Kamis, 17 Februari 2022

Jitong Pamit Pulang

 

pixabay


( Pelukis dan Parfum ke 8 )

Agus Yuwantoro

 

       Tepat hari Sabtu Wage jam sembilan pagi aku dan Jitong sehabis sarapan nasi goreng lauk dadar telur bebek dan kerupuk rambak. Jitong mau pamit pulang. Dagangannya habis manis laris dibeli beberapa turis yang sedang liburan di Bali. Ada tiga puluh lima batu akik yang ditaruh dalam kotak khusus. Berbalut kain bludru berwarna merah. Tempat meletakkan cincin batu akik habis terjual. 

      Ada beberapa macam batu akik dari Garut Jawa Barat dengan nama panca warna Garut. Dari Kabupaten Solok Selatan bernama batu akik sungai dareh. Dari pulau Kasiruta Maluku Utara bernama batu akik Bacan. Dari Pacitan Jawa Timur bernama batu akik Kalsedon. Dari Kecamatan Tirtomoyo Wonogiri bernama batu akik Fayer oval. Dari Kecamatan Karanggayam Kebumen nama batu akik badar besi merah dan hijau. Dari Lebak Banten batu akik bernama kalimaya. Dari Purbalingga di sungai Klawing dengan nama batu akik panca warna klawing.

     Jitong tersenyum-senyum padaku sambil menepuk pundakku.

    “Terima kasih atas bantuannya dua hari makan tidur di sini ya Mas.”

    “Sama sama Tong bisanya seperti ini.

    “Ini sudah luar biasa, Mas.

    “Iya Tong.

   “Cincin batu akik habis terjual semuanya.

   “Malah turis dari Jepang pesen batu giok Jawa  asli.

    “Apa ada Tong?

    “Ada.

    “Pesennya di mana?

   “Di Nusakambangan Cilacap.

   “Nusakambangan?

   “Iya Mas.

   “Bukankah Nusakambangan itu penjara?

   “Betul penjara tapi di sana para napi diberikan keterampilan mengolah berbagai macam nama batu, menjadi batu akik yang bagus termasuk diantaranya mampu mengolah bungkakan batu giok Jawa menjadi batu yang indah bagus dan mahal.

    “Bahan bakunya dari mana Tong?

    “Ya di perut bumi Nusantara bukan hanya batu giok jawa, ada batu akik siam merah, hijau, biru, bahkan batu akik jamrut katulistiwa itu belum seberapa bahkan di luar jawa sumbernya batu akik yang bagus juga istimewa.

    “Bener juga kamu Tong.

    “Makanya dulu waktu babat tanah jawa para raja-raja Jawa mesti memakai cincin batu akik seperti batu akik pasir emas tapak jalak, badar, kecubung ungu, sulaiman, mata kucing sehingga terkenal sampai negara Cina dan Eropa.

  “Loo kok tahu kamu Tong?

  “Ya belajar sejarah Mas, batu akik tidak hanya dipakai tapi juga sebagai hiasan di batang keris, tumbak, sabuk sampai liontin para anak-anak raja di Jawa.

   “Hebat kamu Tong.

   “Makanya tidak usah menjadi pelukis, menjadi penjual cincin batu akik sajalah mas, nih hasil penjualanku.

   “Terima kasih Tong.

   “Mau po gak, ni ada batu permata yang harganya satu karat sampai milyaran.

  “Batu apaan Tong?

   “Mau tau?

   “Iya lah.

  “Diantaranya adalah batu permata Jadeite dari Madakasar Meksiko dan Blue Diamand dari daerah pedalaman India harga satu karatnya milyaran Mas.

  “Sudah pernah lihat, po?

  “Sudah di album khusus batu permata termahal di dunia, mau gak jadi penjual batu akik Mas?

 “Gak lah tetep jadi pelukis.

 “Okelah kalau begitu,jawab Jitong sambil memelukku rapat.

     Sebelum pergi Jitong membuka bekasi mengambil satu kantong beras raja lele dua puluh kilo. Bersama bungkusan kopi, teh, gula dan dua jrigen minyak goreng lima kiloan. Diambil lalu ditaruh di depan teras rumah kontrakanku.

    “Terima kasih ya Mas, selamat menjadi pelukis.

   “Ya ya.

    “Kapan-kapan aku ajak tamasya ke daerah lumpur lapindo Sidoarjo.

   “Siap Ton.

   “Melukis lumpur lapindo yang menenggelamkan rumah rumah penduduk”

   “Dengan senang hati Tong.

      Jitong masuk mobil Gran Mex Diatsu Tahun 2019 berwarna hitam dengan tulisan kaca belakang Jitong dengan gaya tulisan Jepang. Kemudian tersenyun melambaikan tangan sambil memakai kaca mata khas pilot pesawat tempur. Dengan memakai topi bagong berwarna hitam juga bertulis Jitong. Ia pamit pulang meninggalkan aku. 

       Jitong teman kecilku di kampung terkenal spesial pencuri buah-buhaan. Sekarang sudah dewasa menjadi pedagang penjual cincin batu akik di setiap kota. Bahkan mampu menguasi pasar sebagai pemasuk batu hias untuk liontin di beberapa toko mas terkenal. Aku ingin sekali melihat situasi kondisi lumpur lapindo dari dekat. Tidak lewat layar televisi atau berita koran dan majalah.

      Jitong menawarkan aku untuk melihat langsung ledakan lumpur lapindo di Sidoharjo Jawa Timur. Bahkan disuruh melukis letupan gerakan lumpur lapindo. Menengelamkan beberapa desa. Rumah penduduk. Tanah pekarangan, sawah kebun sekolahan tempat ngaji anak-anak bahkan beberapa makam leluhur. Pada musim ziarah leluhurnya keluarganya yang masih hidup cukup naik prau dayung. Kemudian di atas prau dayung membaca doa-doa untuk leluhurnya. Setelah itu tabur bunga di atas desa yang sudah tenggelam sebab lumpur lapindo.

     Akibat lumpur lapindo menenggelamkan ratusan rumah penduduk. Hanyut tenggelam bersama ribuan impian semua warga desa. Ramai - ramai menuntut ganti rugi semua aset yang tenggelam. Dana pun cair sebagai ganti rugi. Tapi tidak sesuai dengan harapan. Ratusan kepala tertunduk menerima apa adanya. Dari pada sama sekali tidak menerima ganti rugi. Di balik suara tangisan yang disembunyikan dalam kotang dan sarung.

      Satu persatu warga pribumi pergi meninggalkan kampung dan desa warisan dari leluhurnya. Sekarang tenggelam. Bahkan nyaris tidak kelihatanan lagi genteng rumahnya. Lapangan tempat bermain warga. Pasar tiban tempat bertemunya penjual pembeli tradisional. Batu nisan leluhurnya. Sekolahan tempat belajar bocah-bocah dengan seragam merah putih. Hilang. Tenggelam. Sepi sunyi tanpa suara tangisan. 

     Perkembangan zaman mengubah pola berpikir manusia juga peradaban. Lumpur lapindo menjadi tempat wisata. Semua berdatangan dari penjuru luar kota. Ramai - ramai ingin melihat indahnya panorama pemandangan lumpur lapindo dari dekat. Tanpa berpikir ada beberapa aset warga yang tenggelam dalam dasar lumpur lapindo. Semua warga pergi entah ke mana perginya. Tidak jelas alamatnya. Bahkan tidak bisa berkumpul lagi hidup berdampingan satu erte, erwe, kampung. Berpencar mengadu nasib sesuai dengan garis hidupnya masing - masing. Pergi semuanya gara - gara lumpur lapindo menenggelamkan rumah juga semua impiannya di tanah leluhurnya.   




AGUS YUWANTORO, Lahir di Prambanan 5 Agustus 1965, Pendidikan  Terakhir S2 di Unsiq Prop Jateng. Prodi Magister Pendidikan Agama Islam 2009, anggakatan ke 2. Tahun 2010 mendapatkan penghargaan Bapak Gubernur Jawa Tengah, juara pertama menulis sajak dan puisi dalam rangka peringatan 100 Tahun Meninggalnya Presiden RI Pertama Bung Karno juga mendapatkan Piagam kehormatan dari Panitia Pusat Jakarta an. Prof.DR.H. Soedijarto, MA, Aktif nulis fiksi sudah 25 Buku Antologi baik puisi dan cerpen sudah terbit. 3 buku solonya,Antalogi Puisi dengan judul “Tembang Sepi Orang Orang Pinggiran”. Antalogi Cerpen “ Kembang Kertas  Nulis Novel berjudul Gadis Bermata Biru setebal: 250 halaman. Alamat Penulis  Gedangan RT.08 / RW.05. Ds. Pecekelan.Kec.Sapuran.Wonosobo,Jateng.WA : 081325427232.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar