pixabay.com
(Pelukis dan Parfum ke-6)
Agus Yuwantoro
Hari sabtu awal bulan Nopember dinding
langit begitu cerah indah berwarna membiru luas. Persis warna air laut berhias
gelombang berjalan lembut searah mata angin. Semilir angin pantai pagi terasa
membelai wajah dan rambutku. Sejuk segar melekat dalam lubang pori-pori tubuh. Badanku
terasa hangat bersama sengatan matahari pagi yang baru bercahaya. Mampu
menghangatkan seluruh tubuhku. Pagi ini aku menunggu salah satu nelayanan
tradisional juga teman akrabku Sarmo.
Sarmo berasal dari daerah Gunung Kidul
banting setir menjadi nelayan tradisional di daerah Bali. Malamnya menjadi
nelayan. Siang harinya membuka latihan menari di sanggar tarian klasik
tradisional daerahnya. Waktu muda dulu sering ikut paguyuban seni tari jaran
kepang atau jatilan. Bahkan mampu menari bermacam-macam gaya lakon tarian
topeng. Sarmo pernah ikut bergabung rombongan para penari sendatari ramayanan
di plataran candi Prambanan.
Biasanya pada saat musim terang bulan, panitia seksi kesenian dari
Dinas Pariwisata kabupaten Sleman sering
menampilkan tarian drama kolosal Sendatari Ramayana. Semua peserta penari diambil
dari beberapa paguyuban
kesenian tari. Salah satunya adalah Sarmo. Mewakili paguyuban kesenian tari
jaran kepang dan tari topeng. Sebagai pendukung menari dalam drama lakon
Ramayana. Tampil selama dua puluh kali menari untuk mendukung acara tersebut.
Padepokan sanggar menari dibangun secara
mandiri oleh Sarmo. Di tepian pantai Sanur dengan luas enam kali lima. Masih
natural dengan lantai tanah liat. Model bangunan joglo ditopang enam saka.
Usuknya dari bahan pohon kelapa kering atau glugu kemudian dipernis. Berwarna
cokelat
kehitaman. Atapnya genteng almunium berwarna merah.
Murid - muridnya sebagian besar para turis
yang sedang liburan panjang di pulau Dewata. Hanya ada tiga murid orang pribumi
asli Jawa. Sarmo dengan sabar telaten tekun seminggu dua kali memberikan semua
ilmu jurus menari. Dari aliran menari jaran kepang. Semua tari topeng. Sampai
peragaan tarian anoman obong dalam salah satu Sendatari Ramayana.
Turis dari manca negara paling suka ketika
diberikan contoh tarian klasik Jawa. Dengan tampilan tari topeng. Menurut Sarmo
menari topeng harus sesuai dengan topengnya. Ketika memakai topeng kera tarian
harus persis kera. Bergaya jingkrak- jingkrak sambil kukur rambut kepala. Kemudian berguling-guling. Berdiri
lagi kepala menoleh ke kanan
ke kiri
sambil garuk-garuk
badan. Ini yang menjadi daya tarik sendiri para turis. Bisa menyatukan alam
pikir sadar dengan gaya binatang kera. Bahkan tarian topeng menurut para turis, bisa untuk terapi kesehatan
jiwa. Obat stres. Sebab dengan muka ditutupi topeng maka penari topeng bebas
mengeksplor
semua gaya menari. Tanpa terbebani oleh para penonton yang melihat. Bebas lepas
menari sesuka hati menari sesuai dengan
topeng yang dipakainya.
Para turis juga penasaran dengan tarian
jaran kepang. Harus menari seirama dengan musiknya. Penari jaran kepang
berbaris berbanjar memanjang biasanya sepuluh penari jaran kepang. Barisan
kanan sepuluh kiri sepuluh. Menari dengan kaki tangan tubuh gerakan bersama.
Harus kompak searah dengan tarian yang sama. Di sini tampak nilai seni yang
tinggi sebab mampu menari dengan gaya serempak. Dari gerakan kaki, badan
tangan, kepala sampai tangan.
Lebih-lebih para turis merasa ketakutan ketika
melihat salah seorang penari jaran kepang kesurupan. Giginya rapat. Kedua bola
matanya seakan keluar. Kepalanya menoleh ke kanan ke kiri. Makan bermacam kembang
yang sudah disediakan di baskom
plastik. Makan beling, bola api, menginjak-injak bara api. Bahkan lidahnya
dikeluarkan kemudian diiris dengan parang. Bukan hanya lidahnya. Bahkan leher,
tangan dan perutnya. Tidak mempan. Musik jaran kepang terus berjalan seiraman
tariannya.
Seorang pawang jaran kepang mendekati. Dipeluk erat sang
penari yang kesurupan. Keduan kaki tangannya kaku seperti kram. Terkadang
melawan dengan sang pawang. Kemudian diusap-usap rambut kepala sang penari
jaran kepang oleh pawang. Diludahi kepalanya. Seketika sang penari jaran
kepang. Sadar dari kesurupan. Badannya langsung lemas. Kemudian tersenyum
sendiri di depan para penontonnya. Langsung duduk istirahat di bawah tenda
bergabung duduk sila dengan penabuh gendhang.
Hampir
empat tahun Sarmo menggeluti sebagai nelayan tradisional dan mengajar menari di
sanggarnya. Dahulu waktu tinggal di daerah Gunung Kidul harus berjuang hidup
setiap hari. Daerahnya kering tanahnya tandus dan berbatu. Jalannya naik turun
juga berliku liku tajam. Bahkan sumber mata air nyaris sangat sulit ditemukan.
Banyak teman-teman Sarmo ketika menghadapi
gagal dalam usahanya. Baik dalam bidang pertanian, perdagangan, peternakan.
Terlilit hutang. Bahkan putus cinta. Untuk mengakhiri kegagalan dalam usaha.
Satu persatu bunuh diri. Dengan cara gantung diri di bawah pohon jati dan waru.
Itu hal yang biasa terjadi di daerahnya
Sarmo.
Sarmo ingin mengubah nasib juga mengadu hidup
di daerah Bali. Pertama datang menjadi kuli tukang batu di proyek padat karya.
Kemudian membuka sanggar menari khusus tarian jawa klasik. Didukung istrinya
mantan penari tayub yang terkenal di kampungnya. Sering tampil menari tayub
pada musim panen. Juga acara hajatan orang kampung. Gara-gara istrinya Sarmo digandrungi
salah satu karyawan staf kecamatan. Seorang duda beranak dua. Tiap hari
nglenceri atau apel istrinya Sarmo. Sarmo merasa sungkan dan risih dengan
perilaku salah satu pegawai staf kecamatan. Akhirnya diingatkan. Istrinya
adalah penari murni penari tayub. Bukan penari tayub ples-ples sehabis menari
tayub bisa diajak tidur. Bukan. Malah tidak terima. Akhirnya menantang berkelahi
di depan halaman rumah Sarmo.
Sarmo disamping penari jaran kepang juga
guru silat di kampung. Beberapa pukulan mudah terhindarkan. Ketika lawannya
mengambil pisau di balik bajunya. Sarmo bisanya cuma menghindar dan menghindar. Ketika
mau menusuk perut Sarmo. Penyerang jatuh tersandung batu. Akhirnya pisaunya
merobek samping perutnya sendiri. Dari awal itu Sarmo ditangkap anggota Polsek
Kecamatan. Diduga dengan sengaja menusuk salah satu karyawan kecamatan.
Ternyata staf karyawan itu adalah ponaannya
Pak Camat setempat. Dua hari kemudian menyusul para preman pasar menggedor pintu rumah Sarmo. Tidak
terima ponaan Pak Camat ditusuk perutnya oleh Sarmo. Akhirnya berkelahi satu
lawan empat. Sarmo memang guru silat. Dengan mudah para preman pasar dilumpuhkan.
Esok harinya Sarmo dipanggil ke Polsek yang kedua kalinya dengan laporan berita
acara perkara. Bahwa Sarmo berbuat tindakan kekerasaan di kampungnya.
Setelah kejadian itu Sarmo dan istrinya
pergi meninggalkan kampung halaman. Memutus mata rantai permasalahan dengan
salah satu staf kecamatan. Sebab hukum rimba sudah mengalir deras di
kampungnya. Siapa kuat. Mempunyai kekuasaan pasti menang. Kolaborasi para
preman dan petugas sudah mengakar kuat di
kampungnya.
Sarmo kemudian ikut bekerja menjadi kuli batu pada mandor proyek padat karya di
Bali. Sekarang menetap tinggal di Bali. Banting setir menjadi nelayan
tradisioal dan membina seni menari di sanggarnya. Diberi nama sanggar menari “Guyup Rukun“.
Hampir rata-rata peserta adalah para turis yang memanfaatkan waktu musim
liburan.
Bahkan sekarang sudah mampu membeli tanah
seluas seratus tiga puluh meter persegi. Membangun rumah berbentuk joglo dengan
ukuran lima kali tujuh. Model bangunan separo bata merah. Dindingnya dari
anyaman bambu yang dibuat sendiri. Sarmo menjadi temen dekat denganku.
Berfungsi sebagai saudaraku. Juga tempat curhat bahkan tukar segala ilmu.
Jam delapan pagi bersama merekahnya cahaya
matahari pagi,
aku
melihat Sarmo turun dari perahu kecilnya. Wajahnya ceria penuh senyum kemenangan
juga harapan. Tadi malam harus berkelahi dengan ombak badai dan dinginnya angin malam pantai.
Menempuh perjalanan
hidup dengan maut. Menjadi nelayan tradisional. Turun sambil menggendong jaring
ikan. Ada tiga tong plastik berwarna biru tempat menyimpan hasil tangkapan
ikannya.
Aku langsung mendekati Sarmo sambil melihat
hasil tangkapan ikan.
“Wauu
dapat banyak ikannya ya,
Kang.“
“Iya.“
“Ada
ikan tuna nya ya,
Kang.“
“Ada,
malah dapat empat agak besar.“
“Mana Kang?“
“Itu di samping jrigen.“
“O iya ya, Kang.“
“Silahkan diambil.“
“Iya Kang aku ambil dua saja ya Kang.“
“Ya gak apa-apa.“
“Aku bawa dulu ya, Kang.“
“Ya,
ya.“
Aku melangkah pulang sambil menenteng dua
ikan tuna dua dengan berat sekitar satu kilo perekornya. Cahaya matahari sangat
terang bersama semilir angin pantai. Ketika aku berjalan tampak bayangan tubuh
dan tanganku sedang menenteng dua ekor ikan tuna di bawah cahaya mentari pagi.
AGUS YUWANTORO, Lahir di Prambanan 5 Agustus 1965, Pendidikan Terakhir S2 di Unsiq Prop Jateng. Prodi Magister Pendidikan Agama Islam 2009, anggakatan ke 2. Tahun 2010 mendapatkan penghargaan Bapak Gubernur Jawa Tengah, juara pertama menulis sajak dan puisi dalam rangka peringatan 100 Tahun Meninggalnya Presiden RI Pertama Bung Karno juga mendapatkan Piagam kehormatan dari Panitia Pusat Jakarta an. Prof.DR.H. Soedijarto, MA, Aktif nulis fiksi sudah 25 Buku Antologi baik puisi dan cerpen sudah terbit. 3 buku solonya,Antalogi Puisi dengan judul “Tembang Sepi Orang Orang Pinggiran”. Antalogi Cerpen “ Kembang Kertas Nulis Novel berjudul Gadis Bermata Biru setebal: 250 halaman. Alamat Penulis Gedangan RT.08 / RW.05. Ds. Pecekelan.Kec.Sapuran.Wonosobo,Jateng.WA : 081325427232.