Selasa, 23 November 2021

Ambang Halimun

 



Aliq Nurmawati

 

Walaupun jawab tak kunjung ada, namun tak pernah sekali pun sebersit lelah untuk kuselalu bertanya kabar tentang Sangkala; kepada secangkir kopi yang kuracik sendiri setiap pagi.

Sungai kering, di bawah jembatan Yuen Long adalah saksi bisu perjumpaanku dengannya. Ingatanku masih tajam, tentang tiap kata yang ia ceritakan kepadaku, “Jika kau tak keberatan maukah mendengarkan sedikit lakon hidupku kawan?” tanyanya kepadaku, dan aku tak punya jawab kecuali mengangguk.

“Kisah ini getir, kawan, namun jika hanya kutabung di benak saja, aku merasa tak enak hati dengan semesta, dan kurasa kamu adalah satu-satunya orang yang layak untuk menjadi pendengar kisahku ini....“ Kedua telingaku masih utuh kupasang, ia pun bercerita tanpa jeda, hanya sesekali kulihat bibirnya yang cokelat kehitaman mengepulkan asap sigaret, tergulung menuju mendung lantas lenyap tertiup angin melambung.

Ia menceritakan tentang masa belianya di mana ia dibesarkan oleh perempuan yang bukan siapa-siapanya, kata orang-orang sekitar. Namun, Sangkala kecil masih belum percaya sepenuhnya akan cerita tetangga, karena mengingat, betapa ia paham bahwa perempuan yang notabene bukan siapa-siapanya itu terlampau menyayanginya. Meski ia sendiri merasakan banyak keanehan yang terjadi, dengan perempuan tersebut. Kadang dia ada, tapi juga menghilang dengan kurun waktu yang panjang, dan pulang di sepertiga malam, dengan  baju yang berlumuran darah. Pernah juga ia pulang, dengan beberapa potong organ tubuh, yang mana potongan-potongan organ tubuh tersebut ia bungkus plastik dan ia tanam di ladang belakang rumah. Kutelan air ludahku sendiri, sementara bulu kudukku berdiri dan sepertinya enggan untuk kembali ke bentuk semula. Sangkala yang peka atas yang tengah kurasa lantas ia pun permisi untuk ke toilet, dan menitipkan ranselnya kepadaku. Aku yang masih diselimuti ngeri serta rasa yang rumit kuceritakan dalam bentuk kata-kata, hanya bisa mengekor di belakang tubuh yang sekarang melangkah menuju tempat penampung air besar dan kecil itu. Tetiba hidungku mencium aroma anyir yang tiada berkesudahan, semakin dekat dan pekat. Karena hidung tetaplah hidung, jadi aroma yang kurang bersahabat itu justru kucari sumbernya, meski aku tak paham utuh bahwa sumber aroma yang mengganggu indera penciumanku itu tak lain dan tak bukan, dari ransel yang baru saja dititipkan Sangkala kepadaku.

Akhirnya rasa penasaranku pun berbuah ekspresi negatif, di mana aku harus membuka ransel yang bukan milikku, dan betapa aku kaget setengah mati tatkala mataku menemukan  potongan kepala anak manusia yang masih berlumuran darah segar di balik risleting ransel milik Sangkala.  Seketika itu ransel yang bukan milikku itu kulempar, setelahnya aku sudah tak tahu entah ke mana perginya ingatanku.

                 Setelah mataku terbuka, dan sebenarnya belum sadar sempurna; hanya bingung yang kutemui. “Di mana Sangkala? Di mana ransel berisikan potongan kepala tadi?” tanyaku kepada ruang kosong yang menemaniku, dan tak ada sehuruf jawab pun yang kudengar.

“Sudah siuman-kah?” mataku membulat dan berusaha menerjemahkan akan siapa lelaki yang lusuh dan berbau anyir itu, “Sangkala?!” Iya benar dia Sangkala, tetapi aku ini di mana? Kenapa sekelilingku hanya ada rimbun daun dan tumpukan perkakas tak jelas?

Kala! Tolong jelaskan aku ini di mana? Kenapa aku, kau bawa ke tempat yang sama sekali tak kukenali?”

Lelaki kusut yang berdiri tak jauh dari hadapanku itu justru menjawab tanyaku dengan pelototan matanya yang merah padam, “Kamu memilih diam! Atau ingin  bernasib sama seperti benda yang tadi sempat kau temukan di ranselku?!”

Aku bergeming, ia mendekatiku, dan berbisik “Ikuti saja iramaku jika memang kamu masih ingin menikmati hangatnya sinar mentari esok pagi, lihatlah di ujung sana ada tumpukan dolar yang bisa kita manfaatkan untuk menuntaskan sisa hari.Dan, benar aku pun mengikuti iramanya sampai hampir lebih dari tujuh ratusan hari lamanya.

Walau hunian ciptaannya jauh dari kata layak huni, namun karena gelimang materi yang ia persembahkan, membuatku betah menuruti tiap inginnya. Meskipun setiap menit hanya diisi dengan gertakan dan intimidasi. Leher tanpa dosa ini sering dicekik bahkan nyaris terpisah dari batangnya. Namun, asal kebutuhan keluargaku di kampung halaman terpenuhi, aku selalu berkata baik-baik saja pada semua.

Mungkin memang hanya sesederhana itu, inginku, menurut Sangkala, hingga ia lupa bahwa aku masih manusia yang tidak menutup kemungkinan akan ada fase di mana bosan itu hinggap. Ingin menjadi yang lebih dari hari ini, atau kembali menjadi aku yang sebelum ia asingkan, mungkin?

             Dia memang sudah banyak menceritakan tentang siapa dirinya sejak awal jumpa, tetapi ia lalai bertanya tentang siapa aku yang sesungguhnya. Dia belum tahu bahwa aku tak jauh beda dengannya, yang mana sudah lupa caranya untuk takut akan tibanya ajal.

Andai dia tahu bahwa terlahir dari keluarga yang terlanjur hobi saling menganiaya adalah aku, yang sejak belum cukup umur harus menjadi saksi akan perbuatan ngeri orang-orang terkasih tetaplah aku orangnya, dan menjadi piatu saat keadaan belum siap serta menyaksikan siapa perenggut nyawa ibu tercinta tak lain adalah aku.

 Sangkala tak pernah tahu akan semua itu. Dan, aku tidak akan menceritakan juga hal ini kepada siapa pun tanpa izin-Nya.

Hingga suatu ketika batas kesabaranku sudah mulai menipis, kala itu aku melihat Sangkala pulang dalam keadaan setengah sadar dan membawa pulang seorang lawan jenis,  yang sudah tentu ada hubungan yang lebih dari teman.

Tanpa bertanya tentang apa maksud serta siapa wanita itu, aku langsung menyambutnya dengan sebilah parang, dan tertuju tepat di sasaran seperti yang selama ini Sangkala ajarkan kepadaku. Karena rasa tak terima, Sangkala yang berniat ingin membela  perempuannya justru menjadi korban berikutnya. Saat itu sepertinya  kendali emosiku sungguh buruk. Dengan ketidaksadaran yang mendekati sempurna kedua anak manusia itu kurenggut nyawanya dengan cara yang tidak manusiawi. Setelah kupastikan benar-benar tak ada sedikit pun napas yang tersisa di raga kedua korban tersebut, lantas aku pun bergegas meraup seluruh tumpukan dolar milik Sangkala. Kemudian kutinggalkan mereka berdua tanpa ada yang namanya perasaan bersalah barang secuil pun di benakku.(*)

 

 

 

HongKong, 12 November '21

 

 

 


 Aliq Nurmawati

Lahir di Blitar 08 November 1986

Karya perdananya adalah Kera jadi Sarjana (2017), yang dipublikasikan oleh Berita Indonesia di HongKong, Bidadari Papua (2017) dipublikasikan oleh Apakabar+ HongKong, Malaikat Rindu Pesulap Dapur (2017); masuk kategori karya terbaik dalam kisah berhikmah dan dibukukan oleh ICLaw, Pahitmu Mengundang Rinduku (2019), dipublikasikan oleh koran Suara-HK, Amblas; senandika (2019) antologi KMMDK.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar