pixabay.com
(Pelukis dan Parfum ke-4)
Oleh Agus Yuwantoro
Senja
mulai merekah memerah di atas langit jingga. Burung-burung kuntul berwarna
putih beterbangan bebas berputar kemudian satu persatu hinggap di rimbunnya
daun pohon bambu. Suara jangkrik mulai berebutan suara di balik batu dan semak.
Tidak ketinggalan pula suara katak di pinggiran rawa saling saut menyaut. Pertanda senja
mulai menghilang berganti malam. Berhias lampu-lampu gang jalan menyala terang.
Sekelompok laron beterbangan bebas memutar-mutar di bawah cahaya lampu trotoar.
Semakin lama semakin banyak beterbangan kemudian sayapnya patah beterbangan jatuh
ke tanah. Dengan tubuh tanpa sayapnya, laron-laron berjalan bergandengan sempoyongan di
bawah cahaya lampu sambil mencari makan.
Sudah aku
siapkan pesanan lukisan dari Bapak Suherman dari Jakarta. Lukisan tokoh pahlawan
gerakan moral bangsa pada zamannya. Pangeran Diponegoro pahlawan klasik dari
tanah Jawa Tengah. Dengan kuda putih yang gagah sambil memegang keris Nogo
Sosro di tengah lautan api memerah membara. Tadi malam telpon sekitar jam
delapan malam akan mengambil lukisannya. Sengaja tidak aku bungkus lukisan itu.
Seperti biasanya setelah sang pemesan melihat bentuk lukisan. Merasa puas.
Tidak ada kekurangan sedikitpun baik warna lukisan juga bingkai lukisannya.
Maka baru saja aku minta izin membungkus lukisannya.
Tepat jam
delapan lebih lima menit mobil Pazerro Spot berwarna putih tulang
berhenti di depan rumah kontrakanku. Bapak Suherman turun dari mobil langsung
mengetuk pintu.
Dok… dok… dok…! Suara pintu
depan.
Aku langsung
menuju ruang tamu kemudian membuka pintu depan. Aku melihat wajah Bapak
Suherman tampak cerah ceria kemudian dengan senyumannya yang khas sambil
menyapa.
“Sudah jadi ya Mas
pesanan lukisanku?“
“Sudah Bapak.“
“Mana?“
“Di ruang tengah“
“Boleh Bapak lihat?“
“Dengan senang
hati, silahkan Bapak.“
“Oke, terima kasih.“
Bapak Suherman
agak tertegun melihat lukisan Pangeran Diponegro. Kemudian duduk tepat di
lukisan itu. Di rabanya. Kemudian kepalanya manggut-manggut sambil berucap.
“Mantap nih
lukisannya.“
“Terima kasih.“
“Warna lukisannya
menantang, begron warna memerah darah.”
“Iya ya Bapak.“
“Bagus, bagus.“
“Bisa di bungkus, Bapak.“
“Sebentar Mas, tak
menikmati lukisannya dulu.“
“Mau minum apa, Bapak?“
“Kopi hitam jawa
tanpa gula.“
“Siap, Bapak.“
Aku langsung
menuju ruang dapur. Masak air ukuran satu gelas besar. Setelah air mendidih.
Aku membuat racikan kopi pahit untuk Bapak Suherman. Pelan-pelan aku taruh di
atas meja kecil dengan satu toples berisi rempeyek kacang kesukaannya. Aku
melihat Bapak Suherman masih menikmati lukisan itu. Hampir setengah jam duduk
di depan lukisan itu. Sambil menggeleng-gelengkan kepala. Mungkin tertegun pada
tokoh Pangeran Diponegoro berani melawan tentara Belanda demi membela
rakyatnya. Berjuang atas nama orang-orang pinggiran. Miskin. Bodoh. Keterbelakangan.
Kelaparan. Sebab dijajah Belanda.
Aku biarkan Bapak Suherman menikmati
lukisannya sambil minum kopi pahit. Sebentar kemudian Bapak Suherman berdiri
kemudian duduk kembali. Tetap masih posisi menikmati lukisannya. Kemudian
mengeluarkan hpnya. Memotret lukisan itu berkali-kali sambil tersenyum sendiri.
Kemudian mendekatiku.
“Lukisan ini akan
Bapak kirim ke Belanda.“
“Ke Belanda?”
“Iya ya ke Belanda.“
“Tapi itu tokoh
Pahlawan Nasional mungkin orang Belanda kurang menyukainya.“
“Sekarang
orang-orang Belanda mulai menyukai tokoh Pahlawan tradisional.“
“Apa iya?“
“Iya.“
“Syukurlah kalau
mulai menyukai tokoh Pahlawan tradisional.“
“Berani karena
benar tidak takut dengan senjata milik Belanda.“
“Pangeran
Diponegoro memang luar biasa hebat.“
“Laa ini, yang
menjadikan rasa penasaran orang-orang Belanda.“
“Baik Bapak,
izinkan membungkus lukisan ini.“
“Ya, ya silahkan “
“Lukisan ini akan
Bapak berikan pada pimpinan proyek raksasa milik perusahan Belanda.“
“Proyek apa itu
Bapak?“
“Membuat bendungan
tadah hujan di Vitnam.“
“Wauu luar biasa, Bapak.“
“Terima kasih, enam
bulan lagi Bapak pesen lukisan tokoh pergerakan wanita dari Rembang.“
“Ibu kita Kartini
ya Bapak?“
“Betul, pendobrak
harkat martabat perjuangan wanita jawa, menentang feodalisme juga ketidak adilan
antara kaum lelaki dan perempuan jawa.“
“Maksud Bapak?“
“Pendobrak nilai
wanita sejati dari Jawa, menantang pola pikir para juragan tanah di Jawa, sebab
kaya semena-mena memperlakukan kaum wanitia pinggiran, dengan dalih untuk
dijadikan selir intinya hanya ingin memuaskan nafsu seksnya.“
“Hebat ya Bapak.“
“Bukan hanya
gerakan emansipasi wanita jawa, tapi ingin mendobrak tatanan para priyayi yang
buas selalu mencari wanita cantik untuk dijadikan selirnya, setelah puas wanita
selir dikembalikan kepada orang tuanya, ketika punya anak tidak punya hak asuh
anak. Sebab anak diminta oleh para priyayi.“
“Jadi bukan tokoh
emansipasi wanita saja?“
“La iya lah.“
“Hebat ya Bapak.“
“Makanya Bapak mau
pesen lukisan Ibu Kita Kartini.“
“Posisi gimana
Bapak?“
“Natural apa
adanya saja, Mas.“
“Maksud Bapak?“
“Posisi sedang
baca buku di samping cahaya lampu minyak.“
“Maksud Bapak
lampu teplok jawa?“
“Betul, tapi dengan gaya rambut terurai
memanjang.“
“Biasanya kan pakai sanggul dan konde dan khas
baju kebesaran jawa, Bapak?“
“Bapak pesen lukisan dengan rambut terurai
panjang memakai baju jawa motif lurik warna garis cokelat hitam.“
“Akan aku coba Bapak.“
“Harus bisa.“
“Siap Bapak.“
“Sekali lagi jangan seperti lukisan tampilan
biasa Ibu Kita Kartini, ini harus luar biasa.“
“Iya ya Bapak.“
“Laa harus gitu pelukis sejati harus banyak
inovasinya.“
“Oke Bapak akan aku usahakan.“
“Terima kasih.“
“Lukisan itu mau dikirim ke Belanda lagi ya
Bapak?“
“Tidak.“
“La kemana Bapak?“
“Ke Amerika ada temen dari perusahan
kontraktor Bapak.“
“Wauu hebat Bapak.“
“Dia juga sebagai kontraktor terkenal juga
aktivis peduli kaum wanita di sana, anak-anak perempuan di bawah umur sudah
berani menjajakan diri di setiap pinggiran jalan besar.”
“Loo kok hampir
sama di sini ya Bapak.“
“Sudah lah, Yang penting enam bulan lagi
lukisannya jadi.“
“Siap Bapak.“
Setelah aku
bungkus lukisan itu Bapak Suherman mamanggil supir pribadinya. Dengan hati-hati
lukisan dimasukkan dalam mobil di bagian tengah persis belakang sopir. Tidak dimasukkan
dalam bagasi. Bapak Suherman menatap aku kemudian tersenyum sambil menepuk
pundakku.
“Sudah Bapak
trasfer.“
“Terima kasih
sekali Bapak.“
“Bisa dicek di Hp.“
“Iya ya Bapak,
terima kasih.“
Kemudian Bapak
Suherman masuk dalam mobil Pajero Spot. Mobil berjalan tanpa sedikitpun mengeluarkan
suara mesinnya. Hanya terdengar suara bannya ketika melindas bekas genteng yang
berserakan di pinggiran jalan. Kemudian menghilang di belokan gang jalan.
Aku masuk kamar
tengah sambil membawa gelas bekas kopi tawar. Kemudian memasukkan alat-alat
melukis. Selama ini aku menjadikan lukisan jalanan tidak pernah memasang harga.
Ketika ada yang senang dengan lukisan aku. Nyaris tidak pernah terjadi
transaksi apa lagi tawar menawar. Setelah melihat dan merasa cocok dengan
lukisannya baru saja memberikan ongkos untuk melukis.
Begitu
juga dengan Bapak Suherman sudah puluhan kali memesan lukisan. Aku tidak pernah
memasang tarif. Begitu merasa cocok. Puas. Langsung trasfer ke nomer rekeningku
dengan jumlah angka tujuh dijit. Setiap aku mendapatkan upah dari melukis apa
saja. Paginya langsung aku telpon biung di kampung kemudian trasfer untuk biaya
hidupnya. Untuk keperluan belanja harian dan kegiatan sosial seperti Infaq di
Masjid, iuran buang sampah, bayar air, listrik juga kegiatan erte juga untuk
kondangan ke tetangga dan saudaranya. Itu belum seberapa dan tidak sebanding
dengan biaya untuk membesarkan aku. Hanya doa-doa yang terbaik untuk biung
selalu diberikan kesehatan. Hidup penuh cahaya berkah barokah. Panjang umur
juga bisa bermanfaat untuk orang banyak.
AGUS
YUWANTORO, Lahir di Prambanan 5 Agustus 1965, Pendidikan Terakhir S2 di Unsiq Prop Jateng. Prodi
Magister Pendidikan Agama Islam 2009, anggakatan ke 2. Tahun 2010 mendapatkan
penghargaan Bapak Gubernur Jawa Tengah, juara pertama menulis sajak dan puisi
dalam rangka peringatan 100 Tahun Meninggalnya Presiden RI Pertama Bung Karno
juga mendapatkan Piagam kehormatan dari Panitia Pusat Jakarta an. Prof.DR.H.
Soedijarto, MA, Aktif nulis fiksi sudah 25 Buku Antologi baik puisi dan cerpen
sudah terbit. 3 buku solonya,Antalogi Puisi dengan judul “Tembang Sepi Orang
Orang Pinggiran”. Antalogi Cerpen “ Kembang Kertas Nulis Novel berjudul Gadis Bermata Biru
setebal: 250 halaman. Alamat Penulis
Gedangan RT.08 / RW.05. Ds. Pecekelan.Kec.Sapuran.Wonosobo,Jateng.WA :
081325427232.
Mantapp....inspiratif pak Agus
BalasHapusyoutube domain videodl.cc: youtube, iphone, iPad,
BalasHapusyoutube,iphone, iPad, iPhone, iPhone, iPad, iPhone, iPhone, iPad, youtube to mp3 for android IOS iphone, iPad, iPhone, iPad, iPhone, iPhone, IOS iPhone iphone, iPad, iPhone, iPhone, iPhone, iPhone, iPhone, IOS iPhone