pixabay.com
Wafiroh
Untuk cucuku Wafa,
Jika kamu menerima surat ini maka
Kakek sudah beristirahat dengan tenang. Terima kasih sudah meluangkan waktu
untuk mengirimkan surat kepada kakekmu setiap bulannya. Sayang sekali, Kakek
tidak bisa bertemu denganmu lagi, padahal Kakek ingin sekali melihat kamu yang
sudah tumbuh besar sekarang. Tapi mau bagaimana lagi kamu sangat sibuk dengan
pekerjaanmu itu.
Wafa, kamu adalah satu-satunya
cucu Kakek, jadi aku wariskan seluruh peternakan Kakek kepadamu. Jika kamu
lelah dengan hiruk pikuk perkotaan, berliburlah di peternakan ini, atau jika kamu
ingin, jadilah petani dan hidup di peternakan. Terserah akan kau apakan warisanku.
Dari kakekmu tercinta.
Selesai
membaca surat itu untuk beberapa kalinya, aku mengalihkan pandanganku ke kanan. Pemandangan yang tadinya
penuh dengan gedung-gedung tinggi, sekarang berubah menjadi hamparan sawah, pemandangan
yang sudah lama sekali tidak kulihat. Kereta yang kunaiki berhenti, Aku
melangkah keluar. Stasiun kecil yang kukenal menyambutku. Aku terus melangkah
keluar stasiun.
Aku
melihat pemandangan sore dari desa kecil di pinggir sebuah danau. Sebuah
pemandangan yang membawa kembali kenangan. Aku
terdiam sejenak ketika pertama kali melihat desa ini
setelah sekian lama kutinggalkan. Sudah bertahun-tahun aku tidak kembali ke
sini dan tidak banyak yang berubah sejak terakhir kali aku melihat desa ini. Aku
mulai berjalan menuju ke peternakan milik kakekku.
Di desa
ini aku dibesarkan oleh kakekku, orang tuaku meninggal akibat kecelakaan saat aku masih bayi. Aku dibesarkan
dengan penuh kasih sayang oleh kakekku. Pada saat aku lulus SMA berniat untuk
kuliah di kota karena ingin menjadi perancang web. Aku tiba di peternakan
kakekku. Seseorang terlihat sedang duduk di depan rumah peninggalan kakekku.
“Wafa,
aku sudah menunggumu lama sekali, sudah bertahun-tahun tidak pernah berubah sedikit
pun kau ya,” orang itu berdiri dan mendekat kepadaku. Entah kenapa suaranya
terdengar sangat familiar bagiku.
“Thomas!”
aku berteriak karena bertemu sahabatku yang sudah lama sekali berpisah.
“Apa
kabar kau, bertahun-tahun hidup enak di kota, sampai bertahun-tahun lupa punya
rumah di sini,” tanya Thomas sambil menyalamiku.
“Baik-baik
kok.”
“Ya udah,
aku ada banyak kerjaan di kantor, ntar kalo butuh apa-apa kau tahu kan harus cari
aku di mana?” Thomas langsung pergi setelah bertemu denganku, mungkin dia
diberi amanah kakekku untuk memberikan surat dan memastikan aku sampai di
peternakan.
Thomas
adalah sahabat baikku sejak kecil. Kami masih sering mengobrol lewat telepon
walaupun sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Dulu dia sering kali membuat masalah.
Sekarang dia adalah kepala desa di desa ini. Dulu ayahnya juga seorang kepala
desa.
Setelah
Thomas pergi aku langsung masuk ke dalam rumah. Bangunan kayu itu masih sama
seperti yang ada di ingatanku. Aku masuk ke kamarku, sepertinya kakekku sering
kali membersihkan kamarku karena terlihat sangat bersih. Walaupun aku lelah
tapi aku masih ada pekerjaan dari kantor yang harus diselesaikan. Aku langsung
mengeluarkan laptop dari tasku dan mulai bekerja. Walaupun aku sedang cuti tapi
kantorku tetap memberikanku pekerjaan. Aku sebenarnya sudah lelah sebagai karyawan
di perusahaanku sekarang bekerja karena banyaknya jam kerja dan lingkungan
bekerja yang kurang sehat. Tapi mau bagaimana lagi, aku hanya bisa bertahan.
Selesai bekerja aku langsung tidur di kasur lamaku karena sangat kelelahan.
Esok
paginya aku membuka jendela kamar, terlihat sebuah pemandangan danau yang
sangat indah dari jendela kamarku. Aku memutuskan untuk melihat-lihat isi peternakan.
Aku keluar dari rumah. Peternakan kakekku berada langsung di belakang rumah. Di
peternakan itu ada area perkebunan, kandang sapi, kandang ayam, dan lumbung. Aku
belum tahu apa yang akan aku lakukan dengan rumah dan peternakan ini tapi
mungkin aku akan menjualnya.
Aku menuju ke
lumbung. Ketika aku membuka pintu ada dua anak di atas tumpukan jerami, mereka langsung berlari setelah melihatku,
mereka berlari ke arah tembok. Aku mengikuti mereka, ternyata ada lubang besar
di tembok. Mungkin anak-anak itu adalah anak tetangga yang melihat ada lubang
di lumbung ini lalu masuk dan dijadikan markas mereka. Aku tahu karena aku dan
Thomas juga dulu waktu kecil membuat rumah kecil dari kayu dan menjadikannya
markas rahasia kami berdua.
Aku memperhatikan isi lumbung, tidak ada hasil
panen, yang ada hanyalah alat-alat tani milik kakekku. Setelah melihat-lihat
beberapa saat, aku menutup lubang di tembok agar anak-anak itu tidak kembali ke
sini dan aku pun keluar dari lumbung. Baru saja keluar dan mengunci pintu
lumbung, sebuah karet gelang terbang ke kepalaku. Aku menoleh ke arah karet itu
berasal. Dua anak tadi ada di depanku.
“Angkat tangan
kau penjahat! kau sudah mengetahui markas rahasia kami, menyerahlah atas nama
keadilan sekarang juga!” salah satu anak itu mengacungkan tangannya beserta
karet. Aku baru menyadari kalau dua anak itu adalah perempuan.
“Ah tidak, aku
tertangkap. Tolong ampuni aku!” aku mencoba mengikuti alur permainan mereka
dengan mengangkat tanganku.
“Bagaimana jika
aku serahkan markas rahasiaku kepada kalian. Kalian bersedia?” aku teringat
rumah kecil lama yang aku dan Thomas buat.
“Benarkah?”
wajah kedua anak itu yang dari tadi terlihat serius tiba-tiba menjadi sangat
senang dan menurunkan tangannya yang sedari tadi mengacungiku dengan karet
gelang. Kami bertiga pergi ke bukit tempat markas rahasiaku berada.
“Siapa nama
kalian?” tanyaku kepada kedua anak itu di dalam perjalanan ke bukit.
“Namaku Ani, ini
temanku Eli” salah satu anak menjawab dan satunya mengangguk.
Kalau dilihat
kedua anak ini terlihat sangat berbeda. Si Ani berambut pendek dan terlihat
ceria sehingga terkesan agak tomboi. Sementara Eli terlihat sangat kalem.
Mereka berjalan dengan bergandengan tangan. Melihat mereka jadi teringat aku
dan Thomas sewaktu kecil. Di mana aku seperti Eli yang agak kalem dan Thomas
yang sangat ceria.
Pertama kali
menikmati pagi di desa setelah bertahun tahun terasa menyenangkan. Suara mobil
dan motor yang saling beradu klakson berganti suara burung-burung yang saling
bernyanyi. Pemandangan gedung pencakar langit berganti barisan bukit kecil.
Udara terasa enak sekali, tubuhku merasakan sejuknya suasana alam pagi hari.
Akhirnya kami
sampai di markas rahasiaku. Eli dan Ani terlihat sangat bersemangat. Mereka langsung masuk,
aku pun ikut di belakang mereka. Tempat itu sangat berdebu, bahkan pintu yang
hanya terbuat dari gorden sudah terkoyak.
“Aku akan
memberikan markas ini kepada kalian dan teman-teman kalian dengan satu syarat, kalian
harus membantuku membersihkan tempat ini,” aku berkata kepada Ani dan Eli yang
masih sibuk memeriksa sekeliling.
“Baik, Om,” sahut mereka setelah mendengarku.
Pagi itu aku
habiskan dengan membersihkan tempat itu. Ani dan Eli membawa beberapa teman
mereka untuk membantu membersihkan dan berbagi tempat itu.
Setelah membersihkan
markas baru mereka, aku dipaksa ikut Ani, Eli, dan teman-temannya untuk
berenang di danau karena untuk berenang di danau harus ada pantauan dari orang
tua. Di danau aku teringat kembali ketika aku dan Thomas berenang dengan ayah
Thomas. Dengan hanya melihat anak-anak itu bahagia entah kenapa aku juga merasa
bahagia.
Sore harinya aku
memancing di danau bersama Thomas. Dulu ketika aku masih di sini, kami sering
memancing bersama, bahkan sering kali di pagi hari ketika akan pergi ke sekolah
yang mengakibatkan kami sering dihukum karena telat.
Aku dan
Thomas memancing sambil mengobrol tentang kondisi sekarang kami. Aku
menceritakan perusahaanku yang seperti memperbudak karyawannya. Thomas
menceritakan tentang orang tuanya yang selalu menjodohkannya.
“Oh iya,
aku baru ingat, beberapa hari sebelum kakekmu meninggal, kakekmu memberitahukanku
untuk membuka buku yang diletakkan di meja kerja kakekmu,” ucap Thomas sambil
melemparkan umpan ke danau.
Di rumah
aku langsung ke kamar milik kakek dan
mengecek mejanya. Sebuah buku dengan tulisan sampul “pedoman bertani dan
beternak” ada di atas meja. Aku membuka sampul buku tersebut.
Wafa,
aku menyisihkan waktuku untuk menulis buku ini. Buku ini berisi pedoman yang
aku lakukan selama menjadi petani. Walaupun aku tahu kamu tidak suka untuk
menjadi petani tapi aku ingin membagikan ilmu yang aku dapat dari bekerja
puluhan tahun sebagai petani. Aku tidak berharap kamu untuk menjadi petani
sepertiku tapi aku ingin kamu melakukan hidupmu dengan senang.
Pada
saat itu aku menyadari, menjadi karyawan kantoran dengan gaji memuaskan
bukanlah apa yang aku inginkan tetapi aku ingin menjadi petani, dan rumahku
bukanlah di kota tetapi di desa ini.
Aku
menangis setelah membaca tulisan yang ada di halaman pertama buku tersebut. Aku
sangat menyesal tidak berada di samping kakekku ketika dia menjalani hari-hari
terakhirnya. Aku sangat menyesal telah meninggalkan kakekku selama
bertahun-tahun. Tapi akhirnya aku di sini untuk berkata, “Aku pulang.” []
Wafiroh, ibu dari 3 anak ini lahir di Cilacap, 30 Agustus 1974.
Guru di MTs Negeri 2 ini sangat menghayati perannya sebagai pendidik. Membaca
adalah salah satu hobi yang ditekuninya sejak kecil. Belajar sepanjang hayat di
mana pun berada adalah motto hidup yang selalu dipegang.
Bagus banget Bu cerpen nya☺️ππ
BalasHapusbetul, cerpennya memang bagus... selamat nggih Bu Wafiroh
HapusBagus bawanget bu cerpennyaπππ☺
HapusSelamat nggih Bu Wafiroh
BalasHapusCerita bagus ππ
Terima kasih Pak Agus atas ilmunya, terima kasih yang sudah berkenan membaca, ditunggu saran dan kritikannya.
BalasHapusBagus cerpennya, Buππ
BalasHapusTernyata ada bakat yg terpendam, semoga bisa menularkan kepada anak dan peserta didiknya
BalasHapus