Agus Yuwantoro
Malam ini terasa hangat aku ditemani
sebotol parfum yang harum sekali. Bentuk botolnya bulat memanjang sekitar
sepuluh senti meter. Parfum berbentuk cair berwarna kemuning keemasan. Ketika
aku tekan tutupnya mengeluarkan bau harum. Asaku melayang berterbangan bebas
bersama udara. Sebuah parfum membawa tamasya dalam ilusiku sehingga terkapar
dalam mimpi-mimpiku. Aku lihat parfum itu. Kuraba pelan-pelan kaca pembungkus cairan
berwarna kemuning keemasan. Terkadang aku cium untuk membunuh rasa kerinduanku.
Hampir lima tahun parfum itu selalu menemani dalam pengasinganku di salah satu tempat di pulau
Bali.
Tapi akhir bulan ini aku merasa
terhipnoptis aroma parfum itu. Mau mengerjakan apa pun selalu meraba dan
mencium bau parfum itu. Seolah-olah ada kekuatan energi positif sehabis mencium
parfum itu. Semangat menantang kehidupan semakin keras. Zaman cepat berkembang
sesuai dengan kondisi alam dan manusia. Aku sembunyikan parfum itu agar orang
lain tidak bisa tahu. Aku simpan di tempat khusus. Hanya aku yang tahu.
Menjelang senja datang hujan
gerimis, langit berwarna biru kehitaman bersama tenggelamnya cahaya matahari
terbalut kabut di ujung barat. Aku tutup jendela kamar agar angin basah tidak
masuk ke dalam. Kunyalakan lilin kecil di samping vas bunga sebab listrik
padam. Duduk di kursi kayu sambil memanjatkan doa-doa terbaik pada Tuhan. Agar
selalu diberikan kemudahan kelancaran juga kesehatan. Satu jam kemudian listrik
kembali menyala terang. Aku tiup api lilin.
Aku siapkan pensil 2B, kertas putih,
penghapus, melukis sket wajah. Pertama membuat gambar dua titik mata yang
bercahaya, kemudian hidung, bibir, bentuk gigi, pipi dan telinga dan rambut
panjang terurai. Sengaja aku lukis dengan gaya dan warna natural. Hitam putih
tanpa pewarna. Biar orisinal. Besok pagi akan aku taruh di depan galeriku. Ini lukisan
perempuan ke-21. Wajahnya sama cuma gayanya berbeda-beda.
Biasanya cuma butuh waktu setengah
hari aku pajang. Menjelang makan siang lukisan perempuan itu sudah dibeli oleh
tamu wisatawan baik lokal maupun luar negeri. Aku lalu melukis lagi
wajah perempuan itu dengan wajah yang sama. Untuk menghidupkan lukisan ini. Aku
mulai memberanikan diri dengan warna biar hidup lukisannya. Warna kulit, gigi
dan bibir begitu juga aku perindah warna kedua bola matanya. Kali ini lukisan
wanita ini penuh warna. Nyaris sempurna. Dengan harapan cepat terjual dengan
harga yang mahal.
Ternyata impianku meleset bahkan jauh
dari harapan hampir satu pekan lukisan perempuan berwarna nyaris tidak didekati
salah satu tamu wisatawan. Apa lagi dilihat. Bahkan tidak tersentuh sama
sekali. Hampir dua bulan lukisan itu tidak ada yang mau melihat. Padahal sudah
aku taruh paling depan sendiri. Agar mudah bisa dilihat oleh setiap orang yang
lewat. Aku menjadi penasaran dengan lukisan perempuan ini. Kemudian aku ambil
lukisan itu. Aku tebalkan warna dengan cat minyak paling mahal pada setiap lekuk
garis wajah biar tambah hidup. Kemudian aku taruh kembali pada tempat yang sama
mengahadap arah jalan. Dengan tujuan agar lukisan itu mudah dilihat setiap
orang yang lewat.
Menjelang senja aku pergi ke pinggiran
pantai. Aku mulai membuat sketsa lukisan cahaya matahari tenggelam bercampur
sinar mercusuar juga buih air gelombang pantai yang tenang. Berwarna kemilau
senja. Berhias burung camar sedang berciuman di atas batu karang. Bersama
munculnya suara knalpot perahu nelayan mau menepi ke daratan. Ketut Dian
Purnama mendekatiku wajahnya basah penuh air keringat. Suara napasnya tidak beraturan
keluar dari lubang hidungnya. Perlahan-lahan aku dekati penjaga stan lukisan di
galeriku.
“Ada apa, An?
“Lukisan perempuan itu?”
“Iya ya kenapa?”
“Menjadi rebutan pembeli sampai mau berkelahi,
cepat kesana, Kak.”
Sebelum berlari kearah galeriku Ketut Dian Purnama aku
suruh menjaga semua alat perlengkapan lukisku. Aku langsung berlari menerobos
jalan pintas lewat belakang kios dan toko agar mudah sampai menuju galeri
lukisanku. Cukup lima menit aku sudah sampai depan galeriku. Betul yang disampaikan
penjaga stan lukisanku, dua calon pembeli berebut lukisan perempuan
itu. Saling berebutan bahkan saling tarik menarik.
“Sudah, sudah Bapak ini lukisanku
nanti bisa rusak.”
Sebentar kemudian saling melepaskan
langsung memberikan lukisan kepadaku. Aku pasang kembali pada tempatnya
mengarah arah jalan. Dua wisatawan lokal langsung duduk sambil menatap tajam
lukisan perempuan itu. Seolah ada dialog antara lukisan itu dengan dua orang
itu. Hampir satu setengah jam menikmati lukisan perempuan itu. Atau mungkin
sudah kenal dekat dengan tokoh perempuan yang aku lukis. Akhirnya dua tamu
wisatawan lokal cukup foto di samping lukisan perempuan itu secara bergantian.
Sebelum melangkah pergi dua tamu wisatawan lokal meletakkan amplop putih di
samping lukisan perempuan itu. Bahkan yang satunya tanpa malu malu menatap
tajam kemudian mencium bibir lukisan perempuan itu.
Semenjak kejadian itu lukisan perempuan itu terasa hidup. Ada kekuatan
sendiri bisa menarik para kaum lelaki yang melewati depan lukisan itu.
Awalnya lima orang kemudian sepuluh orang bahkan pada malam minggu yang mau
melihat lukisan perempuan itu semakin meledak. Berdatangan dari segala penjuru
arah baik tamu wisatawan lokal maupun luar negeri. Isu lukisan perempuan itu
semakin viral. Bahkan menembus kota Malang, Surabaya bahkan Jakarta.
Sehingga setiap malam minggu banyak yang berdatangan hanya ingin melihat
lukisanku. Secara tidak langsung aku menghidupkan roh para penjual
jalanan dari penjual teh manis, kopi panas dan mie rebus juga
penjual bermacam
gorengan berjejer rapi di setiap pinggiran jalan. Bahkan tukang parkir harus
bekerja ekstra pada setiap malam minggu. Ternyata lukisan perempuan itu bisa
menggerakkan semua yang melihat. Bahkan di tengah malam
bersama cahaya rembulan bersinar. Sepuluh pemuda duduk melingkar di atas tikar
pandan jawa. Sambil minum kopi bali saling bergantian memandang lukisan wanita
itu sampai menjelang fajar tiba.
Tapi yang membuat aku merasa aneh
akhir-akhir ini bukan kedatangan tamu wisatawan lokal dan luar negeri merasa
penasaran ingin melihat lukisan wanita itu. Tapi di bawah lukisan perempuan itu
ada bekas cairan parfum. Baunya sama yang aku simpan. Ketika aku cium bekas cairan parfum
melekat dalam kanvas lukisan perempuan itu. Aku merasa heran. Sehabis senja selalu muncul
titik cairan parfum itu. Aromanya khas. Justru dengan munculnya bau wangi dalam
lukisan perempuan itu,
dari hari ke hari jumlah kaum lelaki yang melihat lukisan
itu semakin berkurang. Bahkan nyaris sepi tidak ada yang mau melihat.
Rasa penasaranku memuncak dan meledak
sehingga memunculkan pikiranku yang di luar nalar. Aku menyamar menjadi orang gila. Dengan
memakai rambut palsu keriting, telanjang dada sambil membawa tas kantong terigu
berwarna kumal. Aku duduk di samping tong sampah di bawah pohon jambu air yang
sedang berbunga. Hampir sepekan aku belum berhasil menemukan titik terang.
Pelaku yang menyemprotkan parfum dalam lukisan perempuan itu.
Di saat senja mencul bersama sisa cahaya
matahari yang bersinar kemerahan di atas riak air gelombang pantai. Bersama
hembusan angin basah menyapu rambutku. Aku tetap duduk slonjor di bawah pohon
jambu air. Senja perlahan-lahan menghilang. Aku melihat seorang anak kecil
perempuan berambut panjang memakai pita berwarna jingga. Berjalan pelan sambil
menoleh ke kanan dan ke kiri. Persis di depan lukisan perempuan itu mengambil parfum dalam saku
bajunya. Dengan lincah dan cekatan menyemprotkan ke arah lukisan perempuan itu.
Hanya butuh waktu tiga detik. Kemudian menoleh ke kanan dan ke kiri berjalan ke
arah jalan tembus wisma penginapan jalan Lintang Kemukus.
Pelan-pelan aku mengikuti arah bayangan
anak kecil perempuan berambut panjang. Kemanapun melangkah pergi aku paham. Bukan
hanya dari gerakan bayangan kaki dan rambut panjangnya. Tapi bau parfum itu
yang bisa aku kejar. Tetap akan aku kejar walaupun sampai cahaya fajar tiba.
Tepat di jalan Lintang Kemukus rumah nomor 23. Anak kecil berambut
panjang dengan pita rambut berwarna jingga. Masuk rumah nomor 23.
Mengetuk pintu kemudian tampak bayangan tubuh perempuan dengan tinggi badan 156
cm dengan tubuh langsing menerima parfum itu. Kemudian pintu tertutup kembali
di saat anak kecil perempuan berambut panjang berlari kecil. Dan menghilang di
jalan gang sempit.
Aku amati rumah nomor 23 dari pintu depan,
pintu belakang bahkan semua jendela kamar. Persis di ruang tamu aku bisa
melihat sosok bayangan wanita itu dari balik gorden putih bergambar
corak bunga mawar di bawah cahaya lampu philips 15 wat berwarna putih
susu. Tapi yang menurutku aneh dan membangkitkan
rasa penasar adalah bau parfum itu. Terbawa semilir angin
malam sampai menembus lubang hidungku. Aku merinding dengan bau parfum itu. Sebab parfum itu
pemberian dari cintaku dan luka cintaku selama ini.
“ Apakah Supraptiwi kekasihku, yang telah
ingkar janji dengan cintaku sehingga harus nikah paksa dengan babah Shiong juragan cengkeh dan pemilik toko
emas Naga Kencana yang terkenal di kota kelahiranku. sebab orang tuanya
terlilit hutang bank harian,“ bisikku sambil mengambil napas panjang.
Aku harus tetap menunggu sampai keluar
perempuan yang tinggal di rumah nomor 23. Sampai kapan pun tetap akan aku tunggu
keluar perempuan itu. Tepat jam sembilan malam lebih lima menit datang penjual
mie goreng keliling. Berhenti persis di depan rumah nomor 23. Kemudian perempuan
itu keluar membeli mie goreng. Bentuk tubuh dan rambutnya persis seperti
Supraptiwi. Tapi ini agak kurus juga berambut pendek sebahu. Berjalan pelan
sambil menutupi wajahnya dengan masker kuning bercorak batik. Aku merasa kaget
ketika melihat bola mata itu tertutup. Ada gumpalan daging yang menempel di
bawah bola mata sebelah kanan. Nyaris tidak ada bola matanya. Hilang. Tanpa
tanya dan sapa perempuan itu membayar mie goreng kemudian masuk rumah. Tapi
sisa bau parfum itu persis yang aku simpan.
Aku pulang jam setengah sebelas malam
sudah tidak menggebu rasa penasaran siapa yang memberikan parfum dalam
lukisan perempuan itu. Besok pagi aku akan cairkan rasa penasaranku pada
perempuan yang tinggal di wisma penginapan di jalan Lintang Kemukus rumah nomor 23. Sengaja
aku bangun lebih pagi kemudian joging di sekitar gang jalan menuju deretan
kios. Setelah joging mandi kemudian sarapan. Tepat jam delapan lebih tiga puluh
menit pagi aku sudah siap. Memakai kaos biru bergambar pantai Pengandaran
dengan stelan celana jin merek levis 503 kw satu warna biru dongker.
Aku memilih berjalan sambil melihat para
tamu wisatawan saling duduk berkelompok slonjor di atas tikar pandan jawa.
Bebas lepas penuh senyum dan tawa. Sambil minum teh panas dengan satu piring
pisang goreng raja hijau. Dadaku bergejolak. Hasratku mengembang. Penuh dengan
harapan memecahkan rasa penasaranku selama ini. Hari ini akan terjawab.
Berjalan masuk gang jalan Lintang Kemukus. Aku sudah paham betul menuju jalan itu.
Tepat jam sepuluh siang Aku sudah sampai
depan rumah nomor 23. Tapi sepi. Aku coba ketuk pintu depan beberapa kali. Tetap tidak
ada yang menjawab. Aku coba cari bel rumah persis di bawah kotak meteran
listrik. Setelah aku pencet beberapa kali. Tetap tidak ada tanda-tanda orang di
dalam. Sepi. Hanya sepasang kupu-kupu gajah sedang kawin di atas plafon rumah no
23. Tetap sepi tidak ada tanda-tanda orang mau keluar. Badanku terasa lemas.
Melangkah pergi meninggalkan rumah itu menuju galeri lukisanku. Setelah sampai
depan galeriku aku terkejut lukisan perempuan itu tidak ada.
Rasa penasaranku semakin menjadi jadi
siapa yang membeli lukisan perempuan itu. Di saat aku keluar masuk di segala
ruang galeriku untuk mencari lukisan perempuan itu. Tiba-tiba muncul anak
perempuan kecil berambut panjang memakai pita jingga. Memberikan amplop
berwarna merah bergambar hati yang retak. Tersenyum sambil memberikan kemudian
langsung berlari masuk gang jalan sempit. Menghilang di balik kios stan kerajinan
tangan tradisional. Aku buka amplop itu. Ternyata berisi cek tranfer ke nomor rekeningku
dengan angka sepuluh digit. Selama hidup aku menjadi pelukis jalanan belum pernah menemukan
angka sebanyak itu. Jantungku berdebar, keringat dingin keluar semua di saat membaca
di balik cek bertulis hitam dengan pensil 2B.
“Maafkan daku yang telah melukai cintamu,
ttd Supraptiwi”
Aku terdiam sambil menatap lepas pantai
luas berwarna biru. Airnya tenang berjalan seiring gelombang dan arah angin.
Seolah seperti adegan percintaan yang
hebat antara air, gelombang pantai dan hembusan angin. Sehingga memecahkan rasa
kerinduanku yang membeku. Aku ingin seperti air pantai tenang mengalir bersama
gelombang dan semilir angin memberikan manfaat orang banyak. Aku tidak mau
hanyut tenggelam tewas sia-sia tertelan ombak demi mempertahankan rasa egoisku.
Lewat melukis aku curahkan segala rasa cinta.(*)
AGUS YUWANTORO, Lahir di Prambanan 5
Agustus 1965, Pendidikan Terakhir S2 di
Unsiq Prop Jateng. Prodi Magister Pendidikan Agama Islam 2009, anggakatan ke 2.
Tahun 2010 mendapatkan penghargaan Bapak Gubernur Jawa Tengah, juara pertama
menulis sajak dan puisi dalam rangka peringatan 100 Tahun Meninggalnya Presiden
RI Pertama Bung Karno juga mendapatkan Piagam kehormatan dari Panitia Pusat
Jakarta an. Prof.DR.H. Soedijarto, MA, Aktif nulis fiksi sudah 25 Buku Antologi
baik puisi dan cerpen sudah terbit. 3 buku solonya,Antalogi Puisi dengan judul
“Tembang Sepi Orang Orang Pinggiran”. Antalogi Cerpen “ Kembang Kertas Nulis Novel berjudul Gadis Bermata Biru
setebal: 250 halaman. Alamat Penulis
Gedangan RT.08 / RW.05. Ds. Pecekelan.Kec.Sapuran.Wonosobo,Jateng.WA :
081325427232.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar