pixabay.com
(Pelukis dan
Parfum ke-2)
Oleh
Agus Yuwantoro
Hari ini aku bangun lebih pagi bersama
butiran kristal embun pagi berwarna putih. Berjatuhan di pucuk daun pinus dan
pisang. Kabut bercampur cairan embun berubah menjadi air kemudian menguap
terbakar matahari, mengeluarkan
asap di setiap pucuk
dedaunan. Ketika seberkas cahaya matahari merekah memerah dan kemuning keemasan
di atas deburan gelombang air pantai yang tenang. Perahu –perahu para nelayan
menepi ke bibir pantai. Tadi malam harus berkelahi dengan ombak dan udara
dingin. Berjuang di tengah
malam dengan jaring pencari
ikan. Dengan cahaya lampu petromak minyak menerangi di tengah malam pantai
lepas.
Berjuang keras demi memenuhi kebutuhan
ekonomi keluarga yang semakin mencekik leher semua nelayan. Setiap malam harus
berkelahi dengan badai gelombang pantai yang ganas. Demi memperjuangkan hidup.
Ikan hasil tangkapan dijual untuk membeli beras, minyak goreng dan beberapa
bungkus mi instan. Pulang ke rumah membawa bekal untuk makan sekeluarga.
Seperti jejak langkah leluhur yang
lahir di pantai. Nenek moyangku seorang pelaut berani menantang badai.
Gelombang ombak laut dengan perahu layar berani menerjang puluhan malam ribuan
senja. Mengarungi samudera luas menembus daratan Eropa. Menjual hasil
rempah-rempah sehingga terkenal bangsa kaya dengan hasil bumi melimpah, sehingga bangsa Eropa
berusaha merebut wilayah Indonesia yang terkenal sangat kaya dengan hasil bumi
melimpah ruah.
Pada tahun 1509 – 1595 M Portugis menjajah
Indonesia melalui
wilayah Maluku. Tahun 1521 - 1692 M Spanyol menjajah Indonesia melalui wilayah
Minahasa. Tahun 1806 – 1811 M Perancis menjajah Indonesia. Tahun 1811 – 1816 M
Inggris menjajah Indonesia. Tahun 1602 – 1942 Belanda menjajah Indonesia paling
lama. Terakhir dari bangsa Asia Jepang menjajah Indonesia pada Tahun 1942 –
1945 M. Bahkan bangsa Eropa Belanda dengan segala jurus apapun ditempuh merebut
negara sangat kaya hasil buminya. Belanda menjajah dengan kekuatan militernya
mengadakan ekspansi besar-besaran.
Mengarahkan semua tentara yang terbaik dengan tujuan satu: merebut negara Indonesia.
Nenek moyangku bukan hanya seorang
pelaut yang hebat. Dengan gagah berani menantang badai dan gelombang laut yang
ganas. Namun,
nenek moyangku adalah pahlawan luar biasa super hebat. Berani melawan perang
gerilya dengan bangsa Eropa Belanda. Dengan senjata tradisional bambu runcing
mengusir penjajah. Lahirlah pahlawan-pahlawan klasik di seluruh Nusantara.
Dengan kekuatan persatuan semangat bersatu padu dari segala ras, suku, adat dan
berbagai agama. Berkumpul menjadi satu menjadi kekuatan yang mahadahsyat.
Sebagai modal dasar untuk mengusir kaum penjajah bangsa Belanda.
Hanya dengan kekuatan persatuan dan
kesatuan mengumpul menjadi satu ikatan yang kuat. Seperti falsafah sapu lidi
terbuat dari sisa daun-daun kelapa kering. Setelah menjadi satu diikat siap menyapu
apapun yang ada di depannya, bersih tanpa ada yang
terisa. Nenek moyangku ternyata hebat juga terkenal di dunia Internasional. Bahkan sekarang ini
banyak bangsa Eropa ingin belajar tentang nilai kesatuan dan persatuan yang
kuat. Tanpa membedakan suku, ras, adat, dan agama.
Aku
mulai menggelar kanfas dengan ukuran lebar satu meter panjang lima puluh senti
meter. Aku siapkan warna cat natural hitam. Minggu kemarin mendapatkan pesanan
dari salah satu kolektor lukisan klasik dari Jakarta. Bekerja di salah satu
kedutaan besar Amerika di Jakarta sebagai juru bicara juga staf ahli. Bapak Suherman
penampilannya seperti anak muda. Walaupun sebenarnya usianya sudah masuk kepala
enam puluh lima tahun. Sukanya selalu memakai celana dan baju lengan
pendek jin merek Lea ukuran nomor
34 berwarna biru tua. Dengan tas cangklong terbuat dari kulit berwarna cokelat merek Pollo. Kaca
mata hitam BL buatan USA menggantung
di saku bajunya. Tinggi badan seratus enam puluh sembilan, badan agak kurus,
rambutnya lurus hitam mengkilat. Memesan untuk melukis salah satu tokoh
pahlawan Nasional dari Jawa Tengah daerah Magelang.
Pahlawan Nasional Pangeran
Diponegoro yang terkenal
dengan perang Padri mendobrak kekuatan hukum adat melawan
imperialisme
Belanda. Merasa sakit hati ketika semua rakyatnya dijadikan budak kerja paksa
membuat jalan Anyer sampai Panarukan. Bahkan banyak yang tewas sia-sia ketika
mempertahankan tanah leluhurnya. Perang Padri meledak mulai tahun 1825 sampai
1830. Pangeran Diponegoro tertangkap hasil rekayasa Belanda dengan orang
pribumi setempat. Berkat informan dari si pengkhinat bangsa. Pada akhirnya
Belanda kalah pergi meninggalkan tanah leluhur Bangsa Indonesia.
Aku mulai fokus membuat skesta
lukisan heroik
Pangeran Diponego dengan naik kuda putih sambil mengacungkan senjata keris Nogo
Sosro warisan dari lelulur raja Jawa. Di tengah kobaran api juga dentuman suara
meriam Belanda. Ketika aku mulai membuat garis lukisan dengan warna natural.
Aku tersentak ada bau parfum persis yang
aku simpan dalam almari baju. Bau parfumnya sangat khas terbawa semilir angin
pantai basah. Aku menoleh ke kanan
dan ke kiri. Sepi. Namun, bau parfum terus menusuk
lubang
hidungku. Aku berhenti membuat pola garis lukisan sebab bau parfum semakin beterbangan
di seluruh tubuhku
mengakibatkan detak jatungku tidak beraturan.
Ketika aku menaruh kuas ke dalam kotak. Aku
melihat gadis kecil berambut panjang dengan pita rambut jingga. Sembunyi di
balik pohon sukun yang sedang berbuah. Kelihatan pita rambut berwarna jingga di
bawah cahaya mentari memantul di pasir pantai. Ketika aku berjalan pelan ke
arah gadis kecil dengan pita jingga, ia sudah menghilang di balik pohon sukun.
Berlari cepat menerobos deretan penjual makanan tradisional di blok C nomor 99. Di bawah pohon
sukun masih tersisa bau parfumnya. Sehingga mengingatkan aku pada kekasihku
Supraptiwi.
Untuk menghilangkan rasa sakit hatiku
aku menyeberang
pulau. Memilih tinggal di daerah Bali. Menghibur diri setiap hari melukis
dengan tema hati nurani. Agar hati ini tidak semakin patah dan jatuh berserakan
sehingga ambyar pecah sebab gagal dalam percintaan. Lebih tepatnya patah hati. Namun, bau parfum itu
membangunkan mimpi-mimpi indah cintaku yang hampir beku membisu. Bahkan mimpi
cintaku sudah aku masukkan ke dalam peti mati elegi cintaku. Namun, bau parfum itu
menumbuhkan kembali tunas cinta. Bersemi kembali penuh dengan napas harapan di
pojok
bola mata penantian.
Aku berjalan menelusuri jalan setapak
depan deretan kios-kios hasil kerajinan anak pantai. Bahan bakunya dari batu
karang dibuat tempat bunga dan asbak. Kedua bola mataku tajam menyelusuri
setiap gang jalan. Setiap anak-anak yang lewat selalu aku perhatikan.
Lebih-lebih kalau melihat sekelompok gadis kecil berambut panjang yang sedang
asik bermain gobak sodor dan jilumpet. Aku perhatikan satu-persatu tetap saja
belum berhasil menemukan gadis kecil berambut panjang dengan pita warna jingga.
Aku melangkah kaki kembali di tempat
untuk melukis. Meneruskan konsep dasar untuk melukis tokoh pahlawan Nasional.
Tapi aku merasa heran kanvas
untuk melukis berbau harum. Siapakah gadis kecil berambut panjang dengan pita
jingga itu? Aku menjadi penasaran. Akan aku cari sampai kapanpun. []
Elegi mimpi di Munggangsari, 2 Desember 2021
AGUS YUWANTORO, Lahir di Prambanan 5 Agustus 1965, Pendidikan Terakhir S2 di Unsiq Prop Jateng. Prodi Magister Pendidikan Agama Islam 2009, anggakatan ke 2. Tahun 2010 mendapatkan penghargaan Bapak Gubernur Jawa Tengah, juara pertama menulis sajak dan puisi dalam rangka peringatan 100 Tahun Meninggalnya Presiden RI Pertama Bung Karno juga mendapatkan Piagam kehormatan dari Panitia Pusat Jakarta an. Prof.DR.H. Soedijarto, MA, Aktif nulis fiksi sudah 25 Buku Antologi baik puisi dan cerpen sudah terbit. 3 buku solonya,Antalogi Puisi dengan judul “Tembang Sepi Orang Orang Pinggiran”. Antalogi Cerpen “ Kembang Kertas Nulis Novel berjudul Gadis Bermata Biru setebal: 250 halaman. Alamat Penulis Gedangan RT.08 / RW.05. Ds. Pecekelan.Kec.Sapuran.Wonosobo,Jateng.WA : 081325427232.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar