Kamis, 02 Desember 2021

Jalan Tak Berakal


pixabay.com


Elfi Tridiana

Malam temaram dalam keheningan yang selalu setia menemani benakku. Buaian angan yang tak pernah diraih tetap kucari. Bagai mengejar burung yang terbang ke ujung langit. Keyakinanku untuk mendapatkanya tak pernah surut. Meski apapun yang akan terjadi. Kicauan kalbuku selalu menggebu tak peduli siapa yang akan mengganggu. Gundah gulana menyelimuti hatiku saat pikiranku tak kunjung berhenti menggapai sesuatu. Mata bulat mulai perlahan menyempit, pupil mengerut, kelopak mata mengayun perlahan menutup angan yang terbayang dibola mata. Tubuh terurai lunglai seolah jasad tak berdaya. Senyap dan sunyi yang aku rasakan. Sekarang yang aku dengar hanya detak jam dinding yang terpasang di dinding kamar.

“Sreeett…” mata terpecap bak resleting yang ditutup pelan. “Wussss…” ada seberkas sinar yang menerobos masuk ke mataku, tembus ke otakku. Sinar itu sangat terang sampai aku tak sanggup melihatnya dan berusaha mengikuti larinya cahaya. Pena intelegen mulai menulis tak berkanvas, menyusuri alam semesta.  

Aku berusaha untuk mengikuti cahaya itu. Cahaya itu semakin jauh, aku semakin cepat berlari untuk mengejarnya. Tenagaku terkuras cahaya itu semakin jauh, lambaian tanganku tak dihiraukannya.

Aku berteriak, “Tunggu aku … tunggu aku … hai cahaya jangan tinggalkan aku.” Keringatku bercucuran … napas tersengal-sengal, sisa tenaga aku paksakan tetap mengejarnya, namun cahaya itu semakin kecil, semakin jauh, semakin lama tak kelihatan. Suasana menjadi gelap. Aku tetap bergerak ke sana ke mari, aku semakin gugup dalam keheningan.

“Cahaya di mana engkau… terangi aku, datanglah.” Suaraku lantang. Air mataku mulai menetes, tubuhku lunglai seolah tulang belulang rontok tak berdaya. Aku terkapar dalam kegelapan yang sunyi. Derai air mataku tak terbendung, tangisku semakin lirih, sisa tenagaku mencoba untuk menggerakkan tangan dan mencoba duduk di tepi yang tak berpenghuni. Kucoba mengusap pipi yang dibasahi linangan air mata. Kaki kucoba angkat berdiri untuk keluar dari kesunyian ini, namun apa daya kakiku terasa berat, sisa tenagaku tak mampu mengangkat beban tubuh.

”Prak….” Tubuhku terjatuh lagi. Rasa putus asa menghantui pikiranku. Batin membisikkan rasa kesal, seakan memaksa untuk menghabisi diri sendiri. Tanganku membabi buta mencari sesuatu yang bisa membinasakan sendiri.

“Srak… srak… prang!” Sesuatu tersentuh tanganku, kupegang erat, apa yang kupegang tak bisa terlihat mataku, suasana gelap menggelapkan mata dan batinku. Kuangkat tinggi-tinggi apa yang dipegang tanganku. Sambil tersimpuh dalam keletihan, aku bertekad menghabisi jasadku yang sudah tak berdaya. Daripada hidup dalam kesepian dan kegelapan yang tak berujung. Semangatku menggebu, seolah ada dendam dengan diriku sendiri, tubuh yang tak berguna, nista dan hina. Mataku melotot tajam, siap-siap untuk meninggalkan jasad yang letih. Batin berkecamuk, seakan mati rasa untuk menghabisi diri sendiri.

“Hunuskan… hunuskan!” kalimat yang deras mengalir di batinku. Tenaga terkumpul di tangan kanan, erat memegang sesuatu yang sudah mengarah ke perutku. Tekad sudah bulat ingin menghabisi diri sendiri, tangan mulai bergerak perlahan, tangan kiri ikut semangat berpadu dengan tangan kanan, bak teman sejoli yang seiring sejalan. Gerakan semakin tegas, hunusan sudah menyentuh perut, merobek kulit perut, tetesan darah mulai perlahan mengalir. Pikiran shut down tak berjalan, batin yang semakin kuat, menguatkan tenaga yang ada di tangan.

Tangan diangkat kuat, seakan menusuk dengan keras. Saat akan dihempaskan kuat, “Cling… srettt.” Cahaya kuat memantul dari benda yang dipegang di tangan menyilaukan mata. Seketika tangan kiri menutup kedua mataku, cahaya semakin silau, mataku berkedip-kedip menghalau silau cahaya. Mataku tertuju pada benda yang aku pegang, sembari mencari arah datangnya sinar yang memantul di tanganku.

Aku mencoba berdiri dengan sisa tenagaku, pikiran egoku sudah tak peduli dengan cahaya itu. Tapi cahaya itu membisikkan suara lirih dan halus, “Ke sinilah sayang…” Kalimat itu berulang terdengar di telingaku, hingga tubuhku gemetar, menyadarkan pikiran dan batinku yang hampir tak bernyawa.

Aku terbuai dengan ucapanya, perlahan kucoba menuju sumber cahaya. Cahaya itu muncul dari bunga anggrek yang sedang mekar, harum dan wangi tercium dari kejauhan, langkah pelan pasti aku mendekatinya. Semakin mendekati pohon anggrek semakin berkilau. Wangi harum semakin tajam di hidungku, membuai anganku pada masa lalu yang pernah kulalui. Keringat yang masih bercucuran dan letih yang tertatih, kupegang bunga yang berkilau, bunga yang cantik berwarna ungu, harumya sangat semerbak, seakan menjadi aroma terapi dalam kegelapan. Aku merasa tak sendiri lagi, ada kasih dan sayang dari kilauan cahayanya. Aku bersimpuh di bawahnya, menikmati kehangatan yang dikeluarkan dari pancaran cahaya yang muncul di bunga anggrek nan cantik.

Aku amati dengan seksama cahaya yang ada di mataku, sepintas batinku merasakan kerinduan, seolah tak asing dengan cahaya itu. Spontan keluar dari mulutku “Kamu….”  Ternyata kamu yang selalu aku rindukan. Kamu adalah cahaya yang meninggalkanku. Aku melamun merenungi apa yang pernah dan sedang terjadi.

“Apa kabar sayang… sedang apa kamu di sini?” Cahaya itu seolah bicara padaku. Aku terkoyak dari lamunanku. Spontan batinku membalas, “Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, aku hanya ingat ada seberkas cahaya yang masuk dalam otakku, terus aku berusaha mengejarnya. Tapi cahaya itu hilang.”

Bunga itu  semakin bersinar seakan memberiku semangat di dalam tubuhku. Cahaya itu seolah mengenalku, tapi aku benar-benar tidak mengenalmu. “Wahai bunga yang cantik dan wangi, aku tak mengenalmu tapi wangi dan kilaumu membuat hati nyaman di kehidupanku, sebenarnya kamu siapa?” celetuku penuh penasaran.

“Tak apa, tidak usah kau buang sia-sia waktumu hanya untuk mengingatku, waktuku juga tak banyak untuk bertemu dengan kamu.” Cahaya membalas dengan ketulusanya. Lambat laut kenyamanan tumbuh di hatiku, cahaya terang telah menuntunku ke kehidupan yang lebih tenang. Kurasakan pancarannya, kuraba kelembutannya, terasa tulus kasih sayangnya. Seakan aku memahaminya apa yang aku rasakan, iya perasaan ini pernah aku rasakan. Rasa yang selalu dirindukan, dan mengulang masa-masa terindah dalam kehidupan.

Mata hatiku terbuka, terperangah kaget dan terucap, “Dina…” Sekejap aku langsung menggengam bunga itu, dengan hati bergetar aku semakin gugup, bibir kelu berkecap, rasa itu tumbuh di dalam hati.

“Ya aku Dina, kau telah mengenaliku, percayalah aku kan selalu memberikan cahaya untukmu, ada rasa yang tak bisa aku tinggalkan, tapi jazadku harus pergi meninggalkan semua ini,” jawabnya. Bunga cantik semakin aku pegang dengan erat, tak ingin ditinggal rasa rindu ini. Namun cahaya itu perlahan keluar dari bunga itu. Aku berusaha menahannya tapi aku tak sanggup meraihnya.

“Aku mohon tetaplah di sini bersamaku, jangan tinggalkan aku sendiri, rasa ini terlalu dalam untuk dikenang,” aku bersimpuh dengan penuh harapan. Namun cahaya itu tetap meninggalkanku, aku kejar cahaya itu kemanapun ia pergi, semakin jauh, akupun semakin cepat berlari, akhirnya, “Brak…” Aku terjatuh di tebing yang begitu tinggi. Dalam keheningan terdengar suara, “Anakku sadarlah.” Aku benar- benar memahami suara ini, suara malaikat yang diutus Tuhan.

“Ibu,” sahutku. Mataku mencoba mencari suara nya.

“Ibu di mana, temani aku Bu… jangan tinggalkan aku sendiri di sini, Bu,” dengan cemas aku mencarinya.

“Aku di sini Nak, sangat dekat dengan kamu, jangan risau ibu tak akan meninggalkanmu.”

“Aku di mana  Bu, kenapa aku tak bisa melihatnya “.

“Kamu akan baik-baik saja Nak, percayalah, kita sedang menunggu dokter untuk menyembuhkanmu.”

“Aku kenapa Bu, kenapa ada di sini?”

“Tenang Nak… kamu terjatuh di tebing yang dalam, hingga kepalamu terbentur, dan terjadi pembekuan darah di otak hingga mengganggu penglihatanmu, hari ini kamu akan operasi, agar kamu pulih seperti sediakala.”

“Kapan dokter itu datang Bu, apakah aku bisa sembuh?”

“Dokter sudah mengecek semua dengan citi scan, kemungkinan sembuh cukup besar, jadi percalah Nak, dokter itu adalah orang yang kamu sayangi.”

“Dina… apakah itu Dina, Ibu?” tanyaku kaget.

“Iya anakku.”  

Ruang operasi telah siap dengan semua peralatanya, aku dibawa ke ruang operasi ditemani ibuku. Cukup lama operasi ini berjalan hampir 5 jam operasi baru selesai.

Satu hari berlalu aku tersadar setelah dioperasi, aku didampingi ibuku yang  sangat sayang padaku. Sambil memegang kepalaku yang masih pening, aku bertanya pada ibu, “Bu, apakah dokter Dina masih di sini?”

“Apakah kamu masih mencintainya, Nak,” sahut ibu.

“Iya Bu… entah kenapa hati ini selalu ada namanya.”

“Kemarin ibu sempat cerita sama dokter Dina, beliau akan pindah dari rumah sakit ini mengikuti suaminya di luar jawa.”

Seketika itupun aku pingsan dan jatuh dari ranjang. Tersontak aku terbangun, “Astagfirullah…”

Sambil mengusap muka, aku mencoba untuk sadar. mataku perlahan melihat dengan jelas. Ternyata aku berada di rumah, terbangun dari mimpi. Kulihat jam berdetak yang menempel di dinding menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Aku bergegas mandi karena sudah terlambat berangkat bekerja. Sampai di tempat kerja aku melihat seorang wanita berada di pintu gerbang, seakan sedang menunggu kedatanganku. Akupun semakin gugup.

Semakin dekat ternyata itu adalah Dina, hati ini semakin berdebar. Dia membuka kedua tangan seakan ingin memelukku. Senyumnya semakin membius kalbuku. Akupun berlari mendekati gadis pujaanku. Disambut dengan kedua tangannya, aku berusaha memeluknya. Semakin dekat hatiku semakin berdebar. Kupeluk dengan penuh kasih sayang Dina dengan kedua tanganku. Namun, pelukan itu sirna berubah jadi cahaya. (*)

Kutasari, 1 Desember 2021


Elfi Tridiana, S.Pd. dikenal dengan “LV JAYA”. Orang ngapak asli yang lahir di Purbalingga, 15 Mei 1978. Aktif di Pendidikan mengampu Mapel IPA SMP Negeri 1 Bojongsari Purbalingga. Selain itu juga berkecimpung di dunia perdagangan “Toko LV Jaya” dan Playland “ABZ Kid’s di wilayah Desa Kutasari Kecamatan Kutasari Kabupaten Purbalingga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar