pixabay.com
Elfi Tridiana
Malam temaram dalam
keheningan yang selalu setia menemani benakku. Buaian angan yang tak pernah
diraih tetap kucari. Bagai mengejar burung yang terbang ke ujung langit. Keyakinanku
untuk mendapatkanya tak pernah surut. Meski apapun yang akan terjadi. Kicauan
kalbuku selalu menggebu tak peduli siapa yang akan mengganggu. Gundah gulana
menyelimuti hatiku saat pikiranku tak kunjung berhenti menggapai sesuatu. Mata
bulat mulai perlahan menyempit, pupil mengerut, kelopak mata mengayun perlahan
menutup angan yang terbayang dibola mata. Tubuh terurai lunglai seolah jasad
tak berdaya. Senyap dan sunyi yang aku rasakan. Sekarang yang aku dengar hanya
detak jam dinding yang terpasang di dinding kamar.
“Sreeett…” mata
terpecap bak resleting yang ditutup pelan. “Wussss…” ada seberkas sinar yang
menerobos masuk ke mataku, tembus ke otakku. Sinar itu sangat terang sampai aku
tak sanggup melihatnya dan berusaha mengikuti larinya cahaya. Pena intelegen
mulai menulis tak berkanvas, menyusuri alam semesta.
Aku berusaha untuk
mengikuti cahaya itu. Cahaya itu semakin jauh, aku semakin cepat berlari untuk
mengejarnya. Tenagaku terkuras cahaya itu semakin jauh, lambaian tanganku tak
dihiraukannya.
Aku berteriak, “Tunggu
aku … tunggu aku … hai cahaya jangan tinggalkan aku.” Keringatku bercucuran …
napas tersengal-sengal, sisa tenaga aku paksakan tetap mengejarnya, namun
cahaya itu semakin kecil, semakin jauh, semakin lama tak kelihatan. Suasana
menjadi gelap. Aku tetap bergerak ke sana ke mari, aku semakin gugup dalam
keheningan.
“Cahaya di mana
engkau… terangi aku, datanglah.” Suaraku lantang. Air mataku mulai menetes,
tubuhku lunglai seolah tulang belulang rontok tak berdaya. Aku terkapar dalam
kegelapan yang sunyi. Derai air mataku tak terbendung, tangisku semakin lirih,
sisa tenagaku mencoba untuk menggerakkan tangan dan mencoba duduk di tepi yang
tak berpenghuni. Kucoba mengusap pipi yang dibasahi linangan air mata. Kaki kucoba
angkat berdiri untuk keluar dari kesunyian ini, namun apa daya kakiku terasa
berat, sisa tenagaku tak mampu mengangkat beban tubuh.
”Prak….” Tubuhku
terjatuh lagi. Rasa putus asa menghantui pikiranku. Batin membisikkan rasa
kesal, seakan memaksa untuk menghabisi diri sendiri. Tanganku membabi buta
mencari sesuatu yang bisa membinasakan sendiri.
“Srak… srak… prang!”
Sesuatu tersentuh tanganku, kupegang erat, apa yang kupegang tak bisa terlihat
mataku, suasana gelap menggelapkan mata dan batinku. Kuangkat tinggi-tinggi apa
yang dipegang tanganku. Sambil tersimpuh dalam keletihan, aku bertekad
menghabisi jasadku yang sudah tak berdaya. Daripada hidup dalam kesepian dan
kegelapan yang tak berujung. Semangatku menggebu, seolah ada dendam dengan
diriku sendiri, tubuh yang tak berguna, nista dan hina. Mataku melotot tajam, siap-siap
untuk meninggalkan jasad yang letih. Batin berkecamuk, seakan mati rasa untuk
menghabisi diri sendiri.
“Hunuskan… hunuskan!”
kalimat yang deras mengalir di batinku. Tenaga terkumpul di tangan kanan, erat
memegang sesuatu yang sudah mengarah ke perutku. Tekad sudah bulat ingin
menghabisi diri sendiri, tangan mulai bergerak perlahan, tangan kiri ikut
semangat berpadu dengan tangan kanan, bak teman sejoli yang seiring sejalan.
Gerakan semakin tegas, hunusan sudah menyentuh perut, merobek kulit perut,
tetesan darah mulai perlahan mengalir. Pikiran shut down tak berjalan,
batin yang semakin kuat, menguatkan tenaga yang ada di tangan.
Tangan diangkat
kuat, seakan menusuk dengan keras. Saat akan dihempaskan kuat, “Cling… srettt.”
Cahaya kuat memantul dari benda yang dipegang di tangan menyilaukan mata. Seketika
tangan kiri menutup kedua mataku, cahaya semakin silau, mataku berkedip-kedip
menghalau silau cahaya. Mataku tertuju pada benda yang aku pegang, sembari
mencari arah datangnya sinar yang memantul di tanganku.
Aku mencoba
berdiri dengan sisa tenagaku, pikiran egoku sudah tak peduli dengan cahaya itu.
Tapi cahaya itu membisikkan suara lirih dan halus, “Ke sinilah sayang…” Kalimat
itu berulang terdengar di telingaku, hingga tubuhku gemetar, menyadarkan
pikiran dan batinku yang hampir tak bernyawa.
Aku terbuai dengan
ucapanya, perlahan kucoba menuju sumber cahaya. Cahaya itu muncul dari bunga
anggrek yang sedang mekar, harum dan wangi tercium dari kejauhan, langkah pelan
pasti aku mendekatinya. Semakin mendekati pohon anggrek semakin berkilau. Wangi
harum semakin tajam di hidungku, membuai anganku pada masa lalu yang pernah kulalui.
Keringat yang masih bercucuran dan letih yang tertatih, kupegang bunga yang
berkilau, bunga yang cantik berwarna ungu, harumya sangat semerbak, seakan
menjadi aroma terapi dalam kegelapan. Aku merasa tak sendiri lagi, ada kasih
dan sayang dari kilauan cahayanya. Aku bersimpuh di bawahnya, menikmati
kehangatan yang dikeluarkan dari pancaran cahaya yang muncul di bunga anggrek
nan cantik.
Aku amati dengan
seksama cahaya yang ada di mataku, sepintas batinku merasakan kerinduan, seolah
tak asing dengan cahaya itu. Spontan keluar dari mulutku “Kamu….” Ternyata kamu yang selalu aku rindukan. Kamu
adalah cahaya yang meninggalkanku. Aku melamun merenungi apa yang pernah dan
sedang terjadi.
“Apa kabar sayang…
sedang apa kamu di sini?” Cahaya itu seolah bicara padaku. Aku terkoyak dari
lamunanku. Spontan batinku membalas, “Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi,
aku hanya ingat ada seberkas cahaya yang masuk dalam otakku, terus aku berusaha
mengejarnya. Tapi cahaya itu hilang.”
Bunga itu semakin bersinar seakan memberiku semangat di
dalam tubuhku. Cahaya itu seolah mengenalku, tapi aku benar-benar tidak
mengenalmu. “Wahai bunga yang cantik dan wangi, aku tak mengenalmu tapi wangi
dan kilaumu membuat hati nyaman di kehidupanku, sebenarnya kamu siapa?” celetuku
penuh penasaran.
“Tak apa, tidak
usah kau buang sia-sia waktumu hanya untuk mengingatku, waktuku juga tak banyak
untuk bertemu dengan kamu.” Cahaya membalas dengan ketulusanya. Lambat laut
kenyamanan tumbuh di hatiku, cahaya terang telah menuntunku ke kehidupan yang
lebih tenang. Kurasakan pancarannya, kuraba kelembutannya, terasa tulus kasih
sayangnya. Seakan aku memahaminya apa yang aku rasakan, iya perasaan ini pernah
aku rasakan. Rasa yang selalu dirindukan, dan mengulang masa-masa terindah
dalam kehidupan.
Mata hatiku
terbuka, terperangah kaget dan terucap, “Dina…” Sekejap aku langsung menggengam
bunga itu, dengan hati bergetar aku semakin gugup, bibir kelu berkecap, rasa
itu tumbuh di dalam hati.
“Ya aku Dina, kau
telah mengenaliku, percayalah aku kan selalu memberikan cahaya untukmu, ada
rasa yang tak bisa aku tinggalkan, tapi jazadku harus pergi meninggalkan semua
ini,” jawabnya. Bunga cantik semakin aku pegang dengan erat, tak ingin
ditinggal rasa rindu ini. Namun cahaya itu perlahan keluar dari bunga itu. Aku
berusaha menahannya tapi aku tak sanggup meraihnya.
“Aku mohon
tetaplah di sini bersamaku, jangan tinggalkan aku sendiri, rasa ini terlalu
dalam untuk dikenang,” aku bersimpuh dengan penuh harapan. Namun cahaya itu
tetap meninggalkanku, aku kejar cahaya itu kemanapun ia pergi, semakin jauh,
akupun semakin cepat berlari, akhirnya, “Brak…” Aku terjatuh di tebing yang
begitu tinggi. Dalam keheningan terdengar suara, “Anakku sadarlah.” Aku benar-
benar memahami suara ini, suara malaikat yang diutus Tuhan.
“Ibu,” sahutku.
Mataku mencoba mencari suara nya.
“Ibu di mana,
temani aku Bu… jangan tinggalkan aku sendiri di sini, Bu,” dengan cemas aku
mencarinya.
“Aku di sini Nak,
sangat dekat dengan kamu, jangan risau ibu tak akan meninggalkanmu.”
“Aku di mana Bu, kenapa aku tak bisa melihatnya “.
“Kamu akan
baik-baik saja Nak, percayalah, kita sedang menunggu dokter untuk
menyembuhkanmu.”
“Aku kenapa Bu,
kenapa ada di sini?”
“Tenang Nak… kamu
terjatuh di tebing yang dalam, hingga kepalamu terbentur, dan terjadi pembekuan
darah di otak hingga mengganggu penglihatanmu, hari ini kamu akan operasi, agar
kamu pulih seperti sediakala.”
“Kapan dokter itu
datang Bu, apakah aku bisa sembuh?”
“Dokter sudah
mengecek semua dengan citi scan, kemungkinan sembuh cukup besar, jadi percalah Nak,
dokter itu adalah orang yang kamu sayangi.”
“Dina… apakah itu Dina,
Ibu?” tanyaku kaget.
“Iya anakku.”
Ruang operasi
telah siap dengan semua peralatanya, aku dibawa ke ruang operasi ditemani
ibuku. Cukup lama operasi ini berjalan hampir 5 jam operasi baru selesai.
Satu hari berlalu
aku tersadar setelah dioperasi, aku didampingi ibuku yang sangat sayang padaku. Sambil memegang kepalaku
yang masih pening, aku bertanya pada ibu, “Bu, apakah dokter Dina masih di sini?”
“Apakah kamu masih
mencintainya, Nak,” sahut ibu.
“Iya Bu… entah
kenapa hati ini selalu ada namanya.”
“Kemarin ibu
sempat cerita sama dokter Dina, beliau akan pindah dari rumah sakit ini
mengikuti suaminya di luar jawa.”
Seketika itupun
aku pingsan dan jatuh dari ranjang. Tersontak aku terbangun, “Astagfirullah…”
Sambil mengusap
muka, aku mencoba untuk sadar. mataku perlahan melihat dengan jelas. Ternyata
aku berada di rumah, terbangun dari mimpi. Kulihat jam berdetak yang menempel
di dinding menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Aku bergegas mandi karena
sudah terlambat berangkat bekerja. Sampai di tempat kerja aku melihat seorang
wanita berada di pintu gerbang, seakan sedang menunggu kedatanganku. Akupun
semakin gugup.
Semakin dekat
ternyata itu adalah Dina, hati ini semakin berdebar. Dia membuka kedua tangan
seakan ingin memelukku. Senyumnya semakin membius kalbuku. Akupun berlari
mendekati gadis pujaanku. Disambut dengan kedua tangannya, aku berusaha
memeluknya. Semakin dekat hatiku semakin berdebar. Kupeluk dengan penuh kasih
sayang Dina dengan kedua tanganku. Namun, pelukan itu sirna berubah jadi
cahaya. (*)
Kutasari, 1 Desember 2021
Elfi
Tridiana, S.Pd.
dikenal dengan “LV JAYA”. Orang ngapak asli yang lahir di Purbalingga, 15 Mei
1978. Aktif di Pendidikan mengampu Mapel IPA SMP Negeri 1 Bojongsari
Purbalingga. Selain itu juga berkecimpung di dunia perdagangan “Toko LV Jaya”
dan Playland “ABZ Kid’s di wilayah Desa Kutasari Kecamatan Kutasari Kabupaten
Purbalingga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar