Aliq Nurmawati
Walaupun
jawab tak kunjung ada, namun tak pernah sekali pun sebersit lelah untuk kuselalu
bertanya kabar tentang Sangkala; kepada secangkir kopi yang kuracik sendiri
setiap pagi.
Sungai kering, di bawah jembatan Yuen Long adalah saksi bisu
perjumpaanku dengannya. Ingatanku masih tajam, tentang tiap kata yang ia
ceritakan kepadaku, “Jika kau tak keberatan maukah mendengarkan sedikit lakon
hidupku kawan?” tanyanya kepadaku, dan aku tak punya jawab kecuali mengangguk.
“Kisah ini getir, kawan, namun jika hanya kutabung di benak
saja, aku merasa tak enak hati dengan semesta, dan kurasa kamu adalah
satu-satunya orang yang layak untuk menjadi pendengar kisahku ini....“ Kedua telingaku masih
utuh kupasang, ia pun bercerita tanpa jeda, hanya sesekali kulihat bibirnya
yang cokelat kehitaman mengepulkan asap sigaret, tergulung menuju mendung lantas
lenyap tertiup angin melambung.
Ia menceritakan tentang masa belianya di mana ia dibesarkan
oleh perempuan yang bukan siapa-siapanya, kata orang-orang sekitar. Namun,
Sangkala kecil masih belum percaya sepenuhnya akan cerita tetangga, karena
mengingat, betapa ia paham bahwa perempuan yang notabene bukan siapa-siapanya
itu terlampau menyayanginya. Meski ia sendiri merasakan banyak keanehan yang
terjadi, dengan perempuan tersebut. Kadang dia ada, tapi juga menghilang dengan
kurun waktu yang panjang, dan pulang di sepertiga malam, dengan baju yang berlumuran darah. Pernah juga ia
pulang, dengan beberapa potong organ tubuh, yang mana potongan-potongan organ
tubuh tersebut ia bungkus plastik dan ia tanam di ladang belakang rumah. Kutelan
air ludahku sendiri, sementara bulu kudukku berdiri dan sepertinya enggan untuk
kembali ke bentuk semula. Sangkala yang peka atas yang tengah kurasa lantas ia
pun permisi untuk ke toilet, dan menitipkan ranselnya kepadaku. Aku yang masih
diselimuti ngeri serta rasa yang rumit kuceritakan dalam bentuk kata-kata, hanya
bisa mengekor di belakang tubuh yang sekarang melangkah menuju tempat penampung
air besar dan kecil itu. Tetiba hidungku mencium aroma anyir yang tiada
berkesudahan, semakin dekat dan pekat. Karena hidung tetaplah hidung, jadi
aroma yang kurang bersahabat itu justru kucari sumbernya, meski aku tak paham
utuh bahwa sumber aroma yang mengganggu indera penciumanku itu tak lain dan tak
bukan, dari ransel yang baru saja dititipkan Sangkala kepadaku.
Akhirnya rasa penasaranku pun berbuah ekspresi negatif, di
mana aku harus membuka ransel yang bukan milikku, dan betapa aku kaget setengah
mati tatkala mataku menemukan potongan
kepala anak manusia yang masih berlumuran darah segar di balik risleting ransel
milik Sangkala. Seketika itu ransel yang
bukan milikku itu kulempar, setelahnya aku sudah tak tahu entah ke mana
perginya ingatanku.
Setelah mataku terbuka, dan
sebenarnya belum sadar sempurna; hanya bingung yang kutemui. “Di mana Sangkala?
Di mana ransel berisikan potongan kepala tadi?” tanyaku kepada ruang kosong
yang menemaniku, dan tak ada sehuruf jawab pun yang kudengar.
“Sudah siuman-kah?” mataku membulat dan berusaha
menerjemahkan akan siapa lelaki yang lusuh dan berbau anyir itu, “Sangkala?!” Iya
benar dia Sangkala, tetapi aku ini di mana? Kenapa sekelilingku hanya ada
rimbun daun dan tumpukan perkakas tak jelas?
“Kala! Tolong jelaskan aku ini di mana? Kenapa aku, kau bawa ke
tempat yang sama sekali tak kukenali?”
Lelaki kusut yang berdiri tak jauh dari hadapanku itu justru
menjawab tanyaku dengan pelototan matanya yang merah padam, “Kamu memilih diam!
Atau ingin bernasib sama seperti benda yang
tadi sempat kau temukan di ranselku?!”
Aku bergeming, ia mendekatiku, dan berbisik “Ikuti saja
iramaku jika memang kamu masih ingin menikmati hangatnya sinar mentari esok
pagi, lihatlah di ujung sana ada tumpukan dolar yang bisa kita manfaatkan untuk
menuntaskan sisa hari.” Dan, benar aku pun mengikuti
iramanya sampai hampir lebih dari tujuh ratusan hari lamanya.
Walau hunian ciptaannya jauh dari kata layak huni, namun
karena gelimang materi yang ia persembahkan, membuatku betah menuruti tiap inginnya.
Meskipun setiap menit hanya diisi dengan gertakan dan intimidasi. Leher tanpa
dosa ini sering dicekik bahkan nyaris terpisah dari batangnya. Namun, asal
kebutuhan keluargaku di kampung halaman terpenuhi, aku selalu berkata baik-baik
saja pada semua.
Mungkin memang hanya sesederhana itu, inginku, menurut
Sangkala, hingga ia lupa bahwa aku masih manusia yang tidak menutup kemungkinan
akan ada fase di mana bosan itu hinggap. Ingin menjadi yang lebih dari hari ini,
atau kembali menjadi aku yang sebelum ia asingkan, mungkin?
Dia memang sudah banyak
menceritakan tentang siapa dirinya sejak awal jumpa, tetapi ia lalai bertanya
tentang siapa aku yang sesungguhnya. Dia belum tahu bahwa aku tak jauh
beda dengannya, yang mana sudah lupa caranya untuk takut akan tibanya ajal.
Andai dia tahu bahwa terlahir dari keluarga yang terlanjur
hobi saling menganiaya adalah aku, yang sejak belum cukup umur harus menjadi
saksi akan perbuatan ngeri orang-orang terkasih tetaplah aku orangnya, dan
menjadi piatu saat keadaan belum siap serta menyaksikan siapa perenggut nyawa ibu
tercinta tak lain adalah aku.
Sangkala tak pernah
tahu akan semua itu. Dan, aku tidak akan menceritakan juga hal
ini kepada siapa pun tanpa izin-Nya.
Hingga suatu ketika batas kesabaranku sudah mulai menipis,
kala itu aku melihat Sangkala pulang dalam keadaan setengah sadar dan membawa pulang
seorang lawan jenis, yang sudah tentu
ada hubungan yang lebih dari teman.
Tanpa bertanya tentang apa maksud serta siapa wanita itu, aku
langsung menyambutnya dengan sebilah parang, dan tertuju tepat di sasaran
seperti yang selama ini Sangkala ajarkan kepadaku. Karena rasa tak terima, Sangkala
yang berniat ingin membela perempuannya justru
menjadi korban berikutnya. Saat itu sepertinya kendali emosiku sungguh buruk. Dengan ketidaksadaran
yang mendekati sempurna kedua anak manusia itu kurenggut nyawanya dengan cara
yang tidak manusiawi. Setelah kupastikan benar-benar tak ada sedikit pun napas yang tersisa di raga kedua
korban tersebut, lantas aku pun bergegas meraup seluruh tumpukan dolar milik
Sangkala. Kemudian kutinggalkan mereka berdua tanpa ada yang namanya perasaan bersalah
barang secuil pun di benakku.(*)
HongKong,
12 November '21
Aliq Nurmawati
Lahir
di Blitar 08 November 1986
Karya
perdananya adalah Kera jadi Sarjana (2017), yang dipublikasikan oleh Berita
Indonesia di HongKong, Bidadari Papua (2017) dipublikasikan oleh
Apakabar+ HongKong, Malaikat Rindu Pesulap Dapur (2017); masuk kategori karya
terbaik dalam kisah berhikmah dan dibukukan oleh ICLaw, Pahitmu Mengundang
Rinduku (2019), dipublikasikan oleh koran Suara-HK, Amblas; senandika
(2019) antologi KMMDK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar