pixabay.com
Oleh Arsyad Riyadi
Kebijakan merdeka belajar yang dikemukakan
Mas Nadiem terus bergulir. Tidak hanya berhenti dengan digantinya USBN dengan
ujian sekolah, dihapuskannya UN, RPP yang disederhanakan, serta PPDB sistem
Zonasi saja tetapi juga menyentuh ranah guru melalui program Pendidikan Guru
Penggerak (PGG).
Sebagus apapun kebijakan pemerintah, tidak
akan berhasil tanpa ada perubahan pada pelaku kebijakan tersebut yaitu para
guru. Seperti tertuang dalam Lampiran Keputusan Direktur Jenderal Guru Dan Tenaga Kependidikan
Nomor 3028/B/Gt/2020 Tentang Pedoman Pendidikan Guru Penggerak, merdeka belajar
dimaknai sebagai
kemerdekaan belajar yang memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk belajar
senyaman mungkin dalam suasana bahagia tanpa adanya rasa tertekan. Dalam implementasinya,
peserta didik ini harus “merdeka belajar”, sedangkan guru harus “merdeka
mengajar”.
Guru yang
merdeka mengajar ini atau guru merdeka ini dalam perjalanannya tidak mulus.
Pertama, tidak semua ikut terlibat dalam program guru penggerak. Meskipun tidak
ada jaminan, setelah mengikuti kegiatan tersebut seorang guru otomatis
bertransformasi menjadi guru merdeka. Kedua, tidak semua guru mendukung
kegiatan guru penggerak dengan ikut bergabung ke dalam program tersebut.
Meskipun bagi saya, mengikuti program tersebut adalah salah satu cara
memerdekakan guru. Ketiga, adanya stigma negatif bahwa guru merdeka itu sulit
atau tidak mungkin ada. Hal ini ditengarai karena berbagai alasan sebagai
berikut: (1) guru terbebani oleh berbagai administasi; (2) guru terbebani
dengan berbagai tugas tambahan lain; (3) guru masih terbebani dengan mencari
tambahan penghasilan; (4) guru terbebani dengan pemenuhan kurikulum; (5) guru
tidak berani untuk bebas berekspresi; dan berbagai alasan lain.
Pada tulisan
ini akan dicoba mendefinisikan arti dari guru merdeka, menjawab berbagai stigma
negatif seperti yang diuraikan di atas, serta bagaimana mewujudkan merdeka
belajar bukan sekadar wacana atau dimiliki sebagaian guru saja, khususnya yang
terlibat dalam Program Guru Penggerak.
Dalam buku
Merdeka Belajar yang ditulis oleh Najelaa Shihab & Komunitas Guru Belajar,
dituliskan bahwa kemerdekaan ini sebagai modal agar kompetensi guru menjadi
optimal. Guru yang merdeka yang bisa membebaskan anak, hanya guru yang antusias yang menularkan rasa ingin tahu pada anak,
dan hanya guru belajar yang pantas mengajar. Guru yang merdeka adalah guru yang
memiliki komitmen pada tujuan belajar, guru yang mandiri, serta guru yang
reflektif.
Guru yang
merdeka ini adalah guru yang siap berkolaborasi atau bersinergi. Bagi Covey,
hanya orang-orang yang sudah merdeka atau mandiri (independence) yang bisa menjalin
kesalingketergantungan (interdependence). Dua orang yang saling tergantung (dependence) tidak akan menghasilkan
ketergantungan (interdependence), tetapi harus melewati fase untuk mandiri/merdeka terlebih
dahulu. Jadi, guru yang merdeka adalah guru yang mampu saling mempengaruhi
serta membentuk tim yang kuat. Guru yang merdeka ini tidak berhenti sebagai single fighter tapi siap menjadi anggota tim yang
solid.
Kalau penulis
berani mengatakan bahwa guru yang merdeka ini adalah guru yang profetik.
Seperti yang dikatakan oleh Kuntowijoyo dalam buku Islam sebagai Ilmu, kata
profetik ini mengandung muatan yaitu humanisme (amar ma’ruf), liberasi (nahi munkar), dan transendensi (tu’minuna billah).
Guru merdeka
adalah guru yang humanis (memanusiakan manusia) artinya guru yang selalu
menebar kebaikan, guru yang menjadi teladan bagi siswa, guru yang ramah, guru
yang memahami dan menghargai setiap siswanya secara individual. Guru tipe ini
akan selalu diharapkan kehadirannya oleh murid. Guru ini mampu memposisikan
diri kapan sebagai guru, orang tua bahkan teman.
Guru merdeka
adalah guru yang memiliki sifat liberasi (membebaskan manusia). Guru seperti
ini akan membebaskan murid-muridnya dari kebodohan, rasa tak berdaya,
kemandegan berpikir, ketakutan, kekhawatiran dan hal-hal lain yang menyebabkan
siswa tidak leluasa untuk berekspresi. Hal ini selaras dengan yang dikatakan
oleh Paulo Freire, bahwa pendidikan berperan membebaskan masyarakat dari kemiskinan
dan ketertindasan.
Guru yang
merdeka adalah guru yang menjadikan transendensi (keimanan) sebagai dasar dan
tujuan dalam mencerdaskan siswa. Guru ini adalah guru yang ikhlas, guru yang
hanya semata-mata mencari ridho Allah SWT, guru yang bukan semata-mata
mengantarkan kesuksesan jangka pendek siswa dan dirinya tetapi juga demi jangka
panjang yaitu kehidupannya kelak nanti di akhirat.
Guru yang
ikhlas ini jangan dipahami sebagai guru yang tidak membutuhkan bayaran atau
gaji, tetapi guru yang tidak menjadikan bayaran atau gaji sebagai alasan untuk
menjadi tetap produktif. Guru tipe seperti ini tidak akan “terjajah” oleh
minimnya penghasilan. Guru yang seperti ini selalu berusaha melakukan kebebasan
finansial berapapun penghasilan yang didapatkan. Guru seperti ini sangat
mungkin mencari berbagai tambahan penghasilan tetapi tidak menjadikannya
sebagai alasan untuk tidak memberi layanan yang tidak optimal.
Guru yang
merdeka ini tidak menjadikan administrasi, pemenuhan kurikulum, tugas tambahan
dan hal-hal lain menghambat dirinya untuk merdeka mengajar dan membuat siswa
merdeka belajar. Guru merdeka menyadari bahwa administrasi bagian dari
pertanggungjawaban dirinya dalam membuat perencanaan pembelajaran sampai
mengevaluasinya. Guru merdeka ini menjadikan tugas-tugas tambahan yang
ditambahkan sebagai cara untuk lebih meningkatkan kompetensinya serta bagaimana
mengelola waktu dengan baik. Tak ada celah untuk mengeluh, karena guru merdeka
ini memiliki energi yang berkelimpahan. Energi yang berasal dari Tuhan Sang
Pencipta selaku guru yang transenden.
Jadi, sudah
bersiapkah menjadi guru yang merdeka atau setidaknya percaya bahwa guru merdeka
itu ada dan siap diwujudkan?
Arsyad Riyadi,
S.Si., Pengawas SMP Dindikbud Kab. Purbalingga, Aktivis IGI (Ikatan Guru
Indonesia), Pengajar Praktik Program Guru Penggerak Angkatan Pertama, dan
Fasilitator Guru Penggerak Angkatan 5, serta blogger.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar