Oleh Agus Yuwantoro
Pelukis dan Parfum Episide
ke-42
Hampir dua jam lebih sepuluh menit, aku
dan Bapak Suherman masih tetap setia menunggu proses operasi jantung Biungku.
Wajah bapak Suherman mulai pucat, jakungnya bergerak naik turun. Butiran
keringatnya keluar dari dahinya. Duduk di pojok ruang tunggu. Kepalanya
disandarkan pada tembok. Kedua bola matanya memerah basah. Berkali-kali
mengambil napas panjang. Membasuh wajah berkali-kali dengan sapu tangannya.
Sebentar berdiri lalu duduk kembali. Aku membaca doa-doa terbaik buat Biungku
tercinta. Agar diberikan kemudahan kelancaran kesehatan kembali. Bisa berkumpul
kembali di rumah, sarapan nasi goreng. Makan siang dengan kluban urab, lauk
ikan asin dan sambel terasi.
Seorang perawat keluar dari pintu kamar
operasi. Tanpa sepatah katapun berbicara. Berjalan cepat keluar melewati ruang
tunggu opersai. Kemudian masuk kembali ke ruang operasi. Bapak Suherman berdiri
berjalan mondar-mondir di ruang tunggu. Saling diam membisu. Sepi. Hanya
semilir angin menggerakkan daun-daun pisang raja hijau di samping ruang tunggu.
Lima belas menit kemudian Doker Spesial
Jantung Sutejo keluar dari pintu kamar operasi dengan wajah penuh ceria.
Langsung mendekati Bapak Suherman kemudian berpelukan diruang tunggu operasi.
“Gimana kondisinya, Dok,“ cetus bapak
Suherman.
“Baik -baik saja.”
“Maksud Dokter “
“Operasi berjalan dengan lancar.“
“Terima kasih Dok.“
“Butuh waktu setengah jam untuk sadar kembali.“
“Baik, terima kasih Dok.”
“Terjadi penyumbatan tiga titik saluran menuju jantung. Kami
pasang tiga ring bertujuan memudahkan saluran darah menuju jantung. Pada
awalnya akan kami pasang balon. Tapi setelah kami teliti ulang lebih baik
pasang ring.“
“Tiga ring, Dok?”
“Iya demi kesehatan.“
“Terima kasih Dok.“
“Ya, ya. Untung kondisi badannya sehat mendukung opersinya.“
“Terima kasih Dok,“ jawab Bapak Suherman.
“Sama-sama,“ jawab
Dokter Sutejo sambil tersenyum.
Doker Sutejo mengajak
Bapak Suherman menuju ruang kerjanya. Akupun mengikutinya. Naik lif nomer
lantai 3. Pintu lif terbuka sampai depan pintu ruang kerja Dokter Sutejo.
“Ini semua berkat bantuan
Bapak Suherman.“
“Maksudnya Dokter?“
“Sebuah rumah sakit
jantung termegah. Sangat bagus. Sempurna. Super Nyaman. Penataan ruang bangsal
komunikatif. Ditambah lagi ruang Apoteker tertata rapi didepan. Memudahkan
keluarga pasien menembus obat. Tidak harus berputar-putar.
“Biasa- biasa saja lah Dok.“
“Ini tidak biasa-biasa
saja. Lihat itu disebelah kiri jalan. Begitu megah mewah bangunan ruang khusus
laboratorium. Hasil sumbangan dari bapak.“
“Akhh itu gak seberapa lah
Dok.“
“Kami atas nama Yayasan
dan Ikatan Dokter disini mengucapkan banyak terima kasih pada Bapak.“
“Sudahlah Dok itu sudah
berlalu,“ jawab Bapak Suherman dengan
tenang
Aku masih bingung arah
percakapannya bapak Suherman dengan Dokter spesial jantung Sutejo. Aku melirik
dari atas pintu kaca lantai tiga. Bangunan begitu besar megah. Seluas bangunan
pasar di kampungku. Dokter Sotejo mendekati bapak Suherman kemudian berbisik.
“Semua biyaya ditanggung
Yayasan rumah sakit sini Bapak.“
“Maksud, Dokter?“
“Semua biyaya di tanggung
Yayasan.“
“Tidak Dok. Akan aku bayar
sekarang.“
“Ini sudah menjadi
kesepakatan Pimpinan rumah sakit dan ketua Yayasan sini bapak.“
“Terima kasih Dok. Tetep
aku bayar.“
“Nanti saya sampaikan
Pimpinan Rumah Sakit sini.“
“Masih pak Daslam pimpinan
rumah sakit sini ya Dok?“
“Masih.“
“Pak Daslam asli dari
Ajibarang Kulon ya Dok?“
“Betul betul.“
“Ada nomer hpnya pak
Daslam.“
“Ada. Ini Bapak.“
“Oke-oke terima kasih ya
Dok.“
Bapak Suherman mengambil hpnya dari saku
bajunya kemudian telpon Pimpinan Rumah Sakit Jantung pak Daslam.
“Halo-halo.“
“Ya iya halo ini bapak
Suherman ya.“
“Loo kok tahu ya?“
“Tidak pangling dengan
suaranya Bapak. Bisa saya bantu bapak.“
“Bisa-bisa.“
“Gimana bapak?”
“Tolong dihitungkan ke
admin berapa biyaya operasinya dan kirimi no rekeningnya ya.“
“Sudah lunas Bapak.“
“Laa siapa yang bayar?“
“Baru saja ada transfer
dari Luar Negri.“
“Namanya siapa?“
“Tidak ada namanya bapak
cuma pengirimannya dari luar negri.“
“Negara mana?”
“Belanda.“
“Belanda?”
“Iya ya Belanda Bapak.“
“Tolong difotoken bukti
transfernya.“
“Baik Bapak.“
“Sekarang bapak tunggu.“
“Baik Bapak.“
“Kirimi langsung ke hp Bapak
ya?“
“Siap Bapak.“
Lima menit kemudian foto bukti transfer sudah
terkirim di layar monitor hpnya bapak Suherman. Aku melihat wajah bapak
Suherman bombong semringah. Ketika melihat bukti transfer dalam layar monitor
hapenya. Kemudian mendekatiku
“Mas sini dekat dengan
Bapak “
“Iya ya Pak.“
“Sini lebih dekat, Mas.“
“Lihat ini di tanda
transfer ada nama sandi S.“
“Maksud Bapak?“
“Yang transfer Shimon
kolektor lukisan dari Belanda.“
“Belanda, ya Bapak?“
“Iya ia berhasil melelang
lukisan tokoh gerakan peraadaban wanita Jawa dari Rembang.“
“Ki Ajeng ayu Kartini,
maksud Bapak?“
“Betul -betul.“
“Tapi itu lukisan biasa-biasa
saja Bapak.“
“Betul betul lukisannya
emang biasa tapi menjadi kekuatan sumber energi positif gerakan emansipasi
wanita pada zamannya. Bahkan sekarang menjadi panutan diseluruh dunia. Wanita harus
hidup sejajar dengan kaum laki. Baik dalam bidang karir maupun bekerja dalam
bidang apapun. Ini yang menjadi lukisanmu. Mahal Mas.”
“Tapi dimas pakai cat
minyak biasa saja ko.“
“Bukan dari catnya Mas.“
“Maksudnya?“
“Lukisan itu mampu
mewakili suara kaum wanita dimanapun berada.“
“Tapi lukisan itu tidak
pakem Bapak. Tidak memakai kain kebaya jawa komplit dan sanggul berbias bunga
melati.“
“Justru itu yang menjadi
lain dari pada yang lain Mas.“
“Dimas nglukis Kartini
dengan rambut panjang terurai di depan cahaya lampo minyak templok jawa sambil
membaca kitab Al Quran. Tidak formal.“
“La inilah sebuah nilai
seni. Tampil beda. Natural.“
“Jadi?“
“Lukisan itu yang membayar
semua biaya operasinya.“
“Maksud bapak?“
“Bapak percaya baru
sepuluh persennya dari hasil lelang lukisan itu Mas.”
“Akhh yang bener aja.“
“Bener. Bener. Bapak kan
termasuk pemain kolektor lukisan. Paham betul dengan dunia pelelangan Mas.”
“Bener itu.“
“Intinya semua yang bayar
itu hasil kulisannya Mas.“
“Lo ko tahu posisi Bapak?“
“Iya lah Mas setiap hari
kan Bapak pasang status kegiatan dalam akun apapun. Jadi temen-temen tahu
posisi dan kegiatan Bapak “
“Hebat. Hebat.“
“Ini lah zaman tehnologi
Mas, apapun bisa terditeksi.“
“Iya ya,“ jawabku sambil
tersenyum.