pixabay.com
Cing Ato
Semalam baru saja terjadi pemalakan di sebuah
kampung. Para penduduk tidak ada yang
berani mencegah, karena para preman tak segan-segan melukai siapa saja yang
menghardiknya, kecuali hanya seorang ulama karismatik yang mereka segani.
Para preman sering mengganggu setiap orang yang
lalu-lalang di sekitar
markasnya. Hampir semua yang lewat, baik para pedagang, para pengendara, para
pejalan kaki tidak luput dari pemalakannya.
Bukan hanya malak, terkadang binatang ternak penduduk
tidak luput dari sasarannya. Mabuk-mabukan sudah menjadi kebiasaan dan
pemandangan sehari-hari para penduduk.
Perbuatan mereka mengusik hati seorang kyai setempat.
Siang malam sang kyai berpikir bagaimana
cara untuk mengajak mereka ke jalan
yang benar. Bertahun-tahun pak kyai berdakwah, tapi tetap saja hasilnya nihil.
Pada suatu ketika mereka melakukan pemalakan. Tapi
mereka kali ini salah sasaran, ternyata yang dipalak bukan orang sembarangan.
“Hai... berhenti! Keluarkan dompet, jika tidak mau
cacat,” ancam seorang preman.
“Ambil saja kalau berani !” timpal seorang pemuda.
Ketika preman hendak mengambil dompet dengan cekatan si pemuda mencegahnya dengan
memegang pergelangan tangan preman.
“Eeeh... berani kamu. Nih, rasakan pukulan
dariku,” gertak preman sambil melayangkan pukulan ke arah pemuda.
Dengan cekatan pemuda menangkis pukulan preman. Preman
melayangkan tangan kirinya lalu si pemuda menangkisnya dengan tangan kirinya.
Tidak membuang waktu si pemuda menghajar leher preman dengan kedua tangannya.
Lalu menendang perutnya hingga terpental lima meter dari tempat berdirinya.
Teman-temanya maju menyerang, pemuda tak gentar dengan
mengerahkan seluruh tenaga dan gerakan silatnya. Seluruh preman ambruk dibuatnya.
“Ampun... ampun... Bang.”
“Awas macam-macam lagi, aku patahin semua batang leher
kalian.”
Para preman kabur meninggalkan tempat, sementara si
pemuda melanjutkan perjalanannya.
Ternyata pemuda ini adalah keponakan pak kyai. Kebetulan pemuda ini
hendak bersilaturahmi ke rumahnya. Pemuda ini merupakan jebolan pondok
pesantren. Di samping menimba ilmu agama, pemuda ini juga mendalami ilmu bela diri.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam.”
“Eh, Salim. Masuk sini.”
“Bagaimana kabar keluargamu?”
“Alhamdulillah, baik-baik saja paman.”
“Eh, maaf, sepertinya kamu keringatan sekali?”
“Itu tadi ada anak muda menghadang dan malakin saya.
Tidak dikasih langsung melayangkan tinju. Ya, sudah saya tumbangkan sekalian.”
“Oh, hebat kamu Lim.”
“Kenapa ada banyak anak preman di situ Paman?”
“Itulah, permasalahannya. Sudah lama paman dakwahi
mereka. Sudah berbagai macam cara paman lakukan. Kalau paman bergerak mereka hilang, nanti
kalau paman lengah timbul lagi.”
“Oh, begitu paman permasalahannya.”
“Iya, Lim. Oh iya, kira-kira kamu punya ide Lim.”
“Sebentar Paman, saya berpikir dahulu.”
Salim lama berpikir dan merenung untuk mencari ide.
Ketika Salim sedang kebingungan, tetiba Salim melihat foto putri pamannya yang
cantik tergantung di dinding.
“Nah, paman saya ketemu ide.”
“Apa Lim?”
“Tapi, ini sepertinya berat Paman.”
“Iya, apa?”
“Takut Paman tidak setuju.”
“Katakan saja
tidak usah ragu.”
“Baik Paman.
Begini Paman,
bagaimana kalau Fatimah kita jadikan
umpan untuk menundukkan ketua preman?”
“Waduh, yang benar saja Lim.”
“Maksud saya, jika ketuanya sudah ditaklukkan dan
bahkan dijadikan menantu paman setidaknya dia akan memandang Paman. Lambat-laun dia akan
mengikuti jejak Paman.”
“Iya, juga Lim. Terkadang dakwah butuh pengorbanan,
bukan saja diri kita bahkan apa yang kita miliki kita korbankan demi tegaknya
dakwah amar makruf nahi mungkar.”
“Iya Paman. Semoga usaha ini diridai Allah.”
“Aamiin.”
Strategi dakwah dirancang sedemikian rupa, kebetulan
putri kyai itu tahun ini tamat dari pesantren. Pak kyai pun membicarakan
perihal tersebut kepada putrinya. Bak gayung bersambut putrinya menyetujuinya.
Bergeraklah Fatimah menuju tempat berkumpulnya para
preman sambil diawasi oleh Salim dari kejauhan. Ketika melintasi jalan tersebut
banyak anak preman terpesona dengan kecantikan gadis berkerudung merah muda.
“Waduh, mata gua kaga salah nih,” ucap salah satu
preman agak takjub.
“Ada apa?” tanya preman yang lain.
“Itu... tu... tu..., ada bidadari surga sedang lewat.”
“Lah iya, waduh cantiknya.”
“Hai... hendak ke mana kalian?” tanya ketua preman.
“Itu Bos... itu... tu... ada bidadari surga.”
“Diam di tempat kalian! Ini jatah saya.”
Anak-anak buah preman diam seribu bahasa tak ada yang
berani melangkah. Sementara ketua preman menghampiri Fatimah.
“Assalamualaikum,” sapa ketua preman dengan sopan.
“Waalaikum salam,” jawab Fatimah.
Ketua preman sapaannya dijawab, hatinya
berbunga-bunga.
“Oh, my God. Baru ini hatiku berdebar-debar.
Kecantikan dan keayuannya meruntuhkan keangkeranku. Sepertinya seluruh tubuh
ini jadi lemah. Kulihat gadis itu gadis yang baik. Aura kesalehannya terpancar
di wajahnya.”
“Neng siapa namanya?”
“Fatimah Bang.”
“Nama yang bagus.”
“Terima kasih Bang.”
“Rumahnya di mana?”
“Itu Bang, tidak jauh dari masjid.”
“Anak Pak
Kyai Hasan.”
“Iya Bang.”
“Oooh... anak
Pak
Kyai?”
“Kenapa Bang?”
“Tidak apa-apa.”
”Bang saya buru-buru hendak ke Pasar. Kalau Abang ingin ngobrol banyak
datang saja ke rumah besok saya tunggu. Tidak enak dilihat orang, jika ngobrol
di tengah jalan.”
“Oh, iya... silahkan neng Fatimah.”
Fatimah melanjutkan perjalanan, sementara ketua preman
terdiam kaku sambil memandangi Fatimah. Lalu ditamparlah pipinya berulang kali.
“Aku ini sedang bermimpi atau tidak ya?” tanya ketua preman kepada
dirinya.
“Aduh, sakit... berarti aku tidak sedang bermimpi
dan memang tadi benar kejadiannya.”
Tidak menyia-nyiakan waktu ketua preman mendatangi
Fatimah. Kali ini penampilannya berbeda dengan biasanya. Kini sedikit perlente
dan bau aroma wewangian. Maklum hendak bertemu gadis pujaannya.
Fatimah menyambutnya dengan ramah tamah. Begitu juga
pak kyai ayahnya Fatimah.
“Alhamdulillah, sudah mulai masuk perangkap, tinggal
langkah selanjutnya,” ucap pak kyai.
Beberapa bulan kemudian, ketika ketua preman
berkunjung ke rumahnya pak kyai langsung ikut ngobrol bersamanya.
“De, kamu sudah sering datang ke sini. Saya hendak
bertanya. Apakah Ade senang dengan putri saya?”
“I... iya, Pak Kyai.”
“Begini saja Minggu depan Ade ajak orang tua Ade
datang ke sini untuk melamar anak saya.”
“Iya, Pak Kyai terima kasih. Langsung pamit saja kalau
begitu Pak
Kyai.”
Ketua preman berpamitan, sambil jalan hatinya bahagia
sekali. Harapan mendapatkan istri cantik dan salihah sudah tergambar dalam mata
hatinya.
“Alhamdulillah, yes... yes... yes,” ucap ketua preman.
Baru kali ini ucapan “Alhamdulillah” keluar dari
mulutnya. Dia pun bergegas pulang ke rumah. Selama ini dia jarang pulang.
Andaikan pulang hanya menyakitkan hati orang tua. Namun, kali ini berbeda dari
hari biasanya.
“Assalamualaikum,” sapa preman.
“Waalaikum salam,” jawab orang tuanya.
“Siapa,
Mak?” tanya bapaknya.
“Tidak tahu.”
“Coba lihat!”
“Iya, Pak.”
Ibunya pun membukakan pintu, lalu sedikit kaget
melihat anaknya ada di depan pintu dan tambah kaget lagi ketika anaknya salim
kepadanya.
“Mak, ini aku anakmu
si Bahar. Ko, bengong saja si Mak.”
Bahar langsung masuk menemui bapaknya, sementara
ibunya masih tetap bengong di depan pintu.
“Aku, tidak mimpi ya, aneh itu si Bahar apa bukan. Ko,
lain dari biasanya.”
Ketika masih dalam keadaan keheranan melihat si Bahar,
tetiba,
“Mak, kenapa bengong sini duduk Bahar hendak bicara?”
“Iya, ya... ya....”
“Nah, gitu duduk yang manis.”
“Begini Mak dan Bapak.”
“Bahar hendak ngajak Bapak dan Mak ke rumah Pak Kyai Hasan tetangga kampung
kita.”
“Untuk apa Har?”
“Mak, dengarkan dahulu Bahar belum selesai bicaranya.”
“Iya... ya... ya..., Mak dengerkan.”
“Pak Kyai memerintahkan saya untuk membawa Bapak dan
Mak serta paman dan bibi untuk melamar gadisnya.”
“Nanti dulu, kamu sakit Har.”
“Loh, kenapa Mak bicara seperti itu?”
“Mana ada seorang Kyai menerima kamu untuk dijadikan
menantunya?”
“Nih, Mak Bahar
sehat,” sambil berdiri dan bergoyang.
“Bukan begitu
Bahar, Mak masih kaga percaya.”
“Benar ini Mak,
demi Allah.”
“Tumben nyebut-nyebut Allah.”
“Lah, biar Bahar preman tetap Mak masih punya Allah.”
“Begini saja Mak, besok undang paman dan bibi untuk
berangkat ke rumah Kyai. Jangan lupa siapkan bawaannya.”
“Iya.”
“Saya mau salat Isya dahulu.”
“Lah, tumben Har.”
“Mak, orang hendak salat dibilang tumben, pan sebentar
lagi jadi mantu Kyai. Bahar ingin hafalin dan latihan dahulu gerakan salatnya
agar tidak kaku. Maklum sudah lama tidak salat. Hehehe.”
Hari Minggu Bahar, bapak, ibu, paman dan bibinya
berangkat menuju rumah pak kyai.
Mereka diterima dengan baik. Dan langsung membicarakan acara pernikahan.
Pesta pernikahan pun di gelar. Cukup meriah banyak
para tetangga kampung datang. Tidak ketinggalan anak buahnya Bahar pun pada
datang dengan memakai pakaian rapih. Karena sebelumnya sudah diberi tahu oleh
Bahar.
Pernikahan yang tidak biasa ini menjadi buah bibir di kalangan orang kampung.
“Gila Pak
Kyai, ustaz banyak kenapa dia nikahkan anaknya dengan preman,” ucap salah satu
tamu.
Sementara tamu yang lain berpandangan berbeda.
“Mungkin ini strategi beliau untuk menaklukkan sang preman
dan anak buahnya. Cukup menaklukkan ketuanya, maka anak buahnya pasti
mengikuti. Hebat Pak
Kyai strategi dakwahnya. Mengorbankan putrinya sebagai kendaraan dakwah.”
Seiring bergantinya waktu dan berubahnya musim,
seiring itu pula kondisi masyarakat sudah mulai tenang dan preman-preman yang
sering membuat resah masyarakat akhirnya hilang secara perlahan. Ada yang
bertaubat dan menjalani sisa hidupnya bersama masyarakat biasa dan ada juga
yang pulang kampung.
Bahar pun menjadi baik dan hidup penuh kebahagiaan
dengan Fatimah. Beliau diberikan
keturunan yang salih dan salihah.
“Alhamdulillah, butuh waktu 22 tahun dakwah akhirnya
tersampaikan juga,” ucap
pak kyai
sambil sekali-sekali menghela napas. []
.........................
Suharto (Cing Ato) kelahiran Jakarta suku Betawi. Guru
MTsN 5 Jakarta. Seorang penyintas GBS. Sudah 3,5 tahun bergelut dengan penyakit
yang melumpuhkan seluruh syaraf. Satu tahun tak bergerak. Setelah tangan mulai
bergerak berusaha bangkit untuk melawan penyakit dengan cara menulis setiap
hari melalui smartphone. Walau jari-jemari masih kaku berusaha untuk menyentuh
layar keyboard smartphone.
Terbitlah 6 buah buku sepanjang tahun 2020-2021. Untuk tahun 2022 sudah
menyiapkan beberapa draf buku yang siap diterbitkan.
Luar biasa cerpennya, Pak👍. Semoga Allah memberi kesehatan untuk Bapak, aamiin
BalasHapusAmiin yra
HapusAmiin yra
Hapus