pixabay.com
Cerpen Monika Nurdiani
Mata Sarno terbelalak melihat sebuah
benda berwarna putih terselip di jok becaknya. Tangannya segera mengambil benda
itu. Ternyata sebuah amplop kecil.
Jari-jemarinya meraba-raba amplop yang tertutup rapat itu. Sepertinya
amplop itu berisi sesuatu yang penting buktinya lemnya saja sangat kuat.
Pikiran Sarno menebak-nebak isinya. Uangkah atau sekadar sebuah surat? Sarno bimbang
untuk membuka amplop itu atau tidak. Namun, rasa keingintahuannya lebih besar
dari apa pun. Ia pun duduk di atas becaknya. Kebetulan saat itu suasana di
pinggir saluran irigasi tempat ia biasa mencuci becaknya sedang sepi.
Dengan hati-hati Sarno melepas
perekat amplop. Jantungnya berdegub lebih kencang dari biasanya ketika sesuatu
berwarna merah jambu tampak di depan matanya. Uang. Ya, sekarang di tangannya
ada lima lembar uang ratusan ribu, tapi uang siapa?
Sarno mengingat-ingat kembali
orang-orang yang menaiki becaknya hari itu. Sayangnya bayangan wajah mereka
sama sekali tidak terekam di memorinya. Ia memang jarang memperhatikan
wajah-wajah penumpang becaknya. Sarno hanya ingat kalau hari itu ia menarik
becaknya empat kali. Artinya hanya ada empat orang yang menggunakan jasa
becaknya dan semuanya dengan tujuan yang sama ke terminal kota. Sangat susah
baginya melacak orang di tempat ramai seperti terminal.
Sarno memegang lembaran uang itu
dengan tangan gemetar. Ia menghela napas, lalu
menghempaskan tubuh kurusnya ke sandaran jok becaknya sambil memejamkan
mata.
"Bapak, Ratih mau sepatu, tas,
dan baju baru buat sekolah. Besok jadi beli, ya."
Ah, kalimat itu kembali terngiang di
telinga Sarno. Wajah memelas gadis kecilnya berkelebat dalam kepalanya. Entah
sudah berapa kali Ratih mengucapkan kalimat itu kepadanya. Kalau saja ia bisa
mengabulkan keinginan putrinya itu pasti Ratih akan diam. Entah berapa kali
pula Sarno harus memberi janji atas permintaan Ratih yang sebentar lagi akan
masuk sekolah dasar.
"Iya, besok kalau Bapak dapat
uang banyak pasti Bapak belikan."
Kalimat itu juga yang selalu menjadi
senjata pamungkas untuk menenangkan hati Ratih. Setelah mendengar jawaban Sarno,
Ratih pasti akan memeluknya dengan erat dan memastikan Sarno tidak akan
mengingkari janjinya itu.
"Bapak janji, ya. Jangan bohong
lagi seperti kemarin," rajuk Ratih dengan wajah polosnya.
Nak, jangan sebut bapakmu ini pembohong. Jika saja kamu tahu
betapa kerasnya hidup dan sulitnya mendapatkan uang di zaman sekarang, kamu
pasti tak akan menyebut Bapak seperti itu. Tentu saja ia tak mungkin melisankan
kata-katanya itu kepada Ratih yang masih kecil meskipun hatinya terkoyak dan
dadanya terasa sesak.
"Dunia oh dunia. Yang kaya
semakin kaya yang miskin semakin tercekik dengan kemelaratan," gumam Sarno mengusap wajahnya dengan
kasar.
Ia membuka kembali matanya.
Dipandangnya lekat-lekat lembaran uang itu. Jumlahnya cukup untuk membeli
keperluan sekolah Ratih. Kemarin ia sudah menanyakannya di toko perlengkapan
sekolah.
Mungkinkah uang itu jawaban atas
doa-doa yang ia panjatkan siang malam? Bahkan ketika kedua kaki kurusnya
mengayuh becak doa-doanya semakin menderas demi sang putri.
Sarno melipat lima lembar uang
ratusan ribu itu dan memasukkannya kembali ke dalam amplop. Pikirannya sekarang
bertambah pusing. Tadi pagi saja Warni, istrinya, memberi tahu kalau uang sewa
kontrakan rumah ditagih lagi oleh pemiliknya. Sudah dua minggu ini Sarno telat
membayar sewa kontrakan. Rumah petak kecil yang ia tempati selama satu tahun
terakhir ini memang hanyalah rumah kontrakan. Impiannya mengadu nasib di kota
untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik hanya tinggal impian saja. Tak
ada bedanya hidup di desa sebagai buruh tani dan di kota sebagai tukang becak.
Semuanya serba sulit.
Wajah Ratih dan Warni silih berganti
hadir dalam bayangan. Betapa dirinya ingin sekali membahagiakan dua wanita yang
sangat disayanginya itu. Namun, nasib baik sepertinya belum berpihak padanya.
***
Matahari telah condong ke barat. Sinarnya
menerpa wajah Sarno yang tampak lelah oleh beban hidup yang harus disandangnya.
Sarno beranjak dari becaknya. Ia mengayuh benda beroda tiga itu menuju pusat
pertokoan. Pikirannya sudah bulat memenuhi permintaan putri kecilnya.
Suasana toko cukup lengang ketika
Sarno memasukinya. Seorang pelayan toko dengan ramah menyambut kedatangan
Sarno. Setelah Sarno menyampaikan keperluannya, pelayan pun dengan sigap
menyiapkan semua barang yang diminta.
"Semua sudah siap, Pak. Bapak
tinggal membayarnya di kasir sekalian mengambilnya," ucap si pelayan
sambil menulis nota pembelian lalu memberikannya ke Sarno.
"Iya, Mbak," jawab Sarno
ketika menerima nota. Namun, laki-laki itu tak segera ke kasir. Ia malah
tertegun sambil memandangi nota di tangannya. Seperti ada yang sedang
dipikirkan.
"Ada apa, Pak? Apa ada yang
kurang?" Pertanyaan pelayan toko membuat Sarno tersentak.
"Oh, tidak, Mbak, tapi
sepertinya saya tidak jadi membeli seragam dan tas ini. Maaf," ucap Sarno
dengan wajah penuh penyesalan seraya tangannya mengulurkan nota pembelian
kepada pelayan toko.
"Tapi, Pak…."
Belum sempat pelayan toko menyelesaikan
kata-katanya, Sarno telah berlari keluar dari toko. Ia tak mempedulikan pelayan
toko yang memanggilnya. Hati kecilnya tidak bisa menerima jika uang itu
digunakan untuk kepentingannya sendiri. Meskipun hidup susah, Sarno ingin
selalu memberikan nafkah yang halal dari hasil keringatnya sendiri. Sementara
amplop berisi uang yang ia temukan di becaknya adalah hak milik orang lain.
Bisa saja uang itu akan digunakan oleh pemiliknya untuk hal yang sangat
penting. Namun, tanpa disadari oleh si pemilik, uang itu jatuh di becak Sarno.
Sarno tak ingin bahagia di atas kesusahan orang lain. Karena ia tak tahu
pemilik amplop itu, setidaknya si pemilik amplop akan tetap memperoleh kebaikan
kalau uangnya dibelanjakan di jalan Tuhan. Begitulah pemikiran Sarno.
Kini
langkah kaki Sarno terasa ringan ketika ia keluar dari kantor sebuah lembaga penyalur
infak. Hatinya pun terasa lebih lapang. Ia telah siap mendengar kembali rajukan
Ratih dan kecerewetan Warni setibanya di rumah nanti. []
Monika Nurdiani, wanita kelahiran 5
Februari di kota Perwira, Purbalingga. Aktivitas sehari-harinya mengajar di SMP
N 1 Kejobong. Menulis saat ini telah menjadi bagian dari hidupnya. Menebarkan
kebaikan lewat goresan pena menjadi salah satu harapan terbesarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar