Kamis, 23 Desember 2021

Gadis Pengumpan

 

pixabay.com


Cing Ato


Semalam baru saja terjadi pemalakan di sebuah kampung.  Para penduduk tidak ada yang berani mencegah, karena para preman tak segan-segan melukai siapa saja yang menghardiknya, kecuali hanya seorang ulama karismatik yang mereka segani.

Para preman sering mengganggu setiap orang yang lalu-lalang di sekitar markasnya. Hampir semua yang lewat, baik para pedagang, para pengendara, para pejalan kaki tidak luput dari pemalakannya.

Bukan hanya malak, terkadang binatang ternak penduduk tidak luput dari sasarannya. Mabuk-mabukan sudah menjadi kebiasaan dan pemandangan sehari-hari para penduduk.

Perbuatan mereka mengusik hati seorang kyai setempat. Siang malam sang  kyai berpikir bagaimana cara untuk mengajak mereka ke jalan yang benar. Bertahun-tahun pak kyai berdakwah, tapi tetap saja hasilnya nihil.

Pada suatu ketika mereka melakukan pemalakan. Tapi mereka kali ini salah sasaran, ternyata yang dipalak bukan orang sembarangan.

“Hai... berhenti! Keluarkan dompet, jika tidak mau cacat,” ancam seorang preman.

“Ambil saja kalau berani !” timpal seorang pemuda.

Ketika preman hendak mengambil dompet  dengan cekatan si pemuda mencegahnya dengan memegang pergelangan tangan preman.

“Eeeh... berani kamu. Nih, rasakan pukulan dariku,” gertak preman sambil melayangkan pukulan ke arah pemuda.

Dengan cekatan pemuda menangkis pukulan preman. Preman melayangkan tangan kirinya lalu si pemuda menangkisnya dengan tangan kirinya. Tidak membuang waktu si pemuda menghajar leher preman dengan kedua tangannya. Lalu menendang perutnya hingga terpental lima meter dari tempat berdirinya.

Teman-temanya maju menyerang, pemuda tak gentar dengan mengerahkan seluruh tenaga dan gerakan silatnya. Seluruh preman  ambruk dibuatnya.

“Ampun... ampun... Bang.”

“Awas macam-macam lagi, aku patahin semua batang leher kalian.”

Para preman kabur meninggalkan tempat, sementara si pemuda melanjutkan perjalanannya.

Ternyata pemuda ini adalah keponakan pak kyai. Kebetulan pemuda ini hendak bersilaturahmi ke rumahnya. Pemuda ini merupakan jebolan pondok pesantren. Di samping menimba ilmu agama, pemuda ini juga  mendalami ilmu bela diri.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam.”

“Eh, Salim. Masuk sini.”

“Bagaimana kabar keluargamu?”

“Alhamdulillah, baik-baik saja paman.”

“Eh, maaf, sepertinya kamu keringatan sekali?”

“Itu tadi ada anak muda menghadang dan malakin saya. Tidak dikasih langsung melayangkan tinju. Ya, sudah saya tumbangkan sekalian.”

“Oh, hebat kamu Lim.”

“Kenapa ada banyak anak preman di situ Paman?”

“Itulah, permasalahannya. Sudah lama paman dakwahi mereka. Sudah berbagai macam cara paman lakukan.  Kalau paman bergerak mereka hilang, nanti kalau paman lengah timbul lagi.”

“Oh, begitu paman permasalahannya.”

“Iya, Lim. Oh iya, kira-kira kamu punya ide Lim.”

“Sebentar Paman, saya berpikir dahulu.”

Salim lama berpikir dan merenung untuk mencari ide. Ketika Salim sedang kebingungan, tetiba Salim melihat foto putri pamannya yang cantik tergantung di dinding.

“Nah, paman saya ketemu ide.”

“Apa Lim?”

“Tapi, ini sepertinya berat Paman.”

“Iya, apa?”

“Takut Paman tidak setuju.”

 “Katakan saja tidak usah ragu.”

“Baik Paman. Begini Paman, bagaimana kalau   Fatimah kita jadikan umpan untuk menundukkan ketua preman?”

“Waduh, yang benar saja Lim.”

“Maksud saya, jika ketuanya sudah ditaklukkan dan bahkan dijadikan menantu paman setidaknya dia akan memandang Paman. Lambat-laun dia akan mengikuti jejak Paman.”

“Iya, juga Lim. Terkadang dakwah butuh pengorbanan, bukan saja diri kita bahkan apa yang kita miliki kita korbankan demi tegaknya dakwah amar makruf nahi mungkar.”

“Iya Paman. Semoga usaha ini diridai Allah.”

 “Aamiin.”

Strategi dakwah dirancang sedemikian rupa, kebetulan putri kyai itu tahun ini tamat dari pesantren. Pak kyai pun membicarakan perihal tersebut kepada putrinya. Bak gayung bersambut putrinya menyetujuinya.

Bergeraklah Fatimah menuju tempat berkumpulnya para preman sambil diawasi oleh Salim dari kejauhan. Ketika melintasi jalan tersebut banyak anak preman terpesona dengan kecantikan gadis berkerudung merah muda.

“Waduh, mata gua kaga salah nih,” ucap salah satu preman agak takjub.

“Ada apa?” tanya preman yang lain.

“Itu... tu... tu..., ada bidadari surga sedang lewat.”

“Lah iya, waduh cantiknya.”

 “Hai... hendak ke mana kalian?” tanya ketua preman.

 “Itu Bos... itu... tu... ada bidadari surga.”

“Diam di tempat kalian! Ini jatah saya.”

Anak-anak buah preman diam seribu bahasa tak ada yang berani melangkah. Sementara ketua preman menghampiri Fatimah.

“Assalamualaikum,” sapa ketua preman dengan sopan.

“Waalaikum salam,” jawab Fatimah.

Ketua preman sapaannya dijawab, hatinya berbunga-bunga.

“Oh, my God. Baru ini hatiku berdebar-debar. Kecantikan dan keayuannya meruntuhkan keangkeranku. Sepertinya seluruh tubuh ini jadi lemah. Kulihat gadis itu gadis yang baik. Aura kesalehannya terpancar di wajahnya.”

“Neng siapa namanya?”

“Fatimah Bang.”

“Nama yang bagus.”

“Terima kasih Bang.”

“Rumahnya di mana?”

“Itu Bang, tidak jauh dari masjid.”

“Anak Pak Kyai Hasan.”

“Iya Bang.”

“Oooh... anak Pak Kyai?”

“Kenapa Bang?”

“Tidak apa-apa.

”Bang saya buru-buru hendak ke Pasar. Kalau Abang ingin ngobrol banyak datang saja ke rumah besok saya tunggu. Tidak enak dilihat orang, jika ngobrol di tengah jalan.”

“Oh, iya... silahkan neng Fatimah.”

Fatimah melanjutkan perjalanan, sementara ketua preman terdiam kaku sambil memandangi Fatimah. Lalu ditamparlah pipinya berulang kali.

“Aku ini sedang bermimpi atau tidak ya?” tanya ketua preman kepada dirinya.

“Aduh, sakit... berarti aku tidak sedang bermimpi dan memang tadi benar kejadiannya.”

Tidak menyia-nyiakan waktu ketua preman mendatangi Fatimah. Kali ini penampilannya berbeda dengan biasanya. Kini sedikit perlente dan bau aroma wewangian. Maklum hendak bertemu gadis pujaannya.

Fatimah menyambutnya dengan ramah tamah. Begitu juga pak kyai ayahnya Fatimah.

“Alhamdulillah, sudah mulai masuk perangkap, tinggal langkah selanjutnya,” ucap pak kyai.

Beberapa bulan kemudian, ketika ketua preman berkunjung ke rumahnya pak kyai langsung ikut ngobrol bersamanya.

“De, kamu sudah sering datang ke sini. Saya hendak bertanya. Apakah Ade senang dengan putri saya?”

“I... iya, Pak Kyai.”

“Begini saja Minggu depan Ade ajak orang tua Ade datang ke sini untuk melamar anak saya.”

“Iya, Pak Kyai terima kasih. Langsung pamit saja kalau begitu Pak Kyai.”

Ketua preman berpamitan, sambil jalan hatinya bahagia sekali. Harapan mendapatkan istri cantik dan salihah sudah tergambar dalam mata hatinya.

“Alhamdulillah, yes... yes... yes,” ucap ketua preman.

Baru kali ini ucapan Alhamdulillah” keluar dari mulutnya. Dia pun bergegas pulang ke rumah. Selama ini dia jarang pulang. Andaikan pulang hanya menyakitkan hati orang tua. Namun, kali ini berbeda dari hari biasanya.

“Assalamualaikum,” sapa preman.

“Waalaikum salam,” jawab orang tuanya.

“Siapa, Mak?” tanya bapaknya.

“Tidak tahu.”

“Coba lihat!”

“Iya, Pak.”

Ibunya pun membukakan pintu, lalu sedikit kaget melihat anaknya ada di depan pintu dan tambah kaget lagi ketika anaknya salim kepadanya.

“Mak, ini aku anakmu  si Bahar. Ko, bengong saja si Mak.”

Bahar langsung masuk menemui bapaknya, sementara ibunya masih tetap bengong di depan pintu.

“Aku, tidak mimpi ya, aneh itu si Bahar apa bukan. Ko, lain dari biasanya.”

Ketika masih dalam keadaan keheranan melihat si Bahar, tetiba,

“Mak, kenapa bengong sini duduk Bahar hendak bicara?”

“Iya, ya... ya....”

“Nah, gitu duduk yang manis.”

“Begini Mak dan Bapak.”

“Bahar hendak ngajak Bapak dan Mak ke rumah Pak Kyai Hasan tetangga kampung kita.”

“Untuk apa Har?”

“Mak, dengarkan dahulu Bahar belum selesai bicaranya.”

“Iya... ya... ya..., Mak dengerkan.”

“Pak Kyai memerintahkan saya untuk membawa Bapak dan Mak serta paman dan bibi untuk melamar gadisnya.”

“Nanti dulu, kamu sakit Har.”

“Loh, kenapa Mak bicara seperti itu?”

“Mana ada seorang Kyai menerima kamu untuk dijadikan menantunya?”

 “Nih, Mak Bahar sehat,” sambil berdiri dan bergoyang.

 “Bukan begitu Bahar, Mak masih kaga percaya.”

 “Benar ini Mak, demi Allah.”

“Tumben nyebut-nyebut Allah.

“Lah, biar Bahar preman tetap Mak masih punya Allah.”

“Begini saja Mak, besok undang paman dan bibi untuk berangkat ke rumah Kyai. Jangan lupa siapkan bawaannya.”

“Iya.”

“Saya mau salat Isya dahulu.”

“Lah, tumben Har.”

“Mak, orang hendak salat dibilang tumben, pan sebentar lagi jadi mantu Kyai. Bahar ingin hafalin dan latihan dahulu gerakan salatnya agar tidak kaku. Maklum sudah lama tidak salat. Hehehe.”

Hari Minggu Bahar, bapak, ibu, paman dan bibinya berangkat menuju rumah pak kyai. Mereka diterima dengan baik. Dan langsung membicarakan acara pernikahan.

Pesta pernikahan pun di gelar. Cukup meriah banyak para tetangga kampung datang. Tidak ketinggalan anak buahnya Bahar pun pada datang dengan memakai pakaian rapih. Karena sebelumnya sudah diberi tahu oleh Bahar.

Pernikahan yang tidak biasa ini menjadi buah bibir di kalangan orang kampung.

“Gila Pak Kyai, ustaz banyak kenapa dia nikahkan anaknya dengan preman,” ucap salah satu tamu.

Sementara tamu yang lain berpandangan berbeda.

“Mungkin ini strategi beliau untuk menaklukkan sang preman dan anak buahnya. Cukup menaklukkan ketuanya, maka anak buahnya pasti mengikuti. Hebat Pak Kyai strategi dakwahnya. Mengorbankan putrinya sebagai kendaraan dakwah.”

Seiring bergantinya waktu dan berubahnya musim, seiring itu pula kondisi masyarakat sudah mulai tenang dan preman-preman yang sering membuat resah masyarakat akhirnya hilang secara perlahan. Ada yang bertaubat dan menjalani sisa hidupnya bersama masyarakat biasa dan ada juga yang pulang kampung.

Bahar pun menjadi baik dan hidup penuh kebahagiaan dengan Fatimah. Beliau  diberikan keturunan yang salih dan salihah.

“Alhamdulillah, butuh waktu 22 tahun dakwah akhirnya tersampaikan juga,” ucap pak kyai sambil sekali-sekali menghela napas. []

.........................

Suharto (Cing Ato) kelahiran Jakarta suku Betawi. Guru MTsN 5 Jakarta. Seorang penyintas GBS. Sudah 3,5 tahun bergelut dengan penyakit yang melumpuhkan seluruh syaraf. Satu tahun tak bergerak. Setelah tangan mulai bergerak berusaha bangkit untuk melawan penyakit dengan cara menulis setiap hari melalui smartphone. Walau jari-jemari masih kaku berusaha untuk menyentuh layar keyboard smartphone. Terbitlah 6 buah buku sepanjang tahun 2020-2021. Untuk tahun 2022 sudah menyiapkan beberapa draf buku yang siap diterbitkan.

3 komentar: