Sabtu, 19 Februari 2022

Malam Tunangan Putriku

 

                                       

pixabay.com

Etty Sukaptiningsih

 

Saat waktu bergulir terlihat sisa cahaya dari matahari yang membaur dengan kegelapan malam yang mulai datang. Meraka menyatu dan membuat langit seakan-akan berwarna oranye dan sangat indah.Tampak di teras rumah yang sederhana Budi dan Asih sepasang suami istri duduk di singgasana yang antik asyik bercakap-cakap.

”Tak terasa lusa acara pertunangan Dewi ya Bun, kata Budi suamiku sambil menyeruput kopi hangat.

”Ya Yah,semoga bejalan mulus dan lancar ya? jawab aku dengan tenang.

“Bu, Dewi sudah pesen snack buat acara besok malam, kata Dewi ketika aku sedang membersihkan dapur.

”Apa tidak sebaiknya kita bikin sendiri saja,biar lebih irit, jawabku sambil mencuci piring.

”Biar lebih praktis, Bu” jawab Dewi singkat.

Terserah yang terbaik menurut kamu, saut aku singkat.

Aku nikah dengan ayahnya Dewi lima tahun yang lalu, usiaku lima tahun lebih tua dari suamiku. Suami memiliki putri semata wayang, aku memiliki dua anak yang sulung perempuan sudah bekerja di Jakarta yang kedua masih duduk di kelas XII SMA. Aku dan Dewi beda rumah tapi masih tetangga desa. Suami sehari dirumahku dan hari berikutnya di rumah Dewi rumah saat dengan istri pernikahan pertama begitu seterusnya kehidupannya,bagaikan suami beristri dua pembagian waktunya harus adil. Sesekali aku ikut menginap di rumah Dewi terutama jika ada acara keluarga suamiku.

***

Salju tipis melapis rumput, putih berkilau dan bayang matahari pagi yang memantul. Angin bertiup  mempermainkan daun-daun  berguguran dan menderaikan bulu-bulu burung berwarna kuning kecokelatan yang sedang meloncat-loncat dari satu ranting ke ranting yang lain. Tampak di ruang keluarga sibuk dua perjaka membuat dekorasi merangkai bunga dalam tembok dengan tirai putih kombinasi abu-abu. Ruangan tersulap dalam waktu sekejap, sementara aku tetap menjalankan aktivitas seperti biasa menunaikan kewajiban sebagai ASN di sebuah sekolah menengah di kota kecamatan. Di dapur tampak dua wanita sedang mempersiapkan menu buat menjamu tamu nanti malam. Kebetulan ada jam kosong aku membeli nasi beserta laluk buat makan yang buat dekorasi dan orang yang bekerja di rumah.

”Yah tolong ke mari ambil makan buat yang kerja,” kataku melalui handphone.

”Baik Bun, jawab suamiku dari sebrang.

Pulang dari kerja aku meluncur mengambil pesanan cireng (jajan yang terbuat dari aci yang diisi dengan daging terbalut panir) buat oleh-oleh calon besan dan ke penjahit mengambil baju batik sarimbit dengan suami. Dengan kardus besar kubawa dengan motor butut dengan kecepatan tinggi karena waktu sudah menjelang sore, masih banyak persiapan yang belum terselsaiakan. Untung sore itu langit sangat cerah

”Yah, tolong anter aku ke Perum mau ambil kue bolu buat tambahan oleh-oleh, kataku pada suami.

”Ya, aku istirahat dulu sambil menunggu rombongan keluarga Kulonprogo datang, sahut suamiku datar. Tak lama kemudian rombongan keluarga mantan mertua suamiku dari Kulonprogo datang, setelah kupersilakan masuk dan bincang-bincang sambil menikmati teh hangat. Hujan mulai reda.

”Pak, Bu saya tinggal dulu sebentar mau ke rumah ganti baju, silakan istirahat dulu, kataku sambil menunjuk kamar kosong dengan  yang sudah tertata rapi sengaja aku disediakan.

”Pesen bolu siapa Bun?”,tanya suamiku dalam perjalanan pulang.

”Bu Fatonah Yah, ,jawabku singkat.

”Waduh tidak enak, memalukan!” seru Suamiku dengan nada tinggi. Aku hanya diam karena sudah tahu karakter suami kalau dijawab pasti akan terjadi perang bratayuda.

”Bukannya terimaksih malah mencaci maki,” kata batinku. Untung segera sampai di rumah. Kue bolu sudah berada di meja teras. Aku bergegas membersihkan tubuh setelah itu rebahan sebentar.

”Ayo cepat beres-beres kita pulang tidak enak terlalu lama, ajak suamiku tidak sabar.

”Siap, jawabku dengan singkat.

***

Kala malam itu begitu terang, yang berhias dengan bulan dan taburan bintang yang meramaikan suasana malam hari ini. Begitu bahagianya langit malam itu. Rombongan calon besan datang, ada perasaan perang berkecamuk di hati dan rasa was-was terkait dengan persediaan snack  karena jumlah personal yang datang diluar dugaan dua kali lipat dari yang disebutkan utusan dua hari sebelumnya. Semua rombongan sudah saya persilakan duduk. Suami masuk di ruang pelaminan meninggalkan aku sendiri  di tengah – tengah keramaian tamu undangan. Ternyata dugaanku tidak meleset snack kurang, dengan gerak cepat aku persiapkan snack buat keluarga inti calon besan dan keluarga  yang duduk di dalam. Setelah semua teratasi, aku menuju ke dapur Aku terasa seorang diri  dengan wajah yang muram dan sesekali buliran air bening tak kuasa kubendung.  Sesekali kuusapkan tisu ke wajahnya, dan kutebarkan senyum saat ada orang menyapaku.

”Aku harus bersandiwara di depan mereka, batin aku. Semuanya menghilang. Entah apa yang sedang terjadi? Apa ini mimpi, atau memang kenyataan yang harus aku hadapi.

Malam itu, 13 Januari, Kamis, merupakan hari pertunangan Dewi anak tiriku. Sebelumnya, aku mengharapkan jika hariku akan mekar ketika hari pertunangan putriku tiba. Namun, semua itu sepertinya hanya di anganku saja. Harapanku bagaikan seonggok sampah menumpuk di tong sampah dan siap diangkut menuju tempat pembuangan sampah akhir oleh petugas. Ya, sepertinya begitu pula dengan anganku itu. Mungkin aku harus membuang semua pembuanganku itu agar tak menumpuk lebih banyak harapan yang akan membuatku kecewa pada waktunya? Di pelaminan sepasang muda mudi sudah siap acara penyematan cincin di jari manis masing-masing pemuda yang sedang mabuk asmara.Semua tamu undangan sudah hadir semua.

“Bun nanti tamu dipersilahkan duduk ya,” pertintah  suamiku dengan kalimat yang datar. Kemudian suamiku masuk ruang pelaminan bergabung dengan keluarga nenek Dewi dari Kulonprogo tanpa menghiraukanku.

”Sih kok masih di luar belum gabung dengan keluarga?” Aku dikejutkan oleh Hermawan teman SMA, dia pakdhe dari Syarif calon suami Dewi.

”Tidak, jawabku gugup. Ada rasa perih di dada bagai disayat sembilu dan buliran air dari mata mulai bercucuran tak kuasa kubendung.

“Sekarang saatnya penyematan cincin kepada kedua orang tua masing-masing segera menempatkan diri, pembawa acara membacakan susunan acaranya,suara begitu nyaring tapi tidak bagiku. Aku hanya mengelus dada yang terasa sesak sambil istighfar. Ibu mantan mertua didampingi suamiku berdiri memasukan cincin ke jari manis Syarif dilanjut dengan peluk cium. Itu aku tahu dari rekaman vidio amatir keponakan  yang dengan khikmat mengikuti  jalanya upacara pertunangan.

Baiklah, mungkin ini suratan takdir  sebagai ibu tiri  yang harus aku jalani. Saya tahu semua harapan yang kita impikan tidak harus terwujud sempurna seperti apa yang kita harapkan.

Mengapa semua berubah dari skenario sebelumnya setelah aku mempersiapkan segalanya oleh suamiku? Apa aku salah  jika ikut mendampingi anak tiriku yang sudah kuanggap seperti anak kandung di saat bahagia? Lalu untuk apa dengan aku beli baju sarimbit dengan suami kalau di puncak acara posisiku di dapur. Aku rela keberadaanku terabaikan oleh suami dan Dewi asal mereka bahagia walau kalbu terasa pedih karena sudah dicampakkan begitu saja. Tapi mengapa suamiku tega melakukan  menjadi seperti ini?” kalimat itu yang kuucapkan. Di depan keluarga mantan mertua suamiku justru mencampakanku, hatiku  hancur berkeping-keping, aku tak ada harganya sama sekali.

Sayang sekali, suasana malam yang indah dan penuh harapan itu berubah menjadi malam kelabu dan kehampaan. Ya, semuanya berubah begitu saja. Suami, yang sekian lama setia untuk selalu memberiku kasih sayang dan perhatiannya pun pudar. Semua menjadi hambar rasanya, dan malam itu pun aku merasa tak kuat membendung air yang terus memaksakan untuk melihat ke luar, melihat indahnya malam itu. Namun aku tetap berusaha membendungnya, aku tak mau jika air itu ke luar dan melihat apa yang telah terjadi pada diri ini dan suasana akan semakin mencekam dan air itu pasti akan terus mengajak pasukannya ke luar untuk melihat semuanya yang terjadi.

Aku tak menginginkan semua itu terjadi. Aku tak kuasa menahan tangis itu. Aku biarkan butiran air membasahi  pipiku, kemudian membanjiri wajah ini. Dengan demikian aku berharap mereka puas, maka mereka akan segera berhenti bermain di wajahku. Namun, mereka tak kunjung henti melakukan hal itu, mereka semakin banyak mengeluarkan pasukannya untuk melihat semua ini. Aku bangkit, aku ingin bangkit! Aku tak akan membiarkan malam yang menawan ini berubah menjadi kelabu karena perasaan kecewa dan sakit hatiku yang sangat mendalam. Aku hanya diam dalam tangis ini kulalakukan semata-mata aku tidak mau merusak malam bahagia anak tiriku.

 

Pofil Penulis



Panggilan sehari-hari Nining,lengkapnya Etty Sukaptiningsih, Lahir di Purbalingga,5 juni 1970.Bekerja di SMPN 1 Kaligondang.Sekarang tinggal di Perum Griya Romansa Blok A.01 Kembaran Wetan Kaligondang Purbalingga 53391

 

     

    

   

1 komentar: