Eka Widianingsih
Jelang Magrib, terlihat ada seorang wanita berkaos merah,
mengetuk pintu ruang tamu. Ibu yang tengah menikmati tontonan di televisi
bergegas mendekati pintu memastikan siapa yang datang. Sambil menyodorkan
proposal berlogo panti asuhan, wanita itu mengutarakan maksud kadatangannya.
“Maaf Ibu, saya dari sebuah desa terpencil
di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat ingin memohon keikhlasan dan kerelaan
Ibu memberikan santunan untuk anak-anak panti asuhan yang kami kelola. Ini
proposal pendukungnya.” Wanita itu memperlihatkan proposal yang dibawanya.
Ibu Arifa yang sedari tadi memperhatikan
wanita itu kemudian meraih proposal permohonan dana yang disodorkannya. Tidak
berapa lama kemudian Ibu Arifa masuk ke kamar seperti mengambil sesuatu. Dari
dalam lemari kayu pintu tiga, Ibu Arifa mengeluarkan dompet berisi sejumlah
uang kertas. Tanpa pikir panjang diambilnya satu lembar uang kertas berwarna
biru yang masih tersisa di dompet itu. Segera Ibu Arifa keluar kembali menemui
wanita berkaos merah.
“Ini Mba, saya ikut menyumbang untuk
anak-anak panti asuhan.” Ibu Arifa menyerahkan selembar uang kepada wanita itu.
“Terima kasih Ibu, semoga berkah, sehat
selalu bersama keluarga,” jawab wanita itu sambil mengambil proposal di atas
meja.
“Aamiin,” ucap Ibu Arifa sambil tersenyum.
“Saya langsung pamit Bu, sekali lagi
terimakasih.” Wanita berjilbab hitam itu keluar meninggalkan Ibu Arifa di ruang
tamu.
Malampun datang. Seperti biasanya Ibu
Arifa sekembali dari masjid langsung duduk manis di depan TV menikmati sajian
sinetron kesayangannya.
Waktu menunjukkan pukul 19.35. Aninda yang
baru selesai salat Isya munfarid ikut bergabung menonton sinetron pilihan Ibu
Arifa. Di sela-sela iklan televisi, Aninda mendekati Ibu Arifa yang tengah
bersandar santai di kursi panjang.
“Bu, tadi kayaknya ada seorang wanita
berkaos merah di depan pintu, siapa ya?” tanya Aninda kepada Ibu Arifa.
“Oh, itu orang dari jauh minta sumbangan
untuk anak-anak panti asuhan. Dia juga bawa proposal lengkap.”
“Tadi, Ibu kasih berapa?” tanya Aninda
penasaran.
“Semuanya saya kasihkan. Kasihan datang
dari jauh, mau kasih sedikit tidak tega,” jawab Ibu Arifa.
“Ibu tidak tahu sih, dia itu kemungkinan
hanya modus. Maksudnya hanya meminta-minta tetapi dilengkapi proposal agar
lebih meyakinkan orang-orang yang tidak paham. Sebenarnya itu adalah trik para
oknum untuk mengelabui orang-orang yang masih polos seperti Ibu.” Aninda
mencoba menjelaskan kepada Ibu Arifa.
Mendengar penjelasan Aninda, Ibu Arifa
mendadak bermuka datar. Terlihat beliau tidak sepakat dengan pendapat Aninda.
Walaupun tidak berusaha membela diri, tapi terlihat jelas kalau Ibu Arifa
kecewa dengan Aninda.
Seketika Aninda menyadari keadaan itu.
Aninda menyesal sudah bicara panjang lebar kepada ibundanya.
“Kenapa tadi saya harus mengatakan hal
itu. Toh itu uangnya Ibu sendiri, mau digunakan apa saja terserah
beliau. Kalau seperti ini tanda-tanda akan terjadi aksi diam seribu bahasa,” demikian Aninda bergumam dalam hati.
Sudah menjadi kebiasaan ibundanya, yang
sangat dimengerti Aninda apabila beliau merasa tidak nyaman dengan keadaan akan
melancarkan aksi andalannya. Diam membisu tanpa ekspresi dalam setiap waktu, untuk
seseorang yang dianggap sebagai pelakunya.
Aninda sadar sepenuhnya bahwa untuk orang
tua tidak perlu ada adu argumen, walaupun jelas-jelas orang tua yang keliru.
Maksud hati ingin meluruskan tetapi orang tua sudah sepantasnya diperlakukan
dengan lemah lembut. Orang tua sudah lelah dengan urusan mengasuh dan
membesarkan kita, saatnya kita mencukupi kesenangannya, bukan malah mendebat kealpaannya.
Malam itu Aninda sangat terusik dengan
peristiwa tamu tak terundang. Tamu yang datang tiba-tiba menjadi penyebab
diamnya ibunda tercinta. Kesunyian di malam itu menjadi awal gemuruhnya suasana
hati Aninda. Kantuk pun tak kunjung datang. Dengan memeluk gadis kecilnya,
Aninda berusaha mendapatkan rasa kantuknya yang malam itu hilang entah ke mana.
Sampai dengan jelang dini hari mata sayunya tidak bisa terpejam.
Perlahan Aninda menuju ke ruang makan.
Berharap bisa menghalau gundahnya, Aninda buka tutup saji di meja makan.
Dilihatnya ada nasi kotak masih utuh yang sedianya disiapkan untuk ibundanya.
Ternyata nasi kotak pun tak disentuh sang ibunda. Apakah karena ibunda
benar-benar marah?
Hari berganti hari, Aninda tak juga
temukan jawaban akan pertanyaan di benaknya. Yang pasti kejadian itu menjadi
pelajaran berharga, pengingat untuk tidak mengulang kembali. Apapun yang dirasa
tak sejalan dengan harapan tentang ibundanya, tak perlu lagi ditanggapi dengan
serius. Biarlah semua berjalan sesuai kehendak ibundanya, yang penting suasana
rumah tetap terjaga. Bagi Aninda yang penting adalah kebahagiaan ibundanya
bukan tegaknya kebenaran di lingkungan rumahnya.
Eka Widianingsih, S.Pd., guru di SMA
Negeri 1 Rembang Kabupaten Purbalingga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar