Selasa, 23 November 2021

KORAN BASI

 

pixabay


Fitria Linda Kurniawati

 

'Teng ... teng!'

 

Menyembunyikan batin yang tersiksa. Belum ada suara azan Subuh. Suara peperangan dari Budhe Lastri sengaja membuat kamu terbangun.

Tangi, wooi!” suara serak seakan serakah ingin menguasai hari di pagi buta ini. “Kerja! Kerja! Wis mangan gratis, turu gratis, nginep gratis, kurang apa meneh?!”

Uwis to, Bune. Ojo banter-banter. Kasihan Bagas. Bapak bawa Bagas ke sini untuk nemeni kita. Kita belum punya anak,” suara Pakdhe Tasimin mengiba. Sudah dua puluh tahun pernikahan, belum juga dikaruniai anak.

“Pakne, mikiro! Kita itu hidup di kota, apa-apa serba beli. Sembako, bayar kontrakan, listrik, air, cicilan panci, tunggakan sepeda motormu. Uang dari mana coba, kalau dia tidak bantu cari uang. Aku pingin ikut program kehamilan, Pakne!”

“Eleh, tiap hari kan program hamil to, Bune."

“Pakne kie!” Kamu mendengar rengek yang setiap hari bergunjing tentangmu.

“Lhooo, Bagas wis tangi. Bugedhe belum masak. Kencot wetengmu, Gas?” tanya pria bertubuh tambun. Uban terlihat jelas di mayangnya.

“Belum mateng! Beras habis! Minyak habis! Mau belanja, gak ada duit!” celoteh Budhe Lastri kasar.

Sampun Pakgedhe, Inyong pakpung dulu. Mau ke agen ambil koran, biar tidak telat sekolah,” jawabmu. Kamu mengumbar senyum untuknya, pria yang kamu anggap sebagai ayah kandung.

“Tasmu yang kemarin di buang ke got, wis ketemu, Gas?” Pakdhe Tasimin menyeruput kopi tanpa gula. Uap menyembul meruahkan aroma khas kopi. Seperti biasanya, gula selalu cepat habis. Segelas air putih sebagai pengganjal perutmu tiap pagi.

Dereng, Pakgedhe. Damel tas kresek saja,” jawabmu. Menelan getir.

Kemarin kamu bersusah payah mengikuti derasnya sungai saat musim hujan. Mencari tas kumalmu yang mengambang di got perkampungan. Karena tekadmu bersekolah meski dalam keadaan sakit, membuat Budhe Lastri marah dan membuang tasmu. "Sana cari sendiri tasmu! Awas saja kalau besok-besok pura-pura sakit, gak mau kerja!”

"Bagas pamit kerja dan sekolah, nggih Pakgedhe, Bugedhe." Kamu mencium takzim tangan sepasang suami istri itu.

"Cari uang yang banyak! Awas! Gak bawa uang banyak, gak bakal ada makan malam!" ancam wanita bertubuh kurus sambil berkacak pinggang. Dihempas kasar tanganmu.

Bertubi-tubi kamu menelan duka, tetapi bias senyum tipis masih tergurat di bibirmu. Kamu melangkahkan kaki dengan sepatu butut yang alasnya menganga. Dengan langkah penuh keyakinan, kamu mencoba merengkuh secercah harapan. Secuil kesegaran pagi membawa tungkai lemahmu turut berderap menyeru panggilan Sang Pencipta.

 

'ALLAHU AKBAR!'

 

“Sudah, azan Subuh. Lumayanlah inyong kalau bisa bantu-bantu Mas Ahmed, bersih-bersih mushola,” gumammu lirih. Kamu menyambar gagang sapu yang berada di sudut halaman mushola.

“Ayo Gas, ikut sholat,” kata Mas Ahmed.

Inyong ora bisa sholat, Mas. Alip bak tak bae, inyong ora bisa.” Kamu menyampingkan sapu.

“Makane, ngaji, Gas. Sore ada ngaji di sini.”

Inyong mesti kerja, Mas. Gak punya waktu ikut ngaji.”

“Ya kalau begitu, ikut jamaah Subuh, yuk. Rubuh gedhang ae. Melu-melu gak popo, Gas.” Entah, magnet apa yang menarikmu ikut jamaah Subuh. Hanya Fatihah yang kamu hafal.

“Ini Gas, lumayan buat sarapan. Dan ini buat kamu, sedikit untuk beli permen.” Mas Ahmed menyodorkan sekantong kecil kue dan tiga lembar uang dua ribuan padamu, selepas kamu membantu membersihkan mushola. Kamu selipkan selembar uang dari pemberian Mas Ahmed pada kotak amal.

Poros bumi seakan mempermainkanmu mengejar rindu si yatim piatu yang bertarung pada sang waktu. “Ini koranmu, Gas.” Pria berkopiah putih mengulurkan beberapa lipat koran padamu.

“Kok, cuma dua puluh, Pak? Biasanya lebih." Kamu menghitung jumlah lipatan koran.

“Bukan begitu, Gas. Agen Bapak lagi surut nih.”

Menghela napas berat. Kamu berusaha menerima keadaan. “Nanti kalau inyong sudah sukses, inyong bantu Pak Darmaji buka usaha percetakan koran. Biar Bapak bisa jadi juragan koran.”

“Aamiin. Semoga juga kamu kelak jadi orang sukses, Gas.  Ya sudah sana. Nanti keburu siang, kamu telat sekolahnya.” Kamu mencium takzim tangan agen koran. Sigap tanganmu mengapit tumpukan koran.

Wajah langit masih remang-remang. Menanti kemunculan mentari. Jalanan ibu kota masih tampak lengang. Hanya beberapa kendaraan saja yang lewat. Sudah hampir setengah jam teriakanmu terbawa angin dan menghilang di jalanan. Langkah kaki kamu percepat agar segera sampai pada perumahan.

"Koran! Koran!" Nihil, hampir semua pintu rumah tertutup.

"Heh! Kalau jualan jangan teriak! Kuping gue kagak budeg!" pria berbadan gempal keluar dan mendongak di balik pagar alumunium.

"Kalau inyong ora teriak, mana bisa orang pada tau, Om?" sahutmu sembari jalan mendekati pria itu. "Maaf, Om. Beli korannya ya, biar cerdas."

"Apa lu bilang?!" Tangan kekar pria itu mencengkeram kaosmu hingga membentur pagar.

"Sudah, Bang. Dia masih kecil, Kasihan." Wanita menggendong bayi, keluar mendekati pria itu.

"Biar, Ma. Ini anak bacotnya makin kurang ajar. Ganggu suaranya, bikin anak kita bangun. Udah semaleman anak kita gak tidur. Gak bisa didiemin. Perlu kasih pelajaran." Tangan pria itu hendak menamparmu.

"Sudah, Bang! Nanti dilihat orang, Abang dilaporin polisi. Penganiayaan anak," jelas istrinya. Tangan wanita itu menimang tubuh bayinya yang belum berhenti menangis.

"Maaf, Om, Tante. Jika teriakan inyong membuat anak Om dan Tante bangun. Semoga anak Om dan Tante tidak bernasib sama seperti inyong. Kehilangan kedua orang tua." Kamu menyeka air mata yang hampir menetes.

"Tunggu, Dik! Aku mau beli korannya," ucap pria itu.

"Maaf, Om. Inyong jual koran, bukan untuk meminta belas kasih." Kamu kembalikan selembar uang lima puluh ribuan.

"Kakak mohon, Dik. Anggap saja Kakak sudah menjadi pelanggan tetap. Tiap pagi tolong taruh koran ini di sini, ya." Pria itu menunjuk ke sisi pagar.

"Terima kasih, Om, Tante."

***

Sepulang sekolah, kamu berkeliling dengan begitu semangat. Satu koran lagi yang habis terjual. Menghitung tumpukan uang hasil keringatmu.

"Wah, banyak duit nih. Sini bagi!" Tubuhmu didorong hingga tersudut di tembok. Candikala meremangkan pandangan. Gema azan Magrib menyamarkan teriakan. Terlebih jalan kecil yang sepi di penghujung senja, tidak terdengar sapa tapak kaki. Senyap.

"Gak ada, Bang." Terpaksa kamu berbohong. Rasa lapar yang mengiris dinding lambungmu. Buai angan nasi hangat dan sepotong tempe buatan Budhe Lastri seakan menggedor nuranimu.

Tangan pemuda gondrong bertubuh kurus merogoh celana merahmu. Sudah kesekian kalinya pemuda pengangguran itu merampas uangmu. Memaksamu meluapkan emosi dari berlapis kesabaranmu. "Gak ada, Bang." Tanganmu mencegah.

"Diam!" Cengkeraman di kerah baju kumalmu. Pukulan keras menghantam perutmu. Tubuhmu tersungkur. Kembali tangan kasar si pria cungkring bergerilya mencari pundi uangmu. Menghempas kasar buntalan kresek yang berisi bukumu.

"Nah ini!" pekik pemuda laknat itu menyulut api kemarahanmu. Lembaran uang hasil keringatmu seharian telah berada di genggamannya.

"Jangan, Bang!" Namun, tubuhmu dihempaskan. Perlahan kamu merangkak. Jarimu menyentuh pena. Kemarahan terhimpun hingga mata runcing pena layaknya kuku iblis. Berjalan terhuyung mendekati pemuda kurus yang pongah menghitung uangmu. Kesabaranmu hangus. Kamu menghunus dan mencabik-cabik kasar epidermis perut tipis pemuda gondrong itu. Tubuh kurus pun tumbang.

Tiga langkah mundur kakimu. Kembali menghimpun ketakutan. Darah melumuri genggaman tanganmu. Kamu lempar pena bersimbah darah dan berlari ketakutan.

Rasa takut dan cemas membawa tungkai-tungkai lemahmu untuk pulang. Menyibak pintu kayu yang menyembunyikan rahasia suram beberapa menit yang lalu. Cemooh dan hinaan Budhe Lastri hanya sekelumit kesik angin.

Tidak ada makanan buatmu, meski perutmu melolong meminta hak. Kamu merasa kenyang karena darah yang tercuci di aliran sungai seakan menyisakan bau anyir penyesalan.

"Tidak, inyong gak mau dipenjara, ya, Allah. Ampuni inyong, ya, Allah."

Rintih sesal menguarkan resah. Sujud di atas sajadah kain jarit peninggalan almarhumah ibumu dan sarung kumal wasiat terakhir ayahmu. Hingga kelopak netra begitu lekat, memaksamu untuk menutupnya.

***

"Le, Le Bagas. Bangun. Wis arep subuh. Ayo ceket tangi." Suara Pakdhe Tasimin. Remang cahaya lampu lima watt, membuatmu memicingkan mata.

Sedetik, mimpi buruk pun pupus. Terbungkus senyum teduh Pakdhe Tasimin. "Pakgedhe tau, Bagas belum makan semalaman kan? Ini sarapan dulu. Sego pecel Mbok Tulus, kesukaanmu."

"Bocah males kok dimanja!" celetuk Budhe Lastri kembali melecut hatimu.

"Wis to, Bune. Bagas iki yatim piatu, sudah wajibnya aku, pakdhene ngrumat. Insyaallah berkah."

Sholawat Tahrim bersahutan. Menyeru hati dalam ringkih kekhilafan. Pandangan buram, bening air mata menjejal kornea matamu.

"Ada mayat! Ada mayat!" Riuh warga berhambur bersama gema imsak. Membuat darahmu bergejolak. Degup jantung bersilaju mengejar dosa yang hinggap merayapi pengakuan semalam.

"Ya Allah Gusti, Franky mati, Pakne. Mayite ditutupi koran," ujar Budhe Lastri

Belum selesai kamu telan sesuap nasi pecel, terdengar pintu terketuk. Teriring suara gaduh warga mengiringi suara ketukan. Budhe Lastri dengan cepat membuka pintu.

"Selamat pagi, Bu. Apa benar ini kediaman Bapak Tasimin?" Suara tegas terdengar jelas. "Kami dari Kepolisian hendak melakukan penangkapan kepada Bapak Tasimin."

"Ya Allah Gusti! Pakne. Salahmu opo?!"

"Maaf, untuk penjelasannya bisa diperjelas di kantor polisi." Pasrah, kedua pergelangan tangan Pakdhe Tasimin diborgol.

Pagi ini, kamu kembali menjadi yatim piatu. Bernaung di bawah teduh atap pemerintah, Dinas Sosial. Membawamu bersama sulaman rasa bersalah. Koran basi yang menutupi mayat pria cungkring, membawa takdirmu.

 

Bagas, ponakanku. Maafkan Pakgedhemu. Hanya ini satu-satunya cara Pakgedhemu menyelamatkan masa depanmu. Raih cita-citamu ya, Le. Doa Pakgedhe selalu menyertaimu.

 

Sepucuk surat Pakdhe Tasimin seakan melipat rapat rahasia. Rahasia yang memberi titian takdir bagimu. Kamu pembunuh yang mendapat kesempatan kedua.

***

 

 

 

 


Fitria Linda Kurniawati, Lahir di Surabaya 29 September 1985. Seorang guru di UPT SD Negeri Bajang 02 Kecamatan Talun kabupaten Blitar ini sudah mencintai menulis. Baik menulis fiksi dan non fiksi. Mengembangkan selalu kemampuannya bersama sahabat guru se-nusantara dalam grup SGSI.

Bercita-cita menjadi penulis yang menginpirasi adalah tujuan hidupnya. Memberikan manfaat bagi sekitarnya. Salam literasi sepanjang masa!

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar