Sekolah di
Seberang Sungai
Cerpen
Agus Pribadi
Tadi malam, suara burung hantu
bersahut-sahutan di atas genting rumah. Entah datangnya dari mana,
burung-burung nokturnal itu seakan enggan beranjak dari tempat itu. Tak seperti
biasanya, pagi ini hatiku
merasa gundah. Meski rumah semipermanen, tapi aku
biasanya nyaman menempati rumah yang kami bangun pelan-pelan bersama almarhum
suamiku. Aku
akan mencegah Arman—anak semata wayangku—berangkat ke sekolah. Aku tak ingin
tragedi yang dulu menimpa suamiku terulang padanya.
“Lebih
baik, kamu tak usah berangkat ke sekolah, Nak. Lihatlah langit tampak mendung, titik-titik
air pun mulai turun. Aku takut
air sungai meluap dan membahayakan orang yang menyeberanginya.”
“Tapi
hari
ini tatap muka pertama, Emak. Aku sudah bosan setiap hari di
rumah terus. Aku ingin belajar bersama teman-teman di sekolah. Aku ingin
mendengar nasihat langsung dari bapak dan ibu guru. Aku ingin dibimbing
langsung oleh bapak ibu guru dalam membuat keterampilan tangan dan keterampilan
lainnya.”
Memang
anakku—yang kini duduk di kelas lima sekolah dasar—punya pendirian sekokoh pohon kopi seperti ayahnya. Suamiku
kalau sudah memiliki pendirian, akan sulit untuk digoyahkan. Seperti saat ada
lowongan pekerjaan sebagai perangkat desa. Jika mau ia bisa mendaftar dan
berpeluang besar untuk diterima seperti saran dariku, tapi ia tidak mau
melakukannya. Katanya ia telah mencintai profesinya itu. Ah, aku jadi teringat almarhum
suamiku.
Dulu Ratman, suamiku seorang guru honorer yang rajin
bekerja, meski honornya tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup setiap bulan tapi
tak mengurangi tanggung jawabnya dalam mencerdaskan anak-anak bangsa. Kalau mau
bisa saja Ratman bekerja di kota besar dengan gaji yang jauh lebih besar.
Namun, ia lebih memilih mengabdikan hidupnya di kampung halamannya sendiri.
Ya,
di sebuah sekolah dasar yang berada di seberang sungai itu, seluruh hidup Ratman dipersembahkan. Sebuah
sekolah dasar yang berada di tengah-tengah perkampungan. Di dekat bangunan
sekolah terdapat kandang sapi dengan bau kotoran sapi menyengat sampai ke ruang
kelas dan ruang guru. Bagi Ratman hal itu bukanlah halangan untuk tetap
memberikan yang terbaik untuk para peserta didiknya. Ratman kerap mengantarkan
peserta didik yang dibimbingnya menjadi juara berbagai perlombaan baik akademik
maupun nonakademik di tingkat kecamatan maupun kabupaten. Bahkan ada suatu
perlombaan yang diikuti peserta didik bimbingannya sampai ke tingkat provinsi.
***
Dua tahun yang lalu, di bulan yang sama dengan tahun ini, hujan turun tak henti-henti seperti
tangisan langit yang sedang dirundung pilu. Ratman tetap berusaha berangkat ke sekolah menunaikan
tugas kesehariannya.
Jangankan hujan lebat atau petir menggelegar. Ibarat jika bumi terbelah
pun, ia akan tetap bekerja dengan sebaik-baiknya.
Ia
harus mengawal anak-anak yang akan menyeberang sungai yang lebarnya sekitar 10
meter itu. Sungai yang dulunya banyak terdapat ikan-ikan berbagai
jenis, tapi sekarang sudah mulai berkurang bahkan sulit ditemukan.
Ketika berada di tengah-tengah sungai, beberapa anak
memekik karena kakinya terpeleset. Ratman berhasil menyelamatkan anak-anak yang nyaris
tergelincir di bebatuan sungai yang licin. Namun, dirinya sendiri tak
tertolong. Tidak hanya tergelincir, tubuh Ratman yang
tinggi dan kurus itu
hanyut diterjang banjir yang tiba-tiba datang tanpa permisi, meluluhlantakkan apa saja yang ada di depannya.
Anak-anak yang memakai seragam putih merah hanya mampu berteriak histeris di
tepi sungai, “Pak Guru ... Pak Guru … Pak Guru …!”
Pencarian Ratman dilakukan oleh berbagai pihak. Tubuh tak bernyawanya baru ditemukan sehari berikutnya
oleh Tim SAR dan petugas dari Kecamatan dan Kabupaten.
Konon akan dibangun jembatan di atas sungai itu agar
anak-anak dapat dengan nyaman berangkat dan pulang sekolah. Namun, sampai saat
ini belum juga ada tanda-tandanya.
Sejak
itu, aku tak ingin anakku menyeberang sungai lagi. Dan sejak datangnya pandemi, keinginanku itu sepertinya terwujud. Anakku banyak berada di
rumah. Kalau sinyal telepon genggam sedang sulit, ia akan naik ke bukit
bareng teman-temannya. Di sana ia akan menggunakan telepon
genggam
untuk pembelajaran daring. Setelah agak siang anakku akan kembali pulang ke
rumah. Aku membelikan telepon genggam anakku dengan uang
dari menjual seekor kambing dari beberapa kambing yang aku pelihara.
***
Tadi
aku melamun saat anakku pamit akan berangkat ke sekolah. Aku tak terlalu
mendengarkan saat ia berkata, “Aku berangkat dulu, Emak.” Kakiku seperti terpaku ke bumi. Setelah ia menjauh, aku baru tersadar. Ingin
aku mengejarnya, tapi sepertinya akan sia-sia karena ia sudah berlari dan sulit untuk
kukejar. Saat ini aku hanya mampu menunggunya pulang dari sekolah, dan
mendoakan keselamatan untuknya.
***
Kabar
dari salah seorang tetangga itu seperti petir di siang bolong. Anak-anak yang pulang
dari sekolah dikabarkan hanyut diterjang air sungai yang meluap. Orang-orang
berkerumun di depan rumah masing-masing. Ada yang tak sabar ingin berlari
menuju ke sungai yang jaraknya sekitar satu kilometer itu. Ada yang hanya berani menunggu di depan rumah, karena tidak berani
mendekati sungai yang airnya meluap.
Aku
bimbang dalam menentukan pilihan, apakah akan menunggu kabar dan pasrah saja
apapun yang terjadi pada anak semata wayangku? Atau aku harus membawa kaki ini
melangkah menuju sungai yang telah menenggelamkan anakku? Aku baru menyadari kini aku seorang
diri terpaku di depan rumah. Tak ada lagi suami yang bisa melindungiku saat aku
kalut seperti ini. Tak juga ada anak tersayang sebagai pelipur lara saat aku
ditinggal suami.
Aku
tak tahu lagi ke mana aku harus menuju dalam kesendirian ini. Hidupku pun
seakan sudah tak ada arti. Anak semata wayang yang aku gadang-gadang
menggantikan mendiang suamiku pun kini turut hanyut dihempas banjir yang
mengamuk.
Jerit
suara orang menangis dan memanggil-manggil nama anaknya sayup-sayup kudengarkan. Lalu lalang orang-orang yang sedang
kalut seperti induk ayam yang kehilangan anak-anaknya saat disambar oleh burung
elang, juga samar-samar aku lihat. Hangat air mata merayap pelan di
pipiku.
Orang-orang
seperti sibuk dengan urusannya sendiri. Dari delapan anak yang dikabarkan
hanyut barangkali masih ada hubungan keluarga dengan mereka, misalnya: anak, cucu, keponakan, dan lain
sebagainya. Mereka terlihat tak acuh. Aku mungkin dianggap mereka sebagai orang-orangan sawah yang digunakan
untuk menakut-nakuti burung-burung yang mengganggu tanaman padi. Namun, aku
harus memakluminya, dalam keadaan panik barangkali orang-orang akan
melupakan orang lain di dekatnya.
Akhirnya
aku memutuskan untuk melangkahkan kaki ini menuju ke sungai, suatu
hal yang sangat tidak aku inginkan. Bayangan suamiku yang tenggelam
diseret arus sungai seperti masih di pelupuk mata. Kini aku harus menyaksikan hal yang
sama pada anakku. Oh … tidak.
Aku
ikut bergegas bersama orang-orang yang juga mungkin kehilangan sanak
keluarganya. Aku harus menguatkan hati, apapun adanya anakku, aku akan
menghadapinya. Apapun wujudnya anakku, aku akan memeluknya. Air mataku menderas
sederas hujan yang masih saja turun dengan kecepatan yang semakin tinggi.
Saat
aku berada di persimpangan jalan antara menuju ke sungai dan ke bukit, seperti mimpi, aku melihat Arman berlari dari arah
bukit ke arahku
dengan tubuh yang tidak terlalu basah kuyup. Tak ada tanda-tanda anakku habis
tenggelam. Aku langsung memeluknya, dan ia pun memelukku. Kami berdua menangis
sesenggukan.
“Aku
tidak jadi menyeberangi sungai, Emak. Kata-kata Emak seperti
lengket di telingaku dan terngiang-ngiang terus sepanjang jalan. Saat berada
di persimpangan jalan ini, telepon genggamku berbunyi berkali-kali. Aku membaca
pengumuman dari Pak Guru di grup whatsapp bahwa yang berangkat hari ini hanya separuh saja, dan yang
separuhnya lagi berangkat besok. Aku termasuk yang berangkat besok. Setelah
membaca pengumuman itu, aku dan beberapa teman memutuskan untuk belajar di atas
bukit.” (*)
Purbalingga, 28 Oktober 2021
Agus
Pribadi, S.Si, Guru IPA di SMP Negeri 1 Kalimanah Kab. Purbalingga Jawa Tengah
mantap & jos
BalasHapusJazakallah..
HapusKeyen, TOP pokoke lah
BalasHapusTerima kasih.......
HapusIkut membaca
BalasHapusTerima kasih apresiasinya Pak Imanuel Tri..
HapusBagus banget Pak Guru...
BalasHapusTerima kasih.. semoga saya bisa menulis lebih baik lg
HapusKeren Pak
BalasHapusMenyimak!
BalasHapusYESSSS
BalasHapus