Jumat, 17 Desember 2021

Aku Pulang

 

pixabay.com


Wafiroh

Untuk cucuku Wafa,

Jika kamu menerima surat ini maka Kakek sudah beristirahat dengan tenang. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk mengirimkan surat kepada kakekmu setiap bulannya. Sayang sekali, Kakek tidak bisa bertemu denganmu lagi, padahal Kakek ingin sekali melihat kamu yang sudah tumbuh besar sekarang. Tapi mau bagaimana lagi kamu sangat sibuk dengan pekerjaanmu itu.

Wafa, kamu adalah satu-satunya cucu Kakek, jadi aku wariskan seluruh peternakan Kakek kepadamu. Jika kamu lelah dengan hiruk pikuk perkotaan, berliburlah di peternakan ini, atau jika kamu ingin, jadilah petani dan hidup di peternakan. Terserah akan kau apakan warisanku.

Dari kakekmu tercinta.

            Selesai membaca surat itu untuk beberapa kalinya, aku mengalihkan  pandanganku ke kanan. Pemandangan yang tadinya penuh dengan gedung-gedung tinggi, sekarang berubah menjadi hamparan sawah, pemandangan yang sudah lama sekali tidak kulihat. Kereta yang kunaiki berhenti, Aku melangkah keluar. Stasiun kecil yang kukenal menyambutku. Aku terus melangkah keluar stasiun.

            Aku melihat pemandangan sore dari desa kecil di pinggir sebuah danau. Sebuah pemandangan yang membawa kembali kenangan. Aku terdiam sejenak ketika pertama kali melihat desa ini setelah sekian lama kutinggalkan. Sudah bertahun-tahun aku tidak kembali ke sini dan tidak banyak yang berubah sejak terakhir kali aku melihat desa ini. Aku mulai berjalan menuju ke peternakan milik kakekku.

            Di desa ini aku dibesarkan oleh kakekku, orang tuaku meninggal akibat  kecelakaan saat aku masih bayi. Aku dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh kakekku. Pada saat aku lulus SMA berniat untuk kuliah di kota karena ingin menjadi perancang web. Aku tiba di peternakan kakekku. Seseorang terlihat sedang duduk di depan rumah peninggalan kakekku.

            “Wafa, aku sudah menunggumu lama sekali, sudah bertahun-tahun tidak pernah berubah sedikit pun kau ya,” orang itu berdiri dan mendekat kepadaku. Entah kenapa suaranya terdengar sangat familiar bagiku.

            “Thomas!” aku berteriak karena bertemu sahabatku yang sudah lama sekali berpisah.

            “Apa kabar kau, bertahun-tahun hidup enak di kota, sampai bertahun-tahun lupa punya rumah di sini,” tanya Thomas sambil menyalamiku.

            “Baik-baik kok.

            “Ya udah, aku ada banyak kerjaan di kantor, ntar kalo butuh apa-apa kau tahu kan harus cari aku di mana?” Thomas langsung pergi setelah bertemu denganku, mungkin dia diberi amanah kakekku untuk memberikan surat dan memastikan aku sampai di peternakan.

            Thomas adalah sahabat baikku sejak kecil. Kami masih sering mengobrol lewat telepon walaupun sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Dulu dia sering kali membuat masalah. Sekarang dia adalah kepala desa di desa ini. Dulu ayahnya juga seorang kepala desa.

            Setelah Thomas pergi aku langsung masuk ke dalam rumah. Bangunan kayu itu masih sama seperti yang ada di ingatanku. Aku masuk ke kamarku, sepertinya kakekku sering kali membersihkan kamarku karena terlihat sangat bersih. Walaupun aku lelah tapi aku masih ada pekerjaan dari kantor yang harus diselesaikan. Aku langsung mengeluarkan laptop dari tasku dan mulai bekerja. Walaupun aku sedang cuti tapi kantorku tetap memberikanku pekerjaan. Aku sebenarnya sudah lelah sebagai karyawan di perusahaanku sekarang bekerja karena banyaknya jam kerja dan lingkungan bekerja yang kurang sehat. Tapi mau bagaimana lagi, aku hanya bisa bertahan. Selesai bekerja aku langsung tidur di kasur lamaku karena sangat kelelahan.

            Esok paginya aku membuka jendela kamar, terlihat sebuah pemandangan danau yang sangat indah dari jendela kamarku. Aku memutuskan untuk melihat-lihat isi peternakan. Aku keluar dari rumah. Peternakan kakekku berada langsung di belakang rumah. Di peternakan itu ada area perkebunan, kandang sapi, kandang ayam, dan lumbung. Aku belum tahu apa yang akan aku lakukan dengan rumah dan peternakan ini tapi mungkin aku akan menjualnya.

Aku menuju ke lumbung. Ketika aku membuka pintu ada dua anak di atas tumpukan jerami, mereka langsung berlari setelah melihatku, mereka berlari ke arah tembok. Aku mengikuti mereka, ternyata ada lubang besar di tembok. Mungkin anak-anak itu adalah anak tetangga yang melihat ada lubang di lumbung ini lalu masuk dan dijadikan markas mereka. Aku tahu karena aku dan Thomas juga dulu waktu kecil membuat rumah kecil dari kayu dan menjadikannya markas rahasia kami berdua.

 Aku memperhatikan isi lumbung, tidak ada hasil panen, yang ada hanyalah alat-alat tani milik kakekku. Setelah melihat-lihat beberapa saat, aku menutup lubang di tembok agar anak-anak itu tidak kembali ke sini dan aku pun keluar dari lumbung. Baru saja keluar dan mengunci pintu lumbung, sebuah karet gelang terbang ke kepalaku. Aku menoleh ke arah karet itu berasal. Dua anak tadi ada di depanku.

“Angkat tangan kau penjahat! kau sudah mengetahui markas rahasia kami, menyerahlah atas nama keadilan sekarang juga!” salah satu anak itu mengacungkan tangannya beserta karet. Aku baru menyadari kalau dua anak itu adalah perempuan.

“Ah tidak, aku tertangkap. Tolong ampuni aku!” aku mencoba mengikuti alur permainan mereka dengan mengangkat tanganku.

“Bagaimana jika aku serahkan markas rahasiaku kepada kalian. Kalian bersedia?” aku teringat rumah kecil lama yang aku dan Thomas buat.

“Benarkah?” wajah kedua anak itu yang dari tadi terlihat serius tiba-tiba menjadi sangat senang dan menurunkan tangannya yang sedari tadi mengacungiku dengan karet gelang. Kami bertiga pergi ke bukit tempat markas rahasiaku berada.

“Siapa nama kalian?” tanyaku kepada kedua anak itu di dalam perjalanan ke bukit.

“Namaku Ani, ini temanku Eli” salah satu anak menjawab dan satunya mengangguk.

Kalau dilihat kedua anak ini terlihat sangat berbeda. Si Ani berambut pendek dan terlihat ceria sehingga terkesan agak tomboi. Sementara Eli terlihat sangat kalem. Mereka berjalan dengan bergandengan tangan. Melihat mereka jadi teringat aku dan Thomas sewaktu kecil. Di mana aku seperti Eli yang agak kalem dan Thomas yang sangat ceria.

Pertama kali menikmati pagi di desa setelah bertahun tahun terasa menyenangkan. Suara mobil dan motor yang saling beradu klakson berganti suara burung-burung yang saling bernyanyi. Pemandangan gedung pencakar langit berganti barisan bukit kecil. Udara terasa enak sekali, tubuhku merasakan sejuknya suasana alam pagi hari.

Akhirnya kami sampai di markas rahasiaku. Eli dan Ani terlihat  sangat bersemangat. Mereka langsung masuk, aku pun ikut di belakang mereka. Tempat itu sangat berdebu, bahkan pintu yang hanya terbuat dari gorden sudah terkoyak.

“Aku akan memberikan markas ini kepada kalian dan teman-teman kalian dengan satu syarat, kalian harus membantuku membersihkan tempat ini,” aku berkata kepada Ani dan Eli yang masih sibuk memeriksa sekeliling.

“Baik, Om,” sahut mereka setelah mendengarku.

Pagi itu aku habiskan dengan membersihkan tempat itu. Ani dan Eli membawa beberapa teman mereka untuk membantu membersihkan dan berbagi tempat itu.

Setelah membersihkan markas baru mereka, aku dipaksa ikut Ani, Eli, dan teman-temannya untuk berenang di danau karena untuk berenang di danau harus ada pantauan dari orang tua. Di danau aku teringat kembali ketika aku dan Thomas berenang dengan ayah Thomas. Dengan hanya melihat anak-anak itu bahagia entah kenapa aku juga merasa bahagia.

Sore harinya aku memancing di danau bersama Thomas. Dulu ketika aku masih di sini, kami sering memancing bersama, bahkan sering kali di pagi hari ketika akan pergi ke sekolah yang mengakibatkan kami sering dihukum karena telat.

            Aku dan Thomas memancing sambil mengobrol tentang kondisi sekarang kami. Aku menceritakan perusahaanku yang seperti memperbudak karyawannya. Thomas menceritakan tentang orang tuanya yang selalu menjodohkannya.

            “Oh iya, aku baru ingat, beberapa hari sebelum kakekmu meninggal, kakekmu memberitahukanku untuk membuka buku yang diletakkan di meja kerja kakekmu,” ucap Thomas sambil melemparkan umpan ke danau.

            Di rumah aku langsung  ke kamar milik kakek dan mengecek mejanya. Sebuah buku dengan tulisan sampul “pedoman bertani dan beternak” ada di atas meja. Aku membuka sampul buku tersebut.

            Wafa, aku menyisihkan waktuku untuk menulis buku ini. Buku ini berisi pedoman yang aku lakukan selama menjadi petani. Walaupun aku tahu kamu tidak suka untuk menjadi petani tapi aku ingin membagikan ilmu yang aku dapat dari bekerja puluhan tahun sebagai petani. Aku tidak berharap kamu untuk menjadi petani sepertiku tapi aku ingin kamu melakukan hidupmu dengan senang.

            Pada saat itu aku menyadari, menjadi karyawan kantoran dengan gaji memuaskan bukanlah apa yang aku inginkan tetapi aku ingin menjadi petani, dan rumahku bukanlah di kota tetapi di desa ini.

            Aku menangis setelah membaca tulisan yang ada di halaman pertama buku tersebut. Aku sangat menyesal tidak berada di samping kakekku ketika dia menjalani hari-hari terakhirnya. Aku sangat menyesal telah meninggalkan kakekku selama bertahun-tahun. Tapi akhirnya aku di sini untuk berkata, Aku pulang.” []

 



Wafiroh, ibu dari 3 anak ini lahir di Cilacap, 30 Agustus 1974. Guru di MTs Negeri 2 ini sangat menghayati perannya sebagai pendidik. Membaca adalah salah satu hobi yang ditekuninya sejak kecil. Belajar sepanjang hayat di mana pun berada adalah motto hidup yang selalu dipegang.

7 komentar:

  1. Bagus banget Bu cerpen nya☺️πŸ‘πŸ‘

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul, cerpennya memang bagus... selamat nggih Bu Wafiroh

      Hapus
    2. Bagus bawanget bu cerpennyaπŸ‘πŸ‘πŸ‘☺

      Hapus
  2. Selamat nggih Bu Wafiroh
    Cerita bagus πŸ‘πŸ‘

    BalasHapus
  3. Terima kasih Pak Agus atas ilmunya, terima kasih yang sudah berkenan membaca, ditunggu saran dan kritikannya.

    BalasHapus
  4. Bagus cerpennya, BuπŸ‘πŸ‘

    BalasHapus
  5. Ternyata ada bakat yg terpendam, semoga bisa menularkan kepada anak dan peserta didiknya

    BalasHapus