dua anak yang sulung perempuan sudah bekerja di Jakarta yang
kedua masih duduk di kelas XII SMA. Aku dan Dewi beda rumah tapi masih tetangga desa. Suami sehari dirumahku
dan hari berikutnya di rumah Dewi rumah saat dengan istri pernikahan pertama
begitu seterusnya kehidupannya,bagaikan suami beristri dua pembagian waktunya
harus adil. Sesekali aku ikut menginap di rumah Dewi terutama jika ada acara keluarga
suamiku.
***
Salju tipis melapis rumput, putih berkilau dan
bayang matahari pagi yang memantul. Angin bertiup mempermainkan daun-daun berguguran dan menderaikan bulu-bulu burung
berwarna kuning kecokelatan
yang sedang meloncat-loncat dari satu ranting ke ranting yang lain. Tampak di ruang keluarga sibuk
dua perjaka membuat dekorasi merangkai bunga dalam tembok dengan tirai putih
kombinasi abu-abu. Ruangan
tersulap dalam waktu sekejap, sementara
aku tetap menjalankan aktivitas
seperti biasa menunaikan kewajiban sebagai ASN di sebuah sekolah menengah di
kota kecamatan. Di
dapur tampak dua wanita sedang mempersiapkan menu buat menjamu tamu nanti
malam. Kebetulan ada
jam kosong aku membeli nasi beserta laluk buat makan yang buat dekorasi dan
orang yang bekerja di rumah.
”Yah tolong ke mari ambil makan buat yang kerja,” kataku melalui handphone.
”Baik Bun,” jawab
suamiku dari sebrang.
Pulang dari kerja aku meluncur mengambil pesanan
cireng (jajan yang terbuat dari aci yang diisi dengan daging terbalut panir) buat
oleh-oleh calon besan dan ke penjahit mengambil baju batik sarimbit dengan
suami. Dengan kardus
besar kubawa dengan motor butut dengan kecepatan tinggi karena waktu sudah
menjelang sore,
masih banyak persiapan yang belum terselsaiakan. Untung sore itu langit sangat cerah
”Yah, tolong anter aku ke Perum mau ambil kue bolu buat
tambahan oleh-oleh,” kataku pada suami.
”Ya, aku
istirahat dulu sambil menunggu rombongan keluarga Kulonprogo datang,” sahut suamiku datar. Tak lama kemudian rombongan keluarga mantan mertua suamiku dari Kulonprogo datang, setelah kupersilakan masuk dan
bincang-bincang sambil menikmati teh hangat. Hujan mulai reda.
”Pak, Bu saya tinggal dulu sebentar mau ke rumah ganti baju, silakan istirahat dulu,” kataku sambil menunjuk kamar kosong dengan yang sudah tertata rapi sengaja aku
disediakan.
”Pesen bolu siapa Bun?”,tanya suamiku dalam perjalanan pulang.
”Bu Fatonah Yah,” ,jawabku
singkat.
”Waduh tidak enak, memalukan!” seru Suamiku dengan nada tinggi. Aku hanya diam karena sudah tahu
karakter suami kalau dijawab pasti akan terjadi perang bratayuda.
”Bukannya terimaksih malah mencaci maki,” kata batinku. Untung segera sampai di rumah. Kue bolu sudah berada di meja
teras. Aku bergegas
membersihkan tubuh setelah itu rebahan sebentar.
”Ayo cepat beres-beres kita pulang tidak enak
terlalu lama,” ajak suamiku tidak sabar.
”Siap,” jawabku
dengan singkat.
***
Kala
malam itu begitu terang, yang berhias dengan bulan dan taburan bintang yang
meramaikan suasana malam hari ini. Begitu bahagianya langit malam itu. Rombongan calon besan datang, ada perasaan perang berkecamuk di hati dan rasa
was-was terkait dengan persediaan snack karena jumlah personal yang datang diluar
dugaan dua kali lipat dari yang disebutkan utusan dua hari sebelumnya. Semua rombongan sudah saya persilakan duduk. Suami masuk di ruang pelaminan meninggalkan aku
sendiri di tengah – tengah keramaian
tamu undangan. Ternyata
dugaanku tidak meleset snack kurang, dengan gerak cepat aku persiapkan snack buat keluarga inti calon besan
dan keluarga yang duduk di dalam. Setelah semua teratasi, aku menuju ke dapur Aku terasa seorang diri dengan wajah yang muram dan sesekali buliran
air bening tak kuasa kubendung. Sesekali kuusapkan tisu ke wajahnya, dan kutebarkan senyum saat ada orang menyapaku.
”Aku
harus bersandiwara di depan mereka,” batin aku. Semuanya menghilang. Entah apa yang sedang terjadi? Apa ini
mimpi, atau memang kenyataan yang harus aku hadapi.
Malam
itu, 13 Januari, Kamis, merupakan
hari pertunangan Dewi anak tiriku. Sebelumnya, aku mengharapkan jika hariku
akan mekar ketika hari pertunangan putriku tiba. Namun, semua itu sepertinya
hanya di anganku saja. Harapanku bagaikan seonggok sampah menumpuk di tong
sampah dan siap diangkut menuju tempat pembuangan sampah akhir oleh petugas.
Ya, sepertinya begitu pula dengan anganku itu. Mungkin aku harus membuang semua
pembuanganku itu agar tak menumpuk lebih banyak harapan yang akan membuatku
kecewa pada waktunya? Di pelaminan sepasang muda mudi sudah siap acara penyematan cincin di
jari manis masing-masing pemuda yang sedang mabuk asmara.Semua tamu undangan
sudah hadir semua.
“Bun nanti tamu dipersilahkan duduk ya,” pertintah suamiku dengan kalimat yang datar. Kemudian suamiku masuk ruang pelaminan bergabung
dengan keluarga nenek Dewi dari Kulonprogo tanpa menghiraukanku.
”Sih kok
masih di luar belum gabung dengan keluarga?” Aku dikejutkan oleh Hermawan teman SMA, dia pakdhe dari Syarif calon suami Dewi.
”Tidak,” jawabku gugup. Ada rasa perih di dada bagai disayat sembilu dan buliran air dari mata
mulai bercucuran tak kuasa kubendung.
“Sekarang
saatnya penyematan cincin kepada kedua orang tua masing-masing segera
menempatkan diri,” pembawa acara
membacakan susunan acaranya,suara begitu nyaring tapi tidak bagiku. Aku hanya mengelus dada yang terasa sesak sambil
istighfar. Ibu mantan mertua didampingi suamiku berdiri memasukan
cincin ke jari manis Syarif dilanjut dengan peluk cium. Itu aku tahu dari rekaman vidio amatir
keponakan yang dengan khikmat mengikuti jalanya upacara pertunangan.
Baiklah,
mungkin ini suratan takdir sebagai ibu
tiri yang harus aku jalani. Saya tahu semua harapan yang kita
impikan tidak harus terwujud sempurna seperti apa yang kita harapkan.
“Mengapa semua berubah dari skenario sebelumnya setelah
aku mempersiapkan segalanya oleh suamiku? Apa aku salah jika ikut mendampingi anak tiriku yang sudah
kuanggap seperti anak kandung di saat bahagia? Lalu untuk apa dengan aku beli baju sarimbit
dengan suami kalau di puncak acara posisiku di dapur. Aku rela keberadaanku
terabaikan oleh suami dan Dewi asal mereka bahagia walau kalbu terasa pedih
karena sudah dicampakkan begitu saja. Tapi mengapa suamiku tega melakukan menjadi seperti ini?” kalimat itu yang
kuucapkan. Di depan
keluarga mantan mertua suamiku justru mencampakanku, hatiku hancur
berkeping-keping, aku tak ada harganya sama sekali.
Sayang
sekali, suasana malam yang indah dan penuh harapan itu berubah menjadi malam
kelabu dan kehampaan. Ya, semuanya berubah begitu saja. Suami, yang sekian lama
setia untuk selalu memberiku kasih sayang dan perhatiannya pun pudar. Semua
menjadi hambar rasanya, dan malam itu pun aku merasa tak kuat membendung air yang terus memaksakan untuk melihat ke luar,
melihat indahnya malam itu. Namun aku tetap berusaha membendungnya, aku tak mau
jika air itu ke luar dan melihat apa yang telah terjadi pada diri ini dan
suasana akan semakin mencekam dan air itu pasti akan terus mengajak pasukannya
ke luar untuk melihat semuanya yang terjadi.
Aku tak
menginginkan semua itu terjadi. Aku tak
kuasa menahan tangis itu. Aku biarkan butiran air membasahi pipiku, kemudian membanjiri wajah ini. Dengan
demikian aku berharap mereka puas, maka mereka akan segera berhenti bermain di
wajahku. Namun, mereka tak kunjung henti melakukan hal itu, mereka semakin
banyak mengeluarkan pasukannya untuk melihat semua ini. Aku bangkit, aku ingin
bangkit! Aku tak akan membiarkan malam yang menawan ini berubah menjadi kelabu
karena perasaan kecewa dan sakit hatiku yang sangat mendalam. Aku hanya diam dalam tangis ini kulalakukan semata-mata aku
tidak mau merusak malam bahagia anak tiriku.
Pofil Penulis
Panggilan
sehari-hari Nining,lengkapnya Etty Sukaptiningsih, Lahir di Purbalingga,5 juni
1970.Bekerja di SMPN 1 Kaligondang.Sekarang tinggal di Perum Griya Romansa Blok
A.01 Kembaran Wetan Kaligondang Purbalingga 53391
Ceritanya menyedihkan Bu Etty, semangat menulis
BalasHapus