Rabu, 08 Desember 2021

Cerpen Juara 3 Lomba Guru Menulis Cerpen PGRI Tingkat Provinsi Jawa Tengah 2021

 

pixabay.com

Sekolah di Seberang Sungai

Cerpen Agus Pribadi

 

Tadi malam, suara burung hantu bersahut-sahutan di atas genting rumah. Entah datangnya dari mana, burung-burung nokturnal itu seakan enggan beranjak dari tempat itu. Tak seperti biasanya, pagi ini hatiku merasa gundah. Meski rumah semipermanen, tapi aku biasanya nyaman menempati rumah yang kami bangun pelan-pelan bersama almarhum suamiku. Aku akan mencegah Arman—anak semata wayangku—berangkat ke sekolah. Aku tak ingin tragedi yang dulu menimpa suamiku terulang padanya.  

“Lebih baik, kamu tak usah berangkat ke sekolah, Nak. Lihatlah langit tampak mendung, titik-titik air pun mulai turun. Aku takut air sungai meluap dan membahayakan orang yang menyeberanginya.

“Tapi hari ini tatap muka pertama, Emak. Aku sudah bosan setiap hari di rumah terus. Aku ingin belajar bersama teman-teman di sekolah. Aku ingin mendengar nasihat langsung dari bapak dan ibu guru. Aku ingin dibimbing langsung oleh bapak ibu guru dalam membuat keterampilan tangan dan keterampilan lainnya.

Memang anakku—yang kini duduk di kelas lima sekolah dasar—punya pendirian sekokoh pohon kopi seperti ayahnya. Suamiku kalau sudah memiliki pendirian, akan sulit untuk digoyahkan. Seperti saat ada lowongan pekerjaan sebagai perangkat desa. Jika mau ia bisa mendaftar dan berpeluang besar untuk diterima seperti saran dariku, tapi ia tidak mau melakukannya. Katanya ia telah mencintai profesinya itu. Ah, aku jadi teringat almarhum suamiku.  

Dulu Ratman, suamiku seorang guru honorer yang rajin bekerja, meski honornya tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup setiap bulan tapi tak mengurangi tanggung jawabnya dalam mencerdaskan anak-anak bangsa. Kalau mau bisa saja Ratman bekerja di kota besar dengan gaji yang jauh lebih besar. Namun, ia lebih memilih mengabdikan hidupnya di kampung halamannya sendiri.

Ya, di sebuah sekolah dasar yang berada di seberang sungai itu, seluruh hidup Ratman dipersembahkan. Sebuah sekolah dasar yang berada di tengah-tengah perkampungan. Di dekat bangunan sekolah terdapat kandang sapi dengan bau kotoran sapi menyengat sampai ke ruang kelas dan ruang guru. Bagi Ratman hal itu bukanlah halangan untuk tetap memberikan yang terbaik untuk para peserta didiknya. Ratman kerap mengantarkan peserta didik yang dibimbingnya menjadi juara berbagai perlombaan baik akademik maupun nonakademik di tingkat kecamatan maupun kabupaten. Bahkan ada suatu perlombaan yang diikuti peserta didik bimbingannya sampai ke tingkat provinsi.

***

Dua tahun yang lalu, di bulan yang sama dengan tahun ini, hujan turun tak henti-henti seperti tangisan langit yang sedang dirundung pilu. Ratman tetap berusaha berangkat ke sekolah menunaikan tugas kesehariannya. Jangankan hujan lebat atau petir menggelegar. Ibarat jika bumi terbelah pun, ia akan tetap bekerja dengan sebaik-baiknya.

Ia harus mengawal anak-anak yang akan menyeberang sungai yang lebarnya sekitar 10 meter itu. Sungai yang dulunya banyak terdapat ikan-ikan berbagai jenis, tapi sekarang sudah mulai berkurang bahkan sulit ditemukan.

Ketika berada di tengah-tengah sungai, beberapa anak memekik karena kakinya terpeleset. Ratman berhasil menyelamatkan anak-anak yang nyaris tergelincir di bebatuan sungai yang licin. Namun, dirinya sendiri tak tertolong. Tidak hanya tergelincir, tubuh Ratman yang tinggi dan kurus itu hanyut diterjang banjir yang tiba-tiba datang tanpa permisi, meluluhlantakkan apa saja yang ada di depannya. Anak-anak yang memakai seragam putih merah hanya mampu berteriak histeris di tepi sungai, “Pak Guru ... Pak Guru … Pak Guru …!”

Pencarian Ratman dilakukan oleh berbagai pihak. Tubuh tak bernyawanya baru ditemukan sehari berikutnya oleh Tim SAR dan petugas dari Kecamatan dan Kabupaten.

Konon akan dibangun jembatan di atas sungai itu agar anak-anak dapat dengan nyaman berangkat dan pulang sekolah. Namun, sampai saat ini belum juga ada tanda-tandanya.

Sejak itu, aku tak ingin anakku menyeberang sungai lagi. Dan sejak datangnya pandemi, keinginanku itu sepertinya terwujud. Anakku banyak berada di rumah. Kalau sinyal telepon genggam sedang sulit, ia akan naik ke bukit bareng teman-temannya. Di sana ia akan menggunakan telepon genggam untuk pembelajaran daring. Setelah agak siang anakku akan kembali pulang ke rumah. Aku membelikan telepon genggam anakku dengan uang dari menjual seekor kambing dari beberapa kambing yang aku pelihara.

***

Tadi aku melamun saat anakku pamit akan berangkat ke sekolah. Aku tak terlalu mendengarkan saat ia berkata, “Aku berangkat dulu, Emak.” Kakiku seperti terpaku ke bumi. Setelah ia menjauh, aku baru tersadar. Ingin aku mengejarnya, tapi sepertinya akan sia-sia karena ia sudah berlari dan sulit untuk kukejar. Saat ini aku hanya mampu menunggunya pulang dari sekolah, dan mendoakan keselamatan untuknya.

***

Kabar dari salah seorang tetangga itu seperti petir di siang bolong. Anak-anak yang pulang dari sekolah dikabarkan hanyut diterjang air sungai yang meluap. Orang-orang berkerumun di depan rumah masing-masing. Ada yang tak sabar ingin berlari menuju ke sungai yang jaraknya sekitar satu kilometer itu. Ada yang hanya berani menunggu di depan rumah, karena tidak berani mendekati sungai yang airnya meluap.

Aku bimbang dalam menentukan pilihan, apakah akan menunggu kabar dan pasrah saja apapun yang terjadi pada anak semata wayangku? Atau aku harus membawa kaki ini melangkah menuju sungai yang telah menenggelamkan anakku? Aku baru menyadari kini aku seorang diri terpaku di depan rumah. Tak ada lagi suami yang bisa melindungiku saat aku kalut seperti ini. Tak juga ada anak tersayang sebagai pelipur lara saat aku ditinggal suami.

Aku tak tahu lagi ke mana aku harus menuju dalam kesendirian ini. Hidupku pun seakan sudah tak ada arti. Anak semata wayang yang aku gadang-gadang menggantikan mendiang suamiku pun kini turut hanyut dihempas banjir yang mengamuk.

Jerit suara orang menangis dan memanggil-manggil nama anaknya sayup-sayup kudengarkan. Lalu lalang orang-orang yang sedang kalut seperti induk ayam yang kehilangan anak-anaknya saat disambar oleh burung elang, juga samar-samar aku lihat. Hangat air mata merayap pelan di pipiku.

Orang-orang seperti sibuk dengan urusannya sendiri. Dari delapan anak yang dikabarkan hanyut barangkali masih ada hubungan keluarga dengan mereka, misalnya: anak, cucu, keponakan, dan lain sebagainya. Mereka terlihat tak acuh. Aku mungkin dianggap mereka sebagai orang-orangan sawah yang digunakan untuk menakut-nakuti burung-burung yang mengganggu tanaman padi. Namun, aku harus memakluminya, dalam keadaan panik barangkali orang-orang akan melupakan orang lain di dekatnya.

Akhirnya aku memutuskan untuk melangkahkan kaki ini menuju ke sungai, suatu hal yang sangat tidak aku inginkan. Bayangan suamiku yang tenggelam diseret arus sungai seperti masih di pelupuk mata. Kini aku harus menyaksikan hal yang sama pada anakku. Oh … tidak.

Aku ikut bergegas bersama orang-orang yang juga mungkin kehilangan sanak keluarganya. Aku harus menguatkan hati, apapun adanya anakku, aku akan menghadapinya. Apapun wujudnya anakku, aku akan memeluknya. Air mataku menderas sederas hujan yang masih saja turun dengan kecepatan yang semakin tinggi.

Saat aku berada di persimpangan jalan antara menuju ke sungai dan ke bukit, seperti mimpi, aku melihat Arman berlari dari arah bukit ke arahku dengan tubuh yang tidak terlalu basah kuyup. Tak ada tanda-tanda anakku habis tenggelam. Aku langsung memeluknya, dan ia pun memelukku. Kami berdua menangis sesenggukan.

“Aku tidak jadi menyeberangi sungai, Emak. Kata-kata Emak seperti lengket di telingaku dan terngiang-ngiang terus sepanjang jalan. Saat berada di persimpangan jalan ini, telepon genggamku berbunyi berkali-kali. Aku membaca pengumuman dari Pak Guru di grup whatsapp bahwa yang berangkat hari ini hanya separuh saja, dan yang separuhnya lagi berangkat besok. Aku termasuk yang berangkat besok. Setelah membaca pengumuman itu, aku dan beberapa teman memutuskan untuk belajar di atas bukit. (*)

Purbalingga, 28 Oktober 2021

 

Agus Pribadi, S.Si, Guru IPA di SMP Negeri 1 Kalimanah Kab. Purbalingga Jawa Tengah

11 komentar: