pixabay
( Pelukis dan Parfum ke 8 )
Agus Yuwantoro
Tepat
hari Sabtu
Wage
jam sembilan pagi aku dan Jitong sehabis sarapan nasi goreng lauk dadar telur bebek dan kerupuk
rambak. Jitong mau pamit pulang. Dagangannya habis manis laris
dibeli beberapa turis yang sedang liburan di Bali. Ada tiga puluh lima batu
akik yang ditaruh dalam kotak khusus. Berbalut kain bludru berwarna merah.
Tempat meletakkan cincin batu akik habis terjual.
Ada
beberapa macam batu akik dari Garut Jawa Barat dengan nama panca warna Garut.
Dari Kabupaten Solok Selatan bernama batu akik sungai dareh. Dari pulau
Kasiruta Maluku Utara bernama batu akik Bacan. Dari Pacitan Jawa Timur bernama
batu akik Kalsedon. Dari Kecamatan Tirtomoyo Wonogiri bernama batu akik Fayer
oval. Dari Kecamatan Karanggayam Kebumen nama batu akik badar besi merah dan
hijau. Dari Lebak Banten batu akik bernama kalimaya. Dari Purbalingga di sungai
Klawing dengan nama batu akik panca warna klawing.
Jitong
tersenyum-senyum padaku sambil menepuk pundakku.
“Terima
kasih atas bantuannya dua hari makan tidur di sini ya Mas.”
“Sama
sama Tong bisanya seperti ini.“
“Ini
sudah luar biasa, Mas.“
“Iya
Tong.”
“Cincin
batu akik habis terjual semuanya.“
“Malah
turis dari Jepang pesen batu giok Jawa asli.“
“Apa
ada Tong?“
“Ada.“
“Pesennya
di mana?“
“Di
Nusakambangan Cilacap.“
“Nusakambangan?“
“Iya
Mas.“
“Bukankah
Nusakambangan itu penjara?“
“Betul
penjara tapi di sana para napi diberikan keterampilan mengolah
berbagai macam nama batu, menjadi batu akik yang bagus termasuk diantaranya mampu mengolah bungkakan
batu giok Jawa menjadi batu yang indah bagus dan mahal.“
“Bahan bakunya dari mana
Tong?“
“Ya
di perut bumi Nusantara bukan hanya batu giok jawa, ada batu akik siam merah,
hijau, biru, bahkan
batu akik jamrut katulistiwa itu belum seberapa bahkan di luar jawa sumbernya
batu akik yang bagus juga istimewa.“
“Bener
juga kamu Tong.“
“Makanya
dulu waktu babat tanah jawa para raja-raja Jawa mesti memakai cincin batu akik
seperti batu akik pasir emas tapak jalak, badar, kecubung ungu, sulaiman, mata
kucing sehingga terkenal sampai negara Cina dan Eropa.“
“Loo
kok tahu kamu Tong?”
“Ya
belajar sejarah Mas, batu akik tidak hanya dipakai tapi juga sebagai hiasan di
batang keris, tumbak, sabuk sampai liontin para anak-anak raja di Jawa.“
“Hebat
kamu Tong.“
“Makanya
tidak usah menjadi pelukis, menjadi penjual cincin batu akik sajalah mas, nih
hasil penjualanku.“
“Terima
kasih Tong.“
“Mau
po gak, ni ada batu permata yang harganya satu karat sampai milyaran.“
“Batu
apaan Tong?“
“Mau
tau?“
“Iya
lah.“
“Diantaranya
adalah batu permata Jadeite dari Madakasar Meksiko dan Blue Diamand dari daerah
pedalaman India harga satu karatnya milyaran Mas.“
“Sudah
pernah lihat, po?“
“Sudah
di album khusus batu permata termahal di dunia, mau gak jadi penjual batu akik Mas?“
“Gak
lah tetep jadi pelukis.“
“Okelah
kalau begitu,“
jawab
Jitong sambil memelukku rapat.
Sebelum
pergi Jitong membuka bekasi mengambil satu kantong beras raja lele dua puluh
kilo. Bersama bungkusan kopi, teh, gula dan dua jrigen minyak goreng lima kiloan.
Diambil lalu ditaruh di depan teras rumah kontrakanku.
“Terima
kasih ya Mas, selamat menjadi pelukis.“
“Ya
ya.“
“Kapan-kapan
aku ajak tamasya ke daerah lumpur lapindo Sidoarjo.”
“Siap
Ton.
“
“Melukis
lumpur lapindo yang menenggelamkan rumah rumah penduduk”
“Dengan
senang hati Tong.“
Jitong
masuk mobil Gran Mex Diatsu Tahun 2019 berwarna hitam dengan tulisan kaca
belakang Jitong dengan gaya tulisan Jepang. Kemudian tersenyun melambaikan
tangan sambil memakai kaca mata khas pilot pesawat tempur. Dengan memakai topi
bagong berwarna hitam juga bertulis Jitong. Ia pamit pulang meninggalkan
aku.
Jitong
teman
kecilku di kampung terkenal spesial pencuri buah-buhaan. Sekarang sudah dewasa
menjadi pedagang penjual cincin batu akik di setiap kota. Bahkan mampu menguasi
pasar sebagai pemasuk batu hias untuk liontin di beberapa toko mas terkenal.
Aku ingin sekali melihat situasi kondisi lumpur lapindo dari dekat. Tidak lewat
layar televisi atau berita koran dan majalah.
Jitong
menawarkan aku untuk melihat langsung ledakan lumpur lapindo di Sidoharjo Jawa
Timur. Bahkan disuruh melukis letupan gerakan lumpur lapindo. Menengelamkan
beberapa desa. Rumah penduduk. Tanah pekarangan, sawah kebun sekolahan tempat
ngaji anak-anak bahkan beberapa makam leluhur. Pada musim ziarah leluhurnya
keluarganya yang masih hidup cukup naik prau dayung. Kemudian di atas prau dayung membaca
doa-doa untuk leluhurnya. Setelah itu tabur bunga di atas desa yang sudah
tenggelam sebab lumpur lapindo.
Akibat
lumpur lapindo menenggelamkan ratusan rumah penduduk. Hanyut tenggelam bersama
ribuan impian semua warga desa. Ramai - ramai menuntut ganti rugi semua aset
yang tenggelam. Dana pun cair sebagai ganti rugi. Tapi tidak sesuai dengan
harapan. Ratusan kepala tertunduk menerima apa adanya. Dari pada sama sekali
tidak menerima ganti rugi. Di balik suara tangisan yang disembunyikan dalam
kotang dan sarung.
Satu
persatu warga pribumi pergi meninggalkan kampung dan desa warisan dari
leluhurnya. Sekarang tenggelam. Bahkan nyaris tidak kelihatanan lagi genteng
rumahnya. Lapangan tempat bermain warga. Pasar tiban tempat bertemunya penjual
pembeli tradisional. Batu nisan leluhurnya. Sekolahan tempat belajar
bocah-bocah dengan seragam merah putih. Hilang. Tenggelam. Sepi sunyi tanpa
suara tangisan.
Perkembangan
zaman mengubah
pola berpikir manusia juga peradaban. Lumpur lapindo menjadi tempat wisata.
Semua berdatangan dari penjuru luar kota. Ramai - ramai ingin melihat indahnya
panorama pemandangan lumpur lapindo dari dekat. Tanpa berpikir ada beberapa aset
warga yang tenggelam dalam dasar lumpur lapindo. Semua warga pergi entah ke mana perginya. Tidak
jelas alamatnya. Bahkan tidak bisa berkumpul lagi hidup berdampingan satu erte, erwe, kampung. Berpencar
mengadu nasib sesuai
dengan garis hidupnya masing - masing. Pergi semuanya gara - gara lumpur
lapindo menenggelamkan rumah juga semua impiannya di tanah
leluhurnya.
AGUS YUWANTORO, Lahir di Prambanan 5 Agustus 1965, Pendidikan Terakhir S2 di Unsiq Prop Jateng. Prodi Magister Pendidikan Agama Islam 2009, anggakatan ke 2. Tahun 2010 mendapatkan penghargaan Bapak Gubernur Jawa Tengah, juara pertama menulis sajak dan puisi dalam rangka peringatan 100 Tahun Meninggalnya Presiden RI Pertama Bung Karno juga mendapatkan Piagam kehormatan dari Panitia Pusat Jakarta an. Prof.DR.H. Soedijarto, MA, Aktif nulis fiksi sudah 25 Buku Antologi baik puisi dan cerpen sudah terbit. 3 buku solonya,Antalogi Puisi dengan judul “Tembang Sepi Orang Orang Pinggiran”. Antalogi Cerpen “ Kembang Kertas Nulis Novel berjudul Gadis Bermata Biru setebal: 250 halaman. Alamat Penulis Gedangan RT.08 / RW.05. Ds. Pecekelan.Kec.Sapuran.Wonosobo,Jateng.WA : 081325427232.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar