Sabtu, 27 November 2021

Pelukis dan Parfum

 

pixabay

        

  Agus Yuwantoro

Malam ini terasa hangat aku ditemani sebotol parfum yang harum sekali. Bentuk botolnya bulat memanjang sekitar sepuluh senti meter. Parfum berbentuk cair berwarna kemuning keemasan. Ketika aku tekan tutupnya mengeluarkan bau harum. Asaku melayang berterbangan bebas bersama udara. Sebuah parfum membawa tamasya dalam ilusiku sehingga terkapar dalam mimpi-mimpiku. Aku lihat parfum itu. Kuraba pelan-pelan kaca pembungkus cairan berwarna kemuning keemasan. Terkadang aku cium untuk membunuh rasa kerinduanku. Hampir lima tahun parfum itu selalu menemani dalam pengasinganku di salah satu tempat di pulau Bali.

          Tapi akhir bulan ini aku merasa terhipnoptis aroma parfum itu. Mau mengerjakan apa pun selalu meraba dan mencium bau parfum itu. Seolah-olah ada kekuatan energi positif sehabis mencium parfum itu. Semangat menantang kehidupan semakin keras. Zaman cepat berkembang sesuai dengan kondisi alam dan manusia. Aku sembunyikan parfum itu agar orang lain tidak bisa tahu. Aku simpan di tempat khusus. Hanya aku yang tahu.

           Menjelang senja datang hujan gerimis, langit berwarna biru kehitaman bersama tenggelamnya cahaya matahari terbalut kabut di ujung barat. Aku tutup jendela kamar agar angin basah tidak masuk ke dalam. Kunyalakan lilin kecil di samping vas bunga sebab listrik padam. Duduk di kursi kayu sambil memanjatkan doa-doa terbaik pada Tuhan. Agar selalu diberikan kemudahan kelancaran juga kesehatan. Satu jam kemudian listrik kembali menyala terang. Aku tiup api lilin.

         Aku siapkan pensil 2B, kertas putih, penghapus, melukis sket wajah. Pertama membuat gambar dua titik mata yang bercahaya, kemudian hidung, bibir, bentuk gigi, pipi dan telinga dan rambut panjang terurai. Sengaja aku lukis dengan gaya dan warna natural. Hitam putih tanpa pewarna. Biar orisinal. Besok pagi akan aku taruh di depan galeriku. Ini lukisan perempuan ke-21. Wajahnya sama cuma gayanya berbeda-beda.

         Biasanya cuma butuh waktu setengah hari aku pajang. Menjelang makan siang lukisan perempuan itu sudah dibeli oleh tamu wisatawan baik lokal maupun luar negeri. Aku lalu melukis lagi wajah perempuan itu dengan wajah yang sama. Untuk menghidupkan lukisan ini. Aku mulai memberanikan diri dengan warna biar hidup lukisannya. Warna kulit, gigi dan bibir begitu juga aku perindah warna kedua bola matanya. Kali ini lukisan wanita ini penuh warna. Nyaris sempurna. Dengan harapan cepat terjual dengan harga yang mahal.

        Ternyata impianku meleset bahkan jauh dari harapan hampir satu pekan lukisan perempuan berwarna nyaris tidak didekati salah satu tamu wisatawan. Apa lagi dilihat. Bahkan tidak tersentuh sama sekali. Hampir dua bulan lukisan itu tidak ada yang mau melihat. Padahal sudah aku taruh paling depan sendiri. Agar mudah bisa dilihat oleh setiap orang yang lewat. Aku menjadi penasaran dengan lukisan perempuan ini. Kemudian aku ambil lukisan itu. Aku tebalkan warna dengan cat minyak paling mahal pada setiap lekuk garis wajah biar tambah hidup. Kemudian aku taruh kembali pada tempat yang sama mengahadap arah jalan. Dengan tujuan agar lukisan itu mudah dilihat setiap orang yang lewat.

        Menjelang senja aku pergi ke pinggiran pantai. Aku mulai membuat sketsa lukisan cahaya matahari tenggelam bercampur sinar mercusuar juga buih air gelombang pantai yang tenang. Berwarna kemilau senja. Berhias burung camar sedang berciuman di atas batu karang. Bersama munculnya suara knalpot perahu nelayan mau menepi ke daratan. Ketut Dian Purnama mendekatiku wajahnya basah penuh air keringat. Suara napasnya tidak beraturan keluar dari lubang hidungnya. Perlahan-lahan aku dekati penjaga stan lukisan di galeriku.

       “Ada apa, An?

       Lukisan perempuan itu?”

       “Iya ya kenapa?”

       “Menjadi rebutan pembeli sampai mau berkelahi, cepat kesana, Kak.”

        Sebelum berlari kearah galeriku Ketut Dian Purnama aku suruh menjaga semua alat perlengkapan lukisku. Aku langsung berlari menerobos jalan pintas lewat belakang kios dan toko agar mudah sampai menuju galeri lukisanku. Cukup lima menit aku sudah sampai depan galeriku. Betul yang disampaikan penjaga stan lukisanku, dua calon pembeli berebut lukisan perempuan itu. Saling berebutan bahkan saling tarik menarik.

        “Sudah, sudah Bapak ini lukisanku nanti bisa rusak.”

        Sebentar kemudian saling melepaskan langsung memberikan lukisan kepadaku. Aku pasang kembali pada tempatnya mengarah arah jalan. Dua wisatawan lokal langsung duduk sambil menatap tajam lukisan perempuan itu. Seolah ada dialog antara lukisan itu dengan dua orang itu. Hampir satu setengah jam menikmati lukisan perempuan itu. Atau mungkin sudah kenal dekat dengan tokoh perempuan yang aku lukis. Akhirnya dua tamu wisatawan lokal cukup foto di samping lukisan perempuan itu secara bergantian. Sebelum melangkah pergi dua tamu wisatawan lokal meletakkan amplop putih di samping lukisan perempuan itu. Bahkan yang satunya tanpa malu malu menatap tajam kemudian mencium bibir lukisan perempuan itu.

         Semenjak kejadian itu lukisan perempuan itu terasa hidup. Ada kekuatan sendiri bisa menarik para kaum lelaki yang melewati depan lukisan itu. Awalnya lima orang kemudian sepuluh orang bahkan pada malam minggu yang mau melihat lukisan perempuan itu semakin meledak. Berdatangan dari segala penjuru arah baik tamu wisatawan lokal maupun luar negeri. Isu lukisan perempuan itu semakin viral. Bahkan menembus kota Malang, Surabaya bahkan Jakarta.

          Sehingga setiap malam minggu banyak yang berdatangan hanya ingin melihat lukisanku. Secara tidak langsung aku menghidupkan roh para penjual jalanan dari penjual teh manis, kopi panas dan mie rebus juga penjual bermacam gorengan berjejer rapi di setiap pinggiran jalan. Bahkan tukang parkir harus bekerja ekstra pada setiap malam minggu. Ternyata lukisan perempuan itu bisa menggerakkan semua yang melihat. Bahkan di tengah malam bersama cahaya rembulan bersinar. Sepuluh pemuda duduk melingkar di atas tikar pandan jawa. Sambil minum kopi bali saling bergantian memandang lukisan wanita itu sampai menjelang fajar tiba.

         Tapi yang membuat aku merasa aneh akhir-akhir ini bukan kedatangan tamu wisatawan lokal dan luar negeri merasa penasaran ingin melihat lukisan wanita itu. Tapi di bawah lukisan perempuan itu ada bekas cairan parfum. Baunya sama yang aku simpan. Ketika aku cium bekas cairan parfum melekat dalam kanvas lukisan perempuan itu. Aku merasa heran. Sehabis senja selalu muncul titik cairan parfum itu. Aromanya khas. Justru dengan munculnya bau wangi dalam lukisan perempuan itu, dari hari ke hari jumlah kaum lelaki yang melihat lukisan itu semakin berkurang. Bahkan nyaris sepi tidak ada yang mau melihat.

        Rasa penasaranku memuncak dan meledak sehingga memunculkan pikiranku yang di luar nalar. Aku menyamar menjadi orang gila. Dengan memakai rambut palsu keriting, telanjang dada sambil membawa tas kantong terigu berwarna kumal. Aku duduk di samping tong sampah di bawah pohon jambu air yang sedang berbunga. Hampir sepekan aku belum berhasil menemukan titik terang. Pelaku yang menyemprotkan parfum dalam lukisan perempuan itu.

       Di saat senja mencul bersama sisa cahaya matahari yang bersinar kemerahan di atas riak air gelombang pantai. Bersama hembusan angin basah menyapu rambutku. Aku tetap duduk slonjor di bawah pohon jambu air. Senja perlahan-lahan menghilang. Aku melihat seorang anak kecil perempuan berambut panjang memakai pita berwarna jingga. Berjalan pelan sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Persis di depan lukisan perempuan itu mengambil parfum dalam saku bajunya. Dengan lincah dan cekatan menyemprotkan ke arah lukisan perempuan itu. Hanya butuh waktu tiga detik. Kemudian menoleh ke kanan dan ke kiri berjalan ke arah jalan tembus wisma penginapan jalan Lintang Kemukus.

       Pelan-pelan aku mengikuti arah bayangan anak kecil perempuan berambut panjang. Kemanapun melangkah pergi aku paham. Bukan hanya dari gerakan bayangan kaki dan rambut panjangnya. Tapi bau parfum itu yang bisa aku kejar. Tetap akan aku kejar walaupun sampai cahaya fajar tiba. Tepat di jalan Lintang Kemukus rumah nomor 23. Anak kecil berambut panjang dengan pita rambut berwarna jingga. Masuk rumah nomor 23. Mengetuk pintu kemudian tampak bayangan tubuh perempuan dengan tinggi badan 156 cm dengan tubuh langsing menerima parfum itu. Kemudian pintu tertutup kembali di saat anak kecil perempuan berambut panjang berlari kecil. Dan menghilang di jalan gang sempit.

     Aku amati rumah nomor 23 dari pintu depan, pintu belakang bahkan semua jendela kamar. Persis di ruang tamu aku bisa melihat sosok bayangan wanita itu dari balik gorden putih bergambar corak bunga mawar di bawah cahaya lampu philips 15 wat berwarna putih susu. Tapi yang menurutku aneh dan membangkitkan rasa penasar adalah bau parfum itu. Terbawa semilir angin malam sampai menembus lubang hidungku. Aku merinding dengan bau parfum itu. Sebab parfum itu pemberian dari cintaku dan luka cintaku selama ini.

      “ Apakah Supraptiwi kekasihku, yang telah ingkar janji dengan cintaku sehingga harus nikah paksa dengan babah  Shiong juragan cengkeh dan pemilik toko emas Naga Kencana yang terkenal di kota kelahiranku. sebab orang tuanya terlilit hutang bank harian,bisikku sambil mengambil napas panjang.

       Aku harus tetap menunggu sampai keluar perempuan yang tinggal di rumah nomor 23. Sampai kapan pun tetap akan aku tunggu keluar perempuan itu. Tepat jam sembilan malam lebih lima menit datang penjual mie goreng keliling. Berhenti persis di depan rumah nomor 23. Kemudian perempuan itu keluar membeli mie goreng. Bentuk tubuh dan rambutnya persis seperti Supraptiwi. Tapi ini agak kurus juga berambut pendek sebahu. Berjalan pelan sambil menutupi wajahnya dengan masker kuning bercorak batik. Aku merasa kaget ketika melihat bola mata itu tertutup. Ada gumpalan daging yang menempel di bawah bola mata sebelah kanan. Nyaris tidak ada bola matanya. Hilang. Tanpa tanya dan sapa perempuan itu membayar mie goreng kemudian masuk rumah. Tapi sisa bau parfum itu persis yang aku simpan.

       Aku pulang jam setengah sebelas malam sudah tidak menggebu rasa penasaran siapa yang memberikan parfum dalam lukisan perempuan itu. Besok pagi aku akan cairkan rasa penasaranku pada perempuan yang tinggal di wisma penginapan di jalan Lintang Kemukus rumah nomor 23. Sengaja aku bangun lebih pagi kemudian joging di sekitar gang jalan menuju deretan kios. Setelah joging mandi kemudian sarapan. Tepat jam delapan lebih tiga puluh menit pagi aku sudah siap. Memakai kaos biru bergambar pantai Pengandaran dengan stelan celana jin merek levis 503 kw satu warna biru dongker.

     Aku memilih berjalan sambil melihat para tamu wisatawan saling duduk berkelompok slonjor di atas tikar pandan jawa. Bebas lepas penuh senyum dan tawa. Sambil minum teh panas dengan satu piring pisang goreng raja hijau. Dadaku bergejolak. Hasratku mengembang. Penuh dengan harapan memecahkan rasa penasaranku selama ini. Hari ini akan terjawab. Berjalan masuk gang jalan Lintang Kemukus. Aku sudah paham betul  menuju jalan itu.

     Tepat jam sepuluh siang Aku sudah sampai depan rumah nomor 23. Tapi sepi. Aku coba ketuk pintu depan beberapa kali. Tetap tidak ada yang menjawab. Aku coba cari bel rumah persis di bawah kotak meteran listrik. Setelah aku pencet beberapa kali. Tetap tidak ada tanda-tanda orang di dalam. Sepi. Hanya sepasang kupu-kupu gajah sedang kawin di atas plafon rumah no 23. Tetap sepi tidak ada tanda-tanda orang mau keluar. Badanku terasa lemas. Melangkah pergi meninggalkan rumah itu menuju galeri lukisanku. Setelah sampai depan galeriku aku terkejut lukisan perempuan itu tidak ada.

     Rasa penasaranku semakin menjadi jadi siapa yang membeli lukisan perempuan itu. Di saat aku keluar masuk di segala ruang galeriku untuk mencari lukisan perempuan itu. Tiba-tiba muncul anak perempuan kecil berambut panjang memakai pita jingga. Memberikan amplop berwarna merah bergambar hati yang retak. Tersenyum sambil memberikan kemudian langsung berlari masuk gang jalan sempit. Menghilang di balik kios stan kerajinan tangan tradisional. Aku buka amplop itu. Ternyata berisi cek tranfer ke nomor rekeningku dengan angka sepuluh digit. Selama hidup aku menjadi pelukis jalanan belum pernah menemukan angka sebanyak itu. Jantungku berdebar, keringat dingin keluar semua di saat membaca di balik cek bertulis hitam dengan pensil 2B.

     “Maafkan daku yang telah melukai cintamu, ttd Supraptiwi 

     Aku terdiam sambil menatap lepas pantai luas berwarna biru. Airnya tenang berjalan seiring gelombang dan arah angin. Seolah seperti  adegan percintaan yang hebat antara air, gelombang pantai dan hembusan angin. Sehingga memecahkan rasa kerinduanku yang membeku. Aku ingin seperti air pantai tenang mengalir bersama gelombang dan semilir angin memberikan manfaat orang banyak. Aku tidak mau hanyut tenggelam tewas sia-sia tertelan ombak demi mempertahankan rasa egoisku. Lewat melukis aku curahkan segala rasa cinta.(*)

 



   AGUS YUWANTORO, Lahir di Prambanan 5 Agustus 1965, Pendidikan  Terakhir S2 di Unsiq Prop Jateng. Prodi Magister Pendidikan Agama Islam 2009, anggakatan ke 2. Tahun 2010 mendapatkan penghargaan Bapak Gubernur Jawa Tengah, juara pertama menulis sajak dan puisi dalam rangka peringatan 100 Tahun Meninggalnya Presiden RI Pertama Bung Karno juga mendapatkan Piagam kehormatan dari Panitia Pusat Jakarta an. Prof.DR.H. Soedijarto, MA, Aktif nulis fiksi sudah 25 Buku Antologi baik puisi dan cerpen sudah terbit. 3 buku solonya,Antalogi Puisi dengan judul “Tembang Sepi Orang Orang Pinggiran”. Antalogi Cerpen “ Kembang Kertas  Nulis Novel berjudul Gadis Bermata Biru setebal: 250 halaman. Alamat Penulis  Gedangan RT.08 / RW.05. Ds. Pecekelan.Kec.Sapuran.Wonosobo,Jateng.WA : 081325427232.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar