Jumat, 17 Desember 2021

Amplop

 

pixabay.com


Cerpen Monika Nurdiani

 

Mata Sarno terbelalak melihat sebuah benda berwarna putih terselip di jok becaknya. Tangannya segera mengambil benda itu. Ternyata sebuah amplop kecil.  Jari-jemarinya meraba-raba amplop yang tertutup rapat itu. Sepertinya amplop itu berisi sesuatu yang penting buktinya lemnya saja sangat kuat. Pikiran Sarno menebak-nebak isinya. Uangkah atau sekadar sebuah surat? Sarno bimbang untuk membuka amplop itu atau tidak. Namun, rasa keingintahuannya lebih besar dari apa pun. Ia pun duduk di atas becaknya. Kebetulan saat itu suasana di pinggir saluran irigasi tempat ia biasa mencuci becaknya sedang sepi.

Dengan hati-hati Sarno melepas perekat amplop. Jantungnya berdegub lebih kencang dari biasanya ketika sesuatu berwarna merah jambu tampak di depan matanya. Uang. Ya, sekarang di tangannya ada lima lembar uang ratusan ribu, tapi uang siapa?

Sarno mengingat-ingat kembali orang-orang yang menaiki becaknya hari itu. Sayangnya bayangan wajah mereka sama sekali tidak terekam di memorinya. Ia memang jarang memperhatikan wajah-wajah penumpang becaknya. Sarno hanya ingat kalau hari itu ia menarik becaknya empat kali. Artinya hanya ada empat orang yang menggunakan jasa becaknya dan semuanya dengan tujuan yang sama ke terminal kota. Sangat susah baginya melacak orang di tempat ramai seperti terminal.

Sarno memegang lembaran uang itu dengan tangan gemetar. Ia menghela napas, lalu  menghempaskan tubuh kurusnya ke sandaran jok becaknya sambil memejamkan mata.

"Bapak, Ratih mau sepatu, tas, dan baju baru buat sekolah. Besok jadi beli, ya."

Ah, kalimat itu kembali terngiang di telinga Sarno. Wajah memelas gadis kecilnya berkelebat dalam kepalanya. Entah sudah berapa kali Ratih mengucapkan kalimat itu kepadanya. Kalau saja ia bisa mengabulkan keinginan putrinya itu pasti Ratih akan diam. Entah berapa kali pula Sarno harus memberi janji atas permintaan Ratih yang sebentar lagi akan masuk sekolah dasar.

"Iya, besok kalau Bapak dapat uang banyak pasti Bapak belikan."

Kalimat itu juga yang selalu menjadi senjata pamungkas untuk menenangkan hati Ratih. Setelah mendengar jawaban Sarno, Ratih pasti akan memeluknya dengan erat dan memastikan Sarno tidak akan mengingkari janjinya itu.

"Bapak janji, ya. Jangan bohong lagi seperti kemarin," rajuk Ratih dengan wajah polosnya.

Nak, jangan sebut bapakmu ini pembohong. Jika saja kamu tahu betapa kerasnya hidup dan sulitnya mendapatkan uang di zaman sekarang, kamu pasti tak akan menyebut Bapak seperti itu. Tentu saja ia tak mungkin melisankan kata-katanya itu kepada Ratih yang masih kecil meskipun hatinya terkoyak dan dadanya terasa sesak.

"Dunia oh dunia. Yang kaya semakin kaya yang miskin semakin tercekik dengan kemelaratan," gumam Sarno mengusap wajahnya dengan kasar.

Ia membuka kembali matanya. Dipandangnya lekat-lekat lembaran uang itu. Jumlahnya cukup untuk membeli keperluan sekolah Ratih. Kemarin ia sudah menanyakannya di toko perlengkapan sekolah.

Mungkinkah uang itu jawaban atas doa-doa yang ia panjatkan siang malam? Bahkan ketika kedua kaki kurusnya mengayuh becak doa-doanya semakin menderas demi sang putri.

Sarno melipat lima lembar uang ratusan ribu itu dan memasukkannya kembali ke dalam amplop. Pikirannya sekarang bertambah pusing. Tadi pagi saja Warni, istrinya, memberi tahu kalau uang sewa kontrakan rumah ditagih lagi oleh pemiliknya. Sudah dua minggu ini Sarno telat membayar sewa kontrakan. Rumah petak kecil yang ia tempati selama satu tahun terakhir ini memang hanyalah rumah kontrakan. Impiannya mengadu nasib di kota untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik hanya tinggal impian saja. Tak ada bedanya hidup di desa sebagai buruh tani dan di kota sebagai tukang becak. Semuanya serba sulit.

Wajah Ratih dan Warni silih berganti hadir dalam bayangan. Betapa dirinya ingin sekali membahagiakan dua wanita yang sangat disayanginya itu. Namun, nasib baik sepertinya belum berpihak padanya.

***

Matahari telah condong ke barat. Sinarnya menerpa wajah Sarno yang tampak lelah oleh beban hidup yang harus disandangnya. Sarno beranjak dari becaknya. Ia mengayuh benda beroda tiga itu menuju pusat pertokoan. Pikirannya sudah bulat memenuhi permintaan putri kecilnya.

Suasana toko cukup lengang ketika Sarno memasukinya. Seorang pelayan toko dengan ramah menyambut kedatangan Sarno. Setelah Sarno menyampaikan keperluannya, pelayan pun dengan sigap menyiapkan semua barang yang diminta.

"Semua sudah siap, Pak. Bapak tinggal membayarnya di kasir sekalian mengambilnya," ucap si pelayan sambil menulis nota pembelian lalu memberikannya ke Sarno.

"Iya, Mbak," jawab Sarno ketika menerima nota. Namun, laki-laki itu tak segera ke kasir. Ia malah tertegun sambil memandangi nota di tangannya. Seperti ada yang sedang dipikirkan.

"Ada apa, Pak? Apa ada yang kurang?" Pertanyaan pelayan toko membuat Sarno tersentak.

"Oh, tidak, Mbak, tapi sepertinya saya tidak jadi membeli seragam dan tas ini. Maaf," ucap Sarno dengan wajah penuh penyesalan seraya tangannya mengulurkan nota pembelian kepada pelayan toko.

"Tapi, Pak…."

Belum sempat pelayan toko menyelesaikan kata-katanya, Sarno telah berlari keluar dari toko. Ia tak mempedulikan pelayan toko yang memanggilnya. Hati kecilnya tidak bisa menerima jika uang itu digunakan untuk kepentingannya sendiri. Meskipun hidup susah, Sarno ingin selalu memberikan nafkah yang halal dari hasil keringatnya sendiri. Sementara amplop berisi uang yang ia temukan di becaknya adalah hak milik orang lain. Bisa saja uang itu akan digunakan oleh pemiliknya untuk hal yang sangat penting. Namun, tanpa disadari oleh si pemilik, uang itu jatuh di becak Sarno. Sarno tak ingin bahagia di atas kesusahan orang lain. Karena ia tak tahu pemilik amplop itu, setidaknya si pemilik amplop akan tetap memperoleh kebaikan kalau uangnya dibelanjakan di jalan Tuhan. Begitulah pemikiran Sarno.

Kini langkah kaki Sarno terasa ringan ketika ia keluar dari kantor sebuah lembaga penyalur infak. Hatinya pun terasa lebih lapang. Ia telah siap mendengar kembali rajukan Ratih dan kecerewetan Warni setibanya di rumah nanti. []







Monika Nurdiani, wanita kelahiran 5 Februari di kota Perwira, Purbalingga. Aktivitas sehari-harinya mengajar di SMP N 1 Kejobong. Menulis saat ini telah menjadi bagian dari hidupnya. Menebarkan kebaikan lewat goresan pena menjadi salah satu harapan terbesarnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar