Minggu, 26 September 2021

Novel Cecak



Oleh Agus Pribadi

Bagian 1

 

Pulang dari sekolah, wajah Arman terlihat lesu. Ia masuk ke kamar tanpa sepatah katapun pada ibunya. Biasanya dia akan menuju ke depan, ke warung nasi milik ibunya, dan akan menyapa ibunya yang sedang berada di warung itu. Barangkali ibunya sedang melayani para pembeli atau sedang mencuci piring. Namun, kali ini Arman langsung masuk ke dalam kamarnya entah apa yang terjadi sebelumnya di sekolah atau pada saat perjalanan pulang ke rumah.

Ketika Martini mengetahui Arman langsung masuk ke dalam kamar, Martini menyusulnya ke dalam kamar Arman tetapi pintu kamar Arman tertutup sehingga Martini tidak bisa berbuat apa-apa. Ingin ia mengetuk pintu kamar anaknya itu, tetapi ia urungkan karena takut anaknya merasa terganggu maka Martini kembali lagi ke dalam warung.

Setelah berganti baju, Arman melihat empat ekor cecak yang ada di dinding dan atap kamarnya. Cecak-cecak itu hanya diam tanpa bergerak ke mana-mana, entah apa sebabnya, apakah sedang malas atau karena seharian lapar menunggu nyamuk-nyamuk yang tidak juga datang. Namun, hal itu tidak menarik perhatiannya, Arman lebih tertarik menerawang ke kejadian tadi sebelum pulang sekolah sebelum ia naik bus. Ia dihampiri oleh Ayu teman satu kelasnya di kelas 3 SMA di sebuah kota kecil. Biasanya Ayu dijemput oleh ayahnya dengan mobil tapi kali ini sepertinya Ayu ingin pulang bersama-sama dengan Arman naik bus. Di bawah sebuah pohon tidak jauh dari SMA di tepi jalan Ayu menghampiri Arman. Kebetulan Arman agak jauh dari teman-temannya yang lain ketika menunggu bus sehingga Ayu bisa dengan mudah untuk menghampiri dan mengobrol dengan Arman.

Aku ingin pulang bareng kamu,” kata Ayu pada Arman yang pandangannya tetap lurus ke depan.

Kenapa pulang bareng aku? Apa kamu tidak mual nanti kalau naik bus?” tanya Arman.

Nggak apa-apa kok, aku juga pernah beberapa kali naik bus.”

Sebenarnya ada bus yang lewat, tetapi karena penumpangnya cukup penuh Arman belum juga beranjak untuk naik bus menuju ke rumahnya, sedangkan Ayu sepertinya mengikuti saja dengan Arman mau memilih bus yang mana yang akan dinaikinya. Sementara teman-teman yang lain sebagian sudah naik bus yang berhenti dan kondekturnya berteriak-teriak agar anak-anak berseragam putih abu-abu yang menunggu segera naik ke bus.

Ini kali terakhir mereka pulang bersama. Hari ini ijazah sudah berada di tangan mereka.

“Mau melanjutkan ke mana?” tanya Ayu.

“Saya enggak akan ke mana-mana?”

“Kenapa?”

“Nggak ada biaya.”

“Kalau aku mungkin akan melanjutkan ke fakultas biologi. Maukah kamu kuliah bareng aku?” Ayu seperti merajuk, tapi Arman sepertinya cuek saja sambil melihat lalu lalang kendaraan dan beberapa temannya yang sibuk berebut tempat duduk di dalam bus yang akan dinaiki oleh mereka.

“Kan aku sudah katakan nggak ada biaya.”

Apa kamu sudah tidak mau bersama aku lagi,” ucap Ayu sambil menatap mata Arman. Ditatap Ayu seperti itu Arman mencoba menghindarinya.

“Untuk mewujudkan komitmen apa kita harus belajar dalam hal yang sama? Kamu kan tahu ayahku hanya petani penggarap sawah sementara ibuku hanya berjualan di warung yang sederhana.”

Ayu ingin menimpali ucapan Arman, tetapi sebuah bus melintas dengan penumpang yang tidak terlalu penuh. Hal itu dimanfaatkan Arman untuk menghindari percakapan tentang topik yang tidak disukainya itu.

Ayo kita naik!” seru Arman sambil menggandeng tangan Ayu yang mengikuti saja sedikit berlari bersama Arman menuju ke bus yang berhenti tepat di depannya.

Arman dan Ayu duduk berdua di bangku yang kosong dekat pintu bus. Kali ini mereka tidak bercakap-cakap, barangkali mereka mencoba merasakan dan menghayati kecamuk yang ada di dalam hati mereka masing-masing saat ini. Ayu sedikit memiringkan tubuhnya ke bahu Arman. Rambutnya yang hitam sebahu tertiup angin, menyentuh bahu Arman menguarkan aroma wangi sampo di hidung Arman.

Bus berhenti di sebuah pertigaan jalan besar. Arman dan Ayu turun untuk kemudian naik lagi angkutan pedesaan yang sudah lama menunggu para penumpang. Tak lama setelah Arman dan Ayu naik angkutan pedesaan perlahan tapi pasti mobil berwarna kuning itu meluncur menuju ke sebuah kampung di mana mereka tinggal.

***

Di dalam kamar, Arman memikirkan perihal Ayu. Dari kelas 1 sampai kelas 3 SMA mereka selalu berada di kelas yang sama.

Jika ada PR menulis puisi dari guru Bahasa Indonesia, maka Ayu akan meminta diajari atau dibuatkan puisi oleh Arman. Hal itu bermula saat Ayu tidak sengaja membaca puisi yang ditulis oleh Arman di bagian akhir buku tulis Arman. Meski puisi itu tidak ditujukan pada siapa-siapa, tapi Ayu merasa kalau puisi itu ditujukan untuk dirinya. Berawal dari menyukai puisi-puisi Arman, Ayu juga menyukai sosok Arman.

Jika Ayu lebih suka bermain bola basket dengan teman-temannya, maka Arman lebih suka duduk berlama-lama di pojok perpustakaan sekolah seorang diri sambil membaca buku-buku yang disukainya. Arman lebih suka membaca buku-buku kumpulan cerpen, novel, kumpulan puisi atau buku-buku yang lainnya.

Jika Ayu melihat Arman sedang menuju ke perpustakaan sekolah, maka ia akan mengikuti Arman. Ayu akan menemani Arman memilih-milih buku atau membaca buku. Ayu suka bermain bola basket bersama teman-teman, tapi ia juga suka membaca buku seperti Arman walaupun tidak sesering Arman menuju ke perpustakaan. Meski tidak terucap hubungan mereka seperti dimulai sejak duduk di kelas 1 ketika awal-awal Ayu mengenal puisi-puisi Arman yang di tulisnya di buku tulis Arman. Membaca puisi-puisi Arman, hati Ayu seperti merasa ada ketenangan, dan seperti bercermin dalam puisi-puisi itu.

***

Lamunan Arman terhenti saat Martini mengetuk pintu kamarnya yang tertutup rapat. Setelah Arman membuka pintu sedikit kemudian Martini masuk ke kamar Arman.

“Hari sudah sore, kamu belum makansiang, Arman?”

Nanti saja, Emak. Aku belum lapar.”

“Emak ambilkan ya?” Arman tak menyahut, tapi selang beberapa menit kemudian Martini sudah kembali ke kamar Arman dengan sepiring nasi beserta lauk pauknya, dan 1 gelas teh hangat.

***

Pagi hari, Arman sudah mengenakan baju putih lengan panjang dan celana panjang hitam. Rambutnya yang agak panjang dan belum dicukur disisir rapih. Barangkali ini kali pertama sejak tiga bulan yang lalu ia dinyatakan lulus dari SMA pada selembar kertas yang bernama ijazah.

“Mau kemana kamu, Arman. Tumben berpakaian rapi,” kata Martini ketika melihat anaknya sedang menyisir rambutnya.

“Aku mau melamar pekerjaan, Emak.”

“Alhamdulillah … ternyata anak emak yang ganteng ini memiliki semangat untuk mencari kerja. Betul itu, jangan sampai Ayu direbut orang lain loh …”

Arman hanya menyunggingkan senyum. Ia berpamitan pada ibunya, diciumnya tangan Martini kemudian melangkah menuju jalan di dekat rumah, menunggu angkutan pedesaan lewat.  Berbekal tas ransel hitam yang berisi berkas lamaran pekerjaan, Arman melangkah pasti mendatangi lowongan pekerjaan yang diiklankan melalui pesawat radio itu. Di dompetnya hanya berisi beberapa lembar uang dua puluh ribuan pemberian Martini.

Sesampainya di tempat yang dituju, Arman disambut oleh seorang ibu berumur sekitar 40 tahunan. Bajunya biasa saja tidak terlalu rapih. Namun, Arman berpikiran kalau wanita ini adalah pemimpin kantor atau entah apa namanya ini.

“Silahkan masuk,” ucap wanita berambut sebahu dan berperawakan tidak terlalu tinggi itu.

Arman duduk di kursi depan meja kerja wanita itu. Pandangan Arman menunduk seperti bawahan pada atasannya meskipun Arman belum dinyatakan diterima di kantor itu.

“Coba saya lihat berkas lamaran pekerjaanmu.”

“Ini, Bu.” Arman menyodorkan stopmap berwarna biru yang berisi berkas lamaran kerja berupa ijazah terakhir, pas foto, dan surat lamaran kerja.

“Kamu saya nyatakan diterima,” ucap wanita itu setelah beberapa saat memeriksa berkas lamaran pekerjaan milik Arman.

Arman terkesiap antara senang dan bingung. Ia menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.

“Selamat ya Mas,” wanita itu menyalami Arman yang masih bingung. Kakinya masih seperti tidak menapak ke lantai.

“Hari ini kamu akan langsung mendapatkan training bersama karyawan yang lama. Sekarang juga kamu ditugaskan untuk mengikuti Aldi ke kota sebelah.” Pemuda yang dipanggil Aldi segera muncul memperkenalkan diri kepada Arman, seperti sudah diatur skenarionya dengan manis.

Siang itu juga Arman bersama Aldi naik bus menuju ke kota sebelah. Dengan perut yang mual dan perasaan campur aduk antara senang, ragu, dan bingung Arman bertekad untuk menjalani masa training ini. Entah training apa, Arman tidak mengetahuinya.

Di dalam bus, pemuda yang mendampingi Arman menjelaskan panjang lebar bahwa training ini untuk melatih kemampuan negosiasi dan kekuatan mental, dan hal-hal positif lainnya. Arman hanya manggut-manggut.

Turun dari bus, Arman langsung diajak menawarkan barang dagangan dari rumah ke rumah. Arman hanya mendampingi Aldi dengan tekun menawarkan barang dagangan meski belum juga ada yang membelinya meski sudah menawarkannya ke beberapa orang.

Ketika akan menuju ke suatu tempat lagi dengan menaiki bus, Arman memutuskan untuk tidak mau ikut. Arman memutuskan untuk cukup segini saja training hari ini. Aldi pun tidak memaksa Arman untuk mengikutinya lagi. Keduanya naik bus dengan arah yang berlawanan. Arman berniat untuk mengundurkan diri dari training yang baru saja dijalaninya hari ini. Ia akan membicarakannya baik-baik dengan wanita yang menjadi pemimpin kantor itu. Namun, sesampainya Arman di kantor itu, ia tidak bertemu dengan wanita itu. Ia pun berpamitan dengan seorang pria yang berumur 35 tahunan, entah sebagai apa di kantor itu.

***

Lebaran tahun ini Arman bertemu dengan Darsun, yakni adik ibunya. Darsun yang bekerja di kota besar mengajak Arman untuk bekerja bersamanya.

“Ini alamat saya di kota besar, Man. Kapanpun kamu mau, kamu bisa bekerja bersamaku di sana,” ucap Darsun sambil menyodorkan sebuah kartu nama.

Terima kasih Paklik.” Hanya itu yang terucap dari bibir Arman, sementara Martini yang mendengar percakapan mereka ikut menimpali, Iya Arman … kamu ikut Paklikmu saja di kota besar. Belajarlah mandiri, mencari uang sendiri, jangan hanya di rumah saja menulis puisi atau entah apa itu yang nggak jelas!” Arman hanya diam saja.

“Tiga tahun aku meninggalkan kampung ini sepertinya banyak kemajuan ya, Yu?” ucap Darsun pada Martini.

Iya pembangunan desa lumayan pesat. Lurah Darto, ayahnya si Ayu itu kan gencar mengadakan pembangunan, memperbaiki jalan, membuat talud, dan lain-lain.”

“Oh begitu ya, Yu.”

Bagaimana kabar istrimu, Sun? Kenapa tidak mau ikut ke sini?”

Rini belum mau ikut, Yu … katanya masih malu dengan kejadian dulu.”

“Ah kejadian apa? Kami sudah melupakan dan memaafkannya kok. Lagi pula kamu kan sudah bertanggung jawab menikahinya.”

Iya Yu … Lebaran tahun depan akan saya ajak ke sini bareng anak-anak.”

Ketika mereka bertiga sedang mengobrol tiba-tiba datang Marno, ayah Arman yang baru pulang dari sawah dan membawa beberapa ekor belut yang diikat dengan tali.

Marno hanya menyunggingkan senyum pada Darsun, kemudian langsung menuju ke belakang. Sebenarnya Darsun ingin berbincang dengan Marno tapi karena Marno langsung masuk ke belakang sehingga diurungkannya keinginannya tersebut.

Keesokan harinya Darsun langsung berpamitan pada Martini untuk pulang kembali ke kota. Marno tak sempat bercengkerama dengan marno, karena pagi-pagi sekali ia harus segera naik bus menuju ke kota di mana ia bekerja.(*)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar