Fitria Linda Kurniawati
'Teng
... teng!'
Menyembunyikan batin yang tersiksa.
Belum ada suara azan Subuh. Suara peperangan dari Budhe Lastri sengaja membuat
kamu terbangun.
“Tangi,
wooi!” suara serak seakan serakah ingin menguasai hari di pagi buta ini.
“Kerja! Kerja! Wis mangan gratis, turu gratis, nginep gratis, kurang apa meneh?!”
“Uwis
to, Bune. Ojo banter-banter.
Kasihan Bagas. Bapak bawa Bagas ke sini untuk nemeni kita. Kita belum punya
anak,” suara Pakdhe Tasimin mengiba. Sudah dua puluh tahun pernikahan, belum
juga dikaruniai anak.
“Pakne, mikiro! Kita itu hidup di kota, apa-apa serba beli. Sembako, bayar
kontrakan, listrik, air, cicilan panci, tunggakan sepeda motormu. Uang dari
mana coba, kalau dia tidak bantu cari uang. Aku pingin ikut program kehamilan,
Pakne!”
“Eleh, tiap hari kan program hamil to, Bune."
“Pakne kie!” Kamu mendengar rengek yang setiap hari bergunjing tentangmu.
“Lhooo, Bagas wis tangi. Bugedhe belum
masak. Kencot wetengmu, Gas?” tanya
pria bertubuh tambun. Uban terlihat jelas di mayangnya.
“Belum mateng! Beras habis! Minyak
habis! Mau belanja, gak ada duit!” celoteh Budhe Lastri kasar.
“Sampun
Pakgedhe, Inyong pakpung dulu. Mau ke
agen ambil koran, biar tidak telat sekolah,” jawabmu. Kamu mengumbar senyum
untuknya, pria yang kamu anggap sebagai ayah kandung.
“Tasmu yang kemarin di buang ke got, wis ketemu, Gas?” Pakdhe Tasimin
menyeruput kopi tanpa gula. Uap menyembul meruahkan aroma khas kopi. Seperti
biasanya, gula selalu cepat habis. Segelas air putih sebagai pengganjal perutmu
tiap pagi.
“Dereng,
Pakgedhe. Damel tas kresek saja,”
jawabmu. Menelan getir.
Kemarin kamu bersusah payah mengikuti
derasnya sungai saat musim hujan. Mencari tas kumalmu yang mengambang di got
perkampungan. Karena tekadmu bersekolah meski dalam keadaan sakit, membuat
Budhe Lastri marah dan membuang tasmu. "Sana cari sendiri tasmu! Awas saja
kalau besok-besok pura-pura sakit, gak mau kerja!”
"Bagas pamit kerja dan sekolah, nggih Pakgedhe, Bugedhe." Kamu
mencium takzim tangan sepasang suami istri itu.
"Cari uang yang banyak! Awas!
Gak bawa uang banyak, gak bakal ada makan malam!" ancam wanita bertubuh
kurus sambil berkacak pinggang. Dihempas kasar tanganmu.
Bertubi-tubi kamu menelan duka,
tetapi bias senyum tipis masih tergurat di bibirmu. Kamu melangkahkan kaki dengan
sepatu butut yang alasnya menganga. Dengan langkah penuh keyakinan, kamu
mencoba merengkuh secercah harapan. Secuil kesegaran pagi membawa tungkai
lemahmu turut berderap menyeru panggilan Sang Pencipta.
'ALLAHU AKBAR!'
“Sudah, azan Subuh. Lumayanlah inyong kalau bisa bantu-bantu Mas Ahmed,
bersih-bersih mushola,” gumammu lirih. Kamu menyambar gagang sapu yang berada
di sudut halaman mushola.
“Ayo Gas, ikut sholat,” kata Mas
Ahmed.
“Inyong
ora bisa sholat, Mas. Alip bak tak bae,
inyong ora bisa.” Kamu menyampingkan sapu.
“Makane, ngaji, Gas. Sore ada ngaji
di sini.”
“Inyong
mesti kerja, Mas. Gak punya waktu ikut ngaji.”
“Ya kalau begitu, ikut jamaah Subuh,
yuk. Rubuh gedhang ae. Melu-melu gak popo,
Gas.” Entah, magnet apa yang menarikmu ikut jamaah Subuh. Hanya Fatihah yang
kamu hafal.
“Ini Gas, lumayan buat sarapan. Dan
ini buat kamu, sedikit untuk beli permen.” Mas Ahmed menyodorkan sekantong
kecil kue dan tiga lembar uang dua ribuan padamu, selepas kamu membantu
membersihkan mushola. Kamu selipkan selembar uang dari pemberian Mas Ahmed pada
kotak amal.
Poros bumi seakan mempermainkanmu
mengejar rindu si yatim piatu yang bertarung pada sang waktu. “Ini koranmu,
Gas.” Pria berkopiah putih mengulurkan beberapa lipat koran padamu.
“Kok, cuma dua puluh, Pak? Biasanya
lebih." Kamu menghitung jumlah lipatan koran.
“Bukan begitu, Gas. Agen Bapak lagi
surut nih.”
Menghela napas berat. Kamu berusaha
menerima keadaan. “Nanti kalau inyong
sudah sukses, inyong bantu Pak
Darmaji buka usaha percetakan koran. Biar Bapak bisa jadi juragan koran.”
“Aamiin. Semoga juga kamu kelak jadi
orang sukses, Gas. Ya sudah sana. Nanti
keburu siang, kamu telat sekolahnya.” Kamu mencium takzim tangan agen koran.
Sigap tanganmu mengapit tumpukan koran.
Wajah langit masih remang-remang.
Menanti kemunculan mentari. Jalanan ibu kota masih tampak lengang. Hanya
beberapa kendaraan saja yang lewat. Sudah hampir setengah jam teriakanmu
terbawa angin dan menghilang di jalanan. Langkah kaki kamu percepat agar segera
sampai pada perumahan.
"Koran! Koran!" Nihil,
hampir semua pintu rumah tertutup.
"Heh! Kalau jualan jangan
teriak! Kuping gue kagak budeg!"
pria berbadan gempal keluar dan mendongak di balik pagar alumunium.
"Kalau inyong ora teriak, mana bisa orang pada tau, Om?" sahutmu
sembari jalan mendekati pria itu. "Maaf, Om. Beli korannya ya, biar
cerdas."
"Apa lu bilang?!" Tangan kekar pria itu mencengkeram kaosmu hingga
membentur pagar.
"Sudah, Bang. Dia masih kecil,
Kasihan." Wanita menggendong bayi, keluar mendekati pria itu.
"Biar, Ma. Ini anak bacotnya
makin kurang ajar. Ganggu suaranya, bikin anak kita bangun. Udah semaleman anak
kita gak tidur. Gak bisa didiemin. Perlu kasih pelajaran." Tangan pria itu
hendak menamparmu.
"Sudah, Bang! Nanti dilihat
orang, Abang dilaporin polisi. Penganiayaan anak," jelas istrinya. Tangan
wanita itu menimang tubuh bayinya yang belum berhenti menangis.
"Maaf, Om, Tante. Jika teriakan inyong membuat anak Om dan Tante bangun.
Semoga anak Om dan Tante tidak bernasib sama seperti inyong. Kehilangan kedua orang tua." Kamu menyeka air mata
yang hampir menetes.
"Tunggu, Dik! Aku mau beli
korannya," ucap pria itu.
"Maaf, Om. Inyong jual koran,
bukan untuk meminta belas kasih." Kamu kembalikan selembar uang lima puluh
ribuan.
"Kakak mohon, Dik. Anggap saja
Kakak sudah menjadi pelanggan tetap. Tiap pagi tolong taruh koran ini di sini,
ya." Pria itu menunjuk ke sisi pagar.
"Terima kasih, Om, Tante."
***
Sepulang sekolah, kamu berkeliling
dengan begitu semangat. Satu koran lagi yang habis terjual. Menghitung tumpukan
uang hasil keringatmu.
"Wah, banyak duit nih. Sini
bagi!" Tubuhmu didorong hingga tersudut di tembok. Candikala meremangkan
pandangan. Gema azan Magrib menyamarkan teriakan. Terlebih jalan kecil yang
sepi di penghujung senja, tidak terdengar sapa tapak kaki. Senyap.
"Gak ada, Bang." Terpaksa
kamu berbohong. Rasa lapar yang mengiris dinding lambungmu. Buai angan nasi
hangat dan sepotong tempe buatan Budhe Lastri seakan menggedor nuranimu.
Tangan pemuda gondrong bertubuh kurus
merogoh celana merahmu. Sudah kesekian kalinya pemuda pengangguran itu merampas
uangmu. Memaksamu meluapkan emosi dari berlapis kesabaranmu. "Gak ada,
Bang." Tanganmu mencegah.
"Diam!" Cengkeraman di
kerah baju kumalmu. Pukulan keras menghantam perutmu. Tubuhmu tersungkur.
Kembali tangan kasar si pria cungkring bergerilya mencari pundi uangmu.
Menghempas kasar buntalan kresek yang berisi bukumu.
"Nah ini!" pekik pemuda
laknat itu menyulut api kemarahanmu. Lembaran uang hasil keringatmu seharian
telah berada di genggamannya.
"Jangan, Bang!" Namun,
tubuhmu dihempaskan. Perlahan kamu merangkak. Jarimu menyentuh pena. Kemarahan
terhimpun hingga mata runcing pena layaknya kuku iblis. Berjalan terhuyung
mendekati pemuda kurus yang pongah menghitung uangmu. Kesabaranmu hangus. Kamu
menghunus dan mencabik-cabik kasar epidermis perut tipis pemuda gondrong itu.
Tubuh kurus pun tumbang.
Tiga langkah mundur kakimu. Kembali
menghimpun ketakutan. Darah melumuri genggaman tanganmu. Kamu lempar pena
bersimbah darah dan berlari ketakutan.
Rasa takut dan cemas membawa tungkai-tungkai
lemahmu untuk pulang. Menyibak pintu kayu yang menyembunyikan rahasia suram
beberapa menit yang lalu. Cemooh dan hinaan Budhe Lastri hanya sekelumit kesik
angin.
Tidak ada makanan buatmu, meski
perutmu melolong meminta hak. Kamu merasa kenyang karena darah yang tercuci di
aliran sungai seakan menyisakan bau anyir penyesalan.
"Tidak, inyong gak mau dipenjara, ya, Allah. Ampuni inyong, ya,
Allah."
Rintih sesal menguarkan resah. Sujud
di atas sajadah kain jarit peninggalan almarhumah ibumu dan sarung kumal wasiat
terakhir ayahmu. Hingga kelopak netra begitu lekat, memaksamu untuk menutupnya.
***
"Le, Le Bagas. Bangun. Wis
arep subuh. Ayo ceket tangi."
Suara Pakdhe Tasimin. Remang cahaya lampu lima watt, membuatmu memicingkan
mata.
Sedetik, mimpi buruk pun pupus.
Terbungkus senyum teduh Pakdhe Tasimin. "Pakgedhe tau, Bagas belum makan
semalaman kan? Ini sarapan dulu. Sego
pecel Mbok Tulus, kesukaanmu."
"Bocah males kok dimanja!" celetuk Budhe Lastri kembali melecut
hatimu.
"Wis to, Bune. Bagas iki yatim piatu, sudah wajibnya aku, pakdhene ngrumat. Insyaallah berkah."
Sholawat Tahrim bersahutan. Menyeru
hati dalam ringkih kekhilafan. Pandangan buram, bening air mata menjejal kornea
matamu.
"Ada mayat! Ada mayat!"
Riuh warga berhambur bersama gema imsak. Membuat darahmu bergejolak. Degup
jantung bersilaju mengejar dosa yang hinggap merayapi pengakuan semalam.
"Ya Allah Gusti, Franky mati,
Pakne. Mayite ditutupi koran,"
ujar Budhe Lastri
Belum selesai kamu telan sesuap nasi
pecel, terdengar pintu terketuk. Teriring suara gaduh warga mengiringi suara
ketukan. Budhe Lastri dengan cepat membuka pintu.
"Selamat pagi, Bu. Apa benar ini
kediaman Bapak Tasimin?" Suara tegas terdengar jelas. "Kami dari
Kepolisian hendak melakukan penangkapan kepada Bapak Tasimin."
"Ya Allah Gusti! Pakne. Salahmu
opo?!"
"Maaf, untuk penjelasannya bisa
diperjelas di kantor polisi." Pasrah, kedua pergelangan tangan Pakdhe
Tasimin diborgol.
Pagi ini, kamu kembali menjadi yatim
piatu. Bernaung di bawah teduh atap pemerintah, Dinas Sosial. Membawamu bersama
sulaman rasa bersalah. Koran basi yang menutupi mayat pria cungkring, membawa
takdirmu.
Bagas,
ponakanku. Maafkan Pakgedhemu. Hanya ini satu-satunya cara Pakgedhemu
menyelamatkan masa depanmu. Raih cita-citamu ya, Le. Doa Pakgedhe selalu
menyertaimu.
Sepucuk surat Pakdhe Tasimin seakan
melipat rapat rahasia. Rahasia yang memberi titian takdir bagimu. Kamu pembunuh
yang mendapat kesempatan kedua.
***
Fitria Linda Kurniawati, Lahir di Surabaya 29
September 1985. Seorang guru di UPT SD Negeri Bajang 02 Kecamatan Talun
kabupaten Blitar ini sudah mencintai menulis. Baik menulis fiksi dan non fiksi.
Mengembangkan selalu kemampuannya bersama sahabat guru se-nusantara dalam grup
SGSI.
Bercita-cita menjadi penulis yang menginpirasi adalah
tujuan hidupnya. Memberikan manfaat bagi sekitarnya. Salam literasi sepanjang
masa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar