Kamis, 24 Februari 2022

Ben, Cinta Pertamaku

 

pixabay.com


Issyaroh

 

Ben namanya, tampan, tubuhnya tinggi atletis dengan otot-otot yang kuat. Kulitnya sawo matang khas orang Indonesia. Rahangnya tegas, matanya tajam. Rambutnya agak panjang namun rapi. Senyumnya memabukkan, apalagi tutur katanya. Aku yakin, kau pasti akan jatuh cinta apabila melihatnya. Tapi kusarankan, jangan dekati Benku, atau kau rasakan sendiri akibatnya!

Kau tahu, aku sudah jatuh cinta padanya bahkan sejak usiaku belum genap tiga tahun! Ya, kau tak salah dengar, kawan! di usia sedini itu aku sudah mulai jatuh cinta! Padanya, yang usianya enam tahun lebih tua dariku.

Apa? Kau bilang itu bukan jatuh cinta? Aku salah definisi? Kau bilang aku hanya kagum padanya? Kau salah!

Oke, mungkin di awalnya aku sangat mengaguminya sebagai seorang anak lelaki tampan yang penuh kasih sayang. Selalu lembut dan melindungiku. Apapun yang kuinginkan pasti akan dikabulkan, bahkan sebelum bibir ini mengucap. Lama-lama rasa itu berubah jadi rasa ingin memiliki, menguasai. Cemburu bila ada yang mendekati. Dan aku akan melakukan apa saja jika ada yang berani mengambil Ben dariku.

Kau tahu? Ben begitu mencintaiku. Dia selalu menggenggam tanganku. Dia merengkuhku penuh kehangatan. Siapapun yang menjahiliku pasti akan dihadapinya. Dia malaikat pelindungku. Betapa bersyukurnya aku memiliki Ben! Aku yakin, Tuhan mengirimkan Ben untuk menemani seluruh hidupku hingga di keabadian.

Sayangnya, tak ada yang mendukungku. Mama begitu marah membaca coretan di dinding kamarku; Ben, I LOVE YOU yang kutulis di seluruh dinding kamar. Papa pun memberiku nasihat panjang lebar. Tahu apa mereka tentang cinta? Mereka hanya produk lama yang ketinggalan zaman. Zaman telah berubah, Ma, Pa, kekolotan kalian sudah tak masuk akal di zaman sekarang.

Begitupun guruku. Aku ingat, Bu Agnes, guru kelas lima, di awal tahun pelajaran dia menyuruh kami menuliskan tentang pengalaman liburan kenaikan kelas. Lalu kutulislah kisahku berlibur di pantai bersama Mama, Papa, Ben, Jordy, Oma, Opa, Tante dan Om. Kutuangkan betapa senangnya aku di pantai itu berenang bersama Ben, menyusuri tebing di pinggir pantai, hingga mendayung perahu berdua dengan Ben. “What a romantic moment.” Begitu kalimat penutup yang kutulis.

Aku dipanggilnya ke ruang guru. Dia menceramahiku macam khotbah pendeta hingga aku terkantuk-kantuk.

“Maria, kamu dengar kata-kata Ibu?”

“Saya dengar, Ibu,”

“Camkan kata-kata saya,”

“Maaf, Ibu. mencintai dan dicintai adalah hak saya. Ibu mana boleh turut campur?”

“Ya Tuhan, apa dosaku hingga bertemu dengan murid sepertimu?” Bu Agnes memegangi kepalanya seperti orang sedang terserang vertigo atau migrain, seperti itulah.

“Bawa Mamamu ke sekolah besok pagi!”

Ini bukan pertama kalinya Mama datang ke sekolah karena dipanggil guru. Terlalu sering hingga Mama sudah hapal apa permasalahannya. Lalu Mama akan kembali menceramahiku.

Didatangkan psikolog pula untukku. Ibu Esther, namanya. Orangnya tenang, kalem, murah senyum, tak seperti Mama yang tukang marah atau Bu Agnes yang sering menyebut nama Tuhan jika berhadapan denganku. Meski begitu, dia sama saja dengan mereka, menyuruhku melupakan Ben.

Di usiaku menjelang dua belas, entah apa yang terjadi, Mama dan Papa bercerai. Mama membawaku pulang ke daerah asalnya, 100 kilometer jauhnya dari Ben. Padahal kalau Mama mau, dia bisa saja tetap tinggal di daerah itu. Tetapi Mama punya maksud lain, memisahkan aku dengan Ben!

Aku tak habis pikir, mengapa semua orang menginginkan aku menjauh dari Ben? Apa salahnya aku jatuh cinta pada lelaki sempurna itu? Ingat, jarak tak akan memisahkan kami!

Di kampung Mama ini, aku tinggal bersama Mama, Om Hans-suami baru Mama, dan Grace, anak Om Hans yang sepantaran denganku dan kebetulan kami sekelas juga di sekolahku yang baru. Rumah-rumah sekitar adalah milik saudara-saudara Om Hans. Sedangkan keluarga besar Mama tinggal hanya sepelemparan batu dari rumah Om Hans. Dan akhirnya aku tahu, Om Hans adalah cinta pertama Mama, jauh sebelum dia bertemu Papa.

“Apa bedanya Mama denganku? Om Hans juga cinta pertama Mama, sama seperti Ben bagiku,” protesku kencang, malam itu, di tengah-tengah keluarga besar yang sedang asik menceritakan masa lalu Mama dan Om Hans.

“Apa Maria harus menunggu orang lain dulu, lalu berpisah, baru boleh bersatu dengan Ben?”

“Ini beda, Maria!”

Mama bisa berdalih apapun. Mama menolak sanggahanku, apapun itu. Karena dia hanya menginginkan perpisahanku dengan Ben. Mama ingin aku melupakan Ben, bagaimanapun caranya.

Seperti kubilang tadi, Mama tahu apa tentang cinta anak zaman sekarang? Mereka hanya orang kolot yang bersikap konservatif, tradisional! Meski keras larangan mereka, namun cintaku pada Ben tak luntur begitu saja. Justru dengan kerinduan yang menggumpal di dada, cintaku semakin subur. Di sini banyak cowok yang mendekatiku, tapi apalah mereka dibandingkan dengan Ben! Jauh, tak ada seujung kukunya.

Apakah Ben sedang merindukanku? Entah Ben masih marah padaku atau tidak. Aku ingat terakhir kali aku bertemu dengannya sore itu. Ben baru pulang sekolah dengan pakaian putih abunya. Dia berjalan bersama seorang perempuan yang kutahu bernama Arin, teman sekolahnya. Entah apa yang mereka perbincangkan, wajah mereka tampak tersipu, membuat darahku mendidih.

Kutunggu hingga mereka berpisah di ujung gang. Ben melambaikan tangan pada Arin. Dan perempuan perayu itu menanggapi dengan senyum centilnya itu. Hueks…

“Adik Maria, kenapa kamu di sini?” tanyanya kaget melihatku menghadang jalannya.

“Sudah kubilang, jangan berani merebut Benku!”

Dia tak berkata-kata selain menjerit setelah tubuhnya kudorong ke jalan raya. Sebuah sepeda motor yang sedang melaju kencang langsung menabraknya. Aku tertawa sembari berlari, mencari jalan berkelok hingga tiba di rumah.

Malam harinya Ben menanyaiku tentang peristiwa itu, aku tak menampik meski tak mengakuinya.

"Kau sakit, Maria!" itu kalimat terakhirnya. Dia marah. Lebih marah daripada sebelumnya. Dia menghempas tanganku yang ingin memeluknya. Kau tahu? Dalam marahpun dia masih tampak seksi.

Esoknya, tak kulihat Ben di manapun. Aku pergi tanpa berpamitan dengannya. Hanya fotonya yang dapat kupeluk sepanjang berjam-jam perjalanan kami.

*

Hari pertama kuliahku setelah menjalani masa orientasi. Tujuh tahun setelah tak bersua dengan Ben yang bagaikan seabad lamanya. Dan hari ini aku kembali melihatnya di depanku, di kampus ini!

Terima kasih, Tuhan, Kau kirimkan lagi Ben padaku…

"Ben!" kuseru namanya dengan segenap gembira yang meletup di dada.

Dia tak menjawab. Tak mendengar, mungkin? Atau dia tak mengenali suaraku lagi? Dia tetap mengayun kakinya santai hingga kutarik bahunya, "Ben!"

Lelaki itu menoleh, tersenyum.

"Maaf, aku salah panggil," ucapku kecewa.

"Tak apa, namaku Bernard, kamu boleh panggil aku Ben jika kamu mau,"

Bagaimana mungkin ada orang semirip ini? Sungguh semuanya nyaris mirip dengan Ben. Aku seperti menemukan Ben dalam diri pemuda ini. Hanya saja, Bernard ini lebih muda daripada Ben.

"Maria," kusebut namaku.

"Mahasiswa baru, ya?" Aku mengangguk. "Aku semester lima. Kos dimana?"

"Aku tinggal bersama orangtuaku di dekat gedung olahraga. Kamu kos dimana?"

"Di asrama sebelah pintu utara. Kamu pernah melihat?"

"Aku tahu,"

"Boleh aku bermain ke rumahmu?"

Itulah awal perkenalanku dengan Ben a.k.a. Bernard. Mama sangat menyukainya. Dia sangat mendukung kedekatan kami. Syukurlah, aku lega karena Mama tak lagi menekanku seperti dulu.

"Rambutmu kurang rapi, potonglah dengan belah tengah," pintaku pada Bernard suatu hari.

"Kenapa belah tengah? Aku biasa seperti ini,"

"Tapi Ben belah tengah!

Dan dia mengikuti mauku.

"Jangan makan udang itu!"

"Kenapa? Aku suka udang,"

"Ben alergi udang!"

"Ini arloji untukmu, Ben suka memakai arloji merk ini,"

"Kamu harus bisa main basket seperti Ben,"

“Makanlah bubur ayam ini, Ben sangat suka bubur ayam!”

Dan berbagai permintaanku untuknya seperti yang Ben miliki atau sukai hingga kemiripan antara Ben dan Bernard nyaris sempurna.

“Maria, aku mungkin mirip dengan Benmu, tapi aku bukan Ben! Aku Bernard. Aku tak bisa berubah menjadi Ben,” ucapnya malam itu di sebuah kafe di pinggir pantai eksotis yang sering kami datangi.

“Jadi kamu tak mau menuruti mauku lagi?”

“Maaf, Maria. Aku tak akan jadi orang lain.

“Jadi kamu memutuskanku?”

“Maaf, Maria. Mungkin itu jalan terbaik bagi kita.

Ucapan itu membuatku gila. Aku tak terima dia memutuskanku begitu saja. Aku melenyapkannya.

Polisi membawaku ke ruangan dingin dengan jeruji besi. Semalam aku tak bisa tidur bersama serangan nyamuk-nyamuk yang menggila itu. Kuteriakkan nama Bernard yang tak mau menjadi pengganti Ben itu. Para polisi itu berjaga di depan selku. Sementara beberapa orang di sel sebelah menepi, mereka tak memejamkan mata.

Paginya, setelah sarapan, beberapa orang berpakaian putih-putih menjemputku. Mereka merayuku untuk menaiki mobil putih dengan sirine di atasnya itu. Aku memberontak hingga badanku diangkat ke atasnya. Mudah saja, karena tanganku diborgol, tak banyak gerakan yang bisa kulakukan.

Mama melihatku sambil menangis, dia berbicara dengan seseorang melalui ponselnya.

"Ben, Mama di kantor polisi. Adikmu membunuh pacarnya. Sekarang dia akan diperiksa di RSJ."

"Ben!" teriakku.

Aku mencoba melompat turun, ingin merebut ponsel Mama, berbicara dengan Ben. Tapi pintu itu menutup lebih cepat dari aksiku.

 

*

Semarang, 21 Februari 2022

 


 



Issyaroh, dilahirkan di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, pada tanggal 24 Pebruari 1978.

Buku tunggal pertamanya berjudul Penerus Sintren (2021) diterbitkan oleh Penerbit Sangkar Arah. Sedangkan karya antologinya antara lain Bunga Memerah Kumbang Menari (2019), Antara Ada dan Tiada (2020), Tears (2020), Sappy Stories (2021), Kinang (2021), Sisi Lain (2021), dan Sepatu (2021). Buku Antologi puisinya di antaranya Percakapan hari Libur (2020), Corona Mengepung Listrik Melambung (2020).

Sejak tahun 2002 hingga kini, penulis mengabdikan diri sebagai guru di SDN Pedurungan Lor 01 Semarang. Bisa dihubungi melalui wa/telepon di 085 727 855 283 atau melalui surel issyaroh@gmail.com.

7 komentar:

  1. Mantab.... sadis.. plot twistnya juga sadis... !! Lanjut!!!

    BalasHapus
  2. Marvelous ide ceritanya, jeng say.
    Semoga bukan pengalaman pribadi 😁
    Lanjutkan bakat terpendam dengan ide serunya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan pengalaman pribadi dooong. Makasih, Jeng

      Hapus
  3. Mantabb . .ceritanya menarik sekali.
    Ditunggu karya berikutnya

    BalasHapus