pixabay.com
Issyaroh
Ben
namanya, tampan, tubuhnya tinggi atletis dengan otot-otot yang kuat. Kulitnya
sawo matang khas orang Indonesia. Rahangnya tegas, matanya tajam. Rambutnya
agak panjang namun rapi. Senyumnya memabukkan, apalagi tutur katanya. Aku
yakin, kau pasti akan jatuh cinta apabila melihatnya. Tapi kusarankan, jangan
dekati Benku, atau kau rasakan sendiri akibatnya!
Kau
tahu, aku sudah jatuh cinta padanya bahkan sejak usiaku belum genap tiga tahun! Ya, kau tak salah
dengar, kawan! di usia sedini itu aku sudah mulai jatuh cinta! Padanya, yang
usianya enam
tahun lebih tua dariku.
Apa?
Kau bilang itu bukan jatuh cinta? Aku salah definisi? Kau bilang aku hanya
kagum padanya? Kau salah!
Oke,
mungkin di awalnya aku sangat mengaguminya sebagai seorang anak lelaki tampan
yang penuh kasih sayang. Selalu lembut dan melindungiku. Apapun yang kuinginkan
pasti akan dikabulkan, bahkan sebelum bibir ini mengucap. Lama-lama rasa itu
berubah jadi rasa ingin memiliki, menguasai. Cemburu bila ada yang mendekati.
Dan aku akan melakukan apa saja jika ada yang berani mengambil Ben dariku.
Kau
tahu? Ben begitu mencintaiku. Dia selalu menggenggam tanganku. Dia merengkuhku
penuh kehangatan. Siapapun yang menjahiliku pasti akan dihadapinya. Dia
malaikat pelindungku. Betapa bersyukurnya aku memiliki Ben! Aku yakin, Tuhan
mengirimkan Ben untuk menemani seluruh hidupku hingga di keabadian.
Sayangnya,
tak ada yang mendukungku. Mama begitu marah membaca coretan di dinding kamarku;
Ben, I LOVE YOU yang kutulis di seluruh dinding kamar. Papa pun memberiku nasihat panjang lebar. Tahu
apa mereka tentang cinta? Mereka hanya produk lama yang ketinggalan zaman.
Zaman telah berubah, Ma, Pa, kekolotan kalian sudah tak masuk akal di zaman
sekarang.
Begitupun
guruku. Aku ingat, Bu Agnes, guru kelas lima, di awal tahun pelajaran
dia menyuruh kami menuliskan tentang pengalaman liburan kenaikan kelas. Lalu
kutulislah kisahku berlibur di pantai bersama Mama, Papa, Ben, Jordy, Oma, Opa,
Tante dan Om. Kutuangkan betapa senangnya aku di pantai itu berenang bersama
Ben, menyusuri tebing di pinggir pantai, hingga mendayung perahu berdua dengan
Ben. “What a romantic moment.” Begitu kalimat penutup yang kutulis.
Aku
dipanggilnya ke ruang guru. Dia menceramahiku macam khotbah pendeta hingga aku
terkantuk-kantuk.
“Maria,
kamu dengar kata-kata Ibu?”
“Saya
dengar, Ibu,”
“Camkan
kata-kata saya,”
“Maaf,
Ibu. mencintai dan dicintai adalah hak saya. Ibu mana boleh turut campur?”
“Ya
Tuhan, apa dosaku hingga bertemu dengan murid sepertimu?” Bu Agnes memegangi
kepalanya seperti orang sedang terserang vertigo atau migrain, seperti itulah.
“Bawa
Mamamu ke sekolah besok pagi!”
Ini
bukan pertama kalinya Mama datang ke sekolah karena dipanggil guru. Terlalu
sering hingga Mama sudah hapal apa permasalahannya. Lalu Mama akan kembali
menceramahiku.
Didatangkan
psikolog pula untukku. Ibu Esther, namanya. Orangnya tenang, kalem, murah
senyum, tak seperti Mama yang tukang marah atau Bu Agnes yang sering menyebut
nama Tuhan jika berhadapan denganku. Meski begitu, dia sama saja dengan mereka,
menyuruhku melupakan Ben.
Di
usiaku menjelang dua belas, entah apa yang terjadi, Mama dan Papa bercerai.
Mama membawaku pulang ke daerah asalnya, 100 kilometer jauhnya dari Ben.
Padahal kalau Mama mau, dia bisa saja tetap tinggal di daerah itu. Tetapi Mama
punya maksud lain, memisahkan aku dengan Ben!
Aku
tak habis pikir, mengapa semua orang menginginkan aku menjauh dari Ben? Apa
salahnya aku jatuh cinta pada lelaki sempurna itu? Ingat, jarak tak akan
memisahkan kami!
Di
kampung Mama ini, aku tinggal bersama Mama, Om Hans-suami baru Mama, dan Grace,
anak Om Hans yang sepantaran denganku dan kebetulan kami sekelas juga di
sekolahku yang baru. Rumah-rumah sekitar adalah milik saudara-saudara Om Hans.
Sedangkan keluarga besar Mama tinggal hanya sepelemparan batu dari rumah Om
Hans. Dan akhirnya aku tahu, Om Hans adalah cinta pertama Mama, jauh sebelum
dia bertemu Papa.
“Apa
bedanya Mama denganku? Om Hans juga cinta pertama Mama, sama seperti Ben bagiku,”
protesku kencang, malam itu, di tengah-tengah keluarga besar yang sedang asik
menceritakan masa lalu Mama dan Om Hans.
“Apa
Maria harus menunggu orang lain dulu, lalu berpisah, baru boleh bersatu dengan
Ben?”
“Ini
beda, Maria!”
Mama
bisa berdalih apapun. Mama menolak sanggahanku, apapun itu. Karena dia hanya
menginginkan perpisahanku dengan Ben. Mama ingin aku melupakan Ben,
bagaimanapun caranya.
Seperti
kubilang tadi, Mama tahu apa tentang cinta anak zaman sekarang? Mereka hanya orang
kolot yang bersikap konservatif, tradisional! Meski keras larangan mereka,
namun cintaku pada Ben tak luntur begitu saja. Justru dengan kerinduan yang
menggumpal di dada, cintaku semakin subur. Di sini banyak cowok yang
mendekatiku, tapi apalah mereka dibandingkan dengan Ben! Jauh, tak ada seujung
kukunya.
Apakah
Ben sedang merindukanku? Entah Ben masih marah padaku atau tidak. Aku ingat
terakhir kali aku bertemu dengannya sore itu. Ben baru pulang sekolah dengan
pakaian putih abunya. Dia berjalan bersama seorang perempuan yang kutahu
bernama Arin, teman sekolahnya. Entah apa yang mereka perbincangkan, wajah
mereka tampak tersipu, membuat darahku mendidih.
Kutunggu
hingga mereka berpisah di ujung gang. Ben melambaikan tangan pada Arin. Dan
perempuan perayu itu menanggapi dengan senyum centilnya itu. Hueks…
“Adik
Maria, kenapa kamu di sini?” tanyanya kaget melihatku menghadang jalannya.
“Sudah
kubilang, jangan berani merebut Benku!”
Dia
tak berkata-kata selain menjerit setelah tubuhnya kudorong ke jalan raya.
Sebuah sepeda motor yang sedang melaju kencang langsung menabraknya. Aku
tertawa sembari berlari, mencari jalan berkelok hingga tiba di rumah.
Malam
harinya Ben menanyaiku tentang peristiwa itu, aku tak menampik meski tak
mengakuinya.
"Kau
sakit, Maria!" itu kalimat terakhirnya. Dia marah. Lebih marah daripada
sebelumnya. Dia menghempas tanganku yang ingin memeluknya. Kau tahu? Dalam
marahpun dia masih tampak seksi.
Esoknya,
tak kulihat Ben di manapun.
Aku pergi tanpa berpamitan dengannya. Hanya fotonya yang dapat kupeluk sepanjang
berjam-jam perjalanan kami.
*
Hari
pertama kuliahku setelah menjalani masa orientasi. Tujuh tahun setelah tak
bersua dengan Ben yang bagaikan seabad lamanya. Dan hari ini aku kembali
melihatnya di depanku, di kampus ini!
Terima
kasih, Tuhan, Kau kirimkan lagi Ben padaku…
"Ben!"
kuseru namanya dengan segenap gembira yang meletup di dada.
Dia
tak menjawab. Tak mendengar, mungkin? Atau dia tak mengenali suaraku lagi? Dia
tetap mengayun kakinya santai hingga kutarik bahunya, "Ben!"
Lelaki
itu menoleh, tersenyum.
"Maaf,
aku salah panggil," ucapku kecewa.
"Tak
apa, namaku Bernard, kamu boleh panggil aku Ben jika kamu mau,"
Bagaimana
mungkin ada orang semirip ini? Sungguh semuanya nyaris mirip dengan Ben. Aku
seperti menemukan Ben dalam diri pemuda ini. Hanya saja, Bernard ini lebih muda
daripada Ben.
"Maria,"
kusebut namaku.
"Mahasiswa
baru, ya?" Aku mengangguk. "Aku semester lima. Kos dimana?"
"Aku
tinggal bersama orangtuaku di dekat gedung olahraga. Kamu kos dimana?"
"Di
asrama sebelah pintu utara. Kamu pernah melihat?"
"Aku
tahu,"
"Boleh
aku bermain ke rumahmu?"
Itulah
awal perkenalanku dengan Ben a.k.a. Bernard. Mama sangat menyukainya. Dia
sangat mendukung kedekatan kami. Syukurlah, aku lega karena Mama tak lagi
menekanku seperti dulu.
"Rambutmu
kurang rapi, potonglah dengan belah tengah," pintaku pada Bernard suatu
hari.
"Kenapa
belah tengah? Aku biasa seperti ini,"
"Tapi
Ben belah tengah!
Dan
dia mengikuti mauku.
"Jangan
makan udang itu!"
"Kenapa?
Aku suka udang,"
"Ben
alergi udang!"
"Ini
arloji untukmu, Ben suka memakai arloji merk ini,"
"Kamu
harus bisa main basket seperti Ben,"
“Makanlah
bubur ayam ini, Ben sangat suka bubur ayam!”
Dan
berbagai permintaanku untuknya seperti yang Ben miliki atau sukai hingga
kemiripan antara Ben dan Bernard nyaris sempurna.
“Maria,
aku mungkin mirip dengan Benmu, tapi aku bukan Ben! Aku Bernard. Aku tak bisa
berubah menjadi Ben,” ucapnya malam itu di sebuah kafe di pinggir pantai
eksotis yang sering kami datangi.
“Jadi
kamu tak mau menuruti mauku lagi?”
“Maaf,
Maria. Aku tak akan jadi orang lain.”
“Jadi
kamu memutuskanku?”
“Maaf,
Maria. Mungkin itu jalan terbaik bagi kita.”
Ucapan itu membuatku gila. Aku tak terima dia memutuskanku begitu saja. Aku melenyapkannya.
Polisi
membawaku ke ruangan dingin dengan jeruji besi. Semalam aku tak bisa tidur
bersama serangan nyamuk-nyamuk yang menggila itu. Kuteriakkan nama Bernard yang
tak mau menjadi pengganti Ben itu. Para polisi itu berjaga di depan selku.
Sementara beberapa orang di sel sebelah menepi, mereka tak memejamkan mata.
Paginya,
setelah sarapan, beberapa orang berpakaian putih-putih menjemputku. Mereka
merayuku untuk menaiki mobil putih dengan sirine di atasnya itu. Aku
memberontak hingga badanku diangkat ke atasnya. Mudah saja, karena tanganku
diborgol, tak banyak gerakan yang bisa kulakukan.
Mama
melihatku sambil menangis, dia berbicara dengan seseorang melalui ponselnya.
"Ben,
Mama di kantor polisi. Adikmu membunuh pacarnya. Sekarang dia akan diperiksa di
RSJ."
"Ben!"
teriakku.
Aku
mencoba melompat turun, ingin merebut ponsel Mama, berbicara dengan Ben. Tapi
pintu itu menutup lebih cepat dari aksiku.
*
Semarang, 21
Februari 2022
Issyaroh,
dilahirkan di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, pada tanggal 24 Pebruari 1978.
Buku tunggal
pertamanya berjudul Penerus Sintren (2021) diterbitkan oleh Penerbit Sangkar
Arah. Sedangkan karya antologinya antara lain Bunga Memerah Kumbang Menari
(2019), Antara Ada dan Tiada (2020), Tears (2020), Sappy Stories (2021), Kinang
(2021), Sisi Lain (2021), dan Sepatu (2021). Buku Antologi puisinya di
antaranya Percakapan hari Libur (2020), Corona Mengepung Listrik Melambung
(2020).
Sejak tahun 2002
hingga kini, penulis mengabdikan diri sebagai guru di SDN Pedurungan Lor 01
Semarang. Bisa dihubungi melalui wa/telepon di 085 727 855 283 atau melalui
surel issyaroh@gmail.com.
Mantab.... sadis.. plot twistnya juga sadis... !! Lanjut!!!
BalasHapusKeren, Bu👍👍
BalasHapusTerima kasih
HapusMarvelous ide ceritanya, jeng say.
BalasHapusSemoga bukan pengalaman pribadi 😁
Lanjutkan bakat terpendam dengan ide serunya
Bukan pengalaman pribadi dooong. Makasih, Jeng
HapusTerima kasih
BalasHapusMantabb . .ceritanya menarik sekali.
BalasHapusDitunggu karya berikutnya