Selasa, 28 September 2021

Guru Penulis dalam Sorotan

 


Pixabay.com


Agus Pribadi, S.Si.

 

Beberapa tahun terakhir ini, terlihat fenomena maraknya guru menulis dan menerbitkan buku. Hal itu didukung oleh bertebarannya pelatihan penulisan buku, dan banyaknya penerbit buku yang menyediakan kemudahan bagi para guru untuk menerbitkan buku, salah satunya melalui jalur self publishing.

Fenomena tersebut setidaknya memunculkan dua hal. Pertama, semakin banyak buku yang ditulis oleh guru, baik buku fiksi maupun nonfiksi. Kedua, sorotan mengenai guru dan aktivitasnya dalam menulis buku.

Kualitas Buku

Menurut Idris Apandi (2017): Banyak jenis buku yang bisa ditulis oleh guru. Misalnya menulis buku referensi, buku mata pelajaran, buku suplemen, buku cerita, buku hasil penelitian, buku best practice, dan sebagainya. Intinya, tergantung kepada bidang mapel yang diampu, dan minatnya. Intinya, guru diharapkan dapat membangun dan mengembangkan budaya menulis. (Artikel Kompasiana, 1 Maret 2017 bertajuk “Fenomena Guru Menulis dan Menerbitkan Buku” penulis Idris Apandi).

Banyaknya guru yang berhasil menerbitkan buku perlu disambut dengan baik, berarti gairah menulis di kalangan guru meningkat. Hal itu sejalan dengan pengembangan keprofesian guru baik dalam hal publikasi ilmiah maupun karya inovatif—salah satunya melalui penciptaan karya seni sastra (puisi, cerpen, dan novel).

Sejalan dengan semangat pengembangan keprofesian berkelanjutan, kualitas buku yang dihasilkan seyogianya senantiasa ditingkatkan. Bagaimana standar sebuah buku terbit bisa menjadi acuan yang senantiasa berusaha untuk dicapai dalam setiap penulisan buku.

Buku adalah muara dari kegiatan tulis menulis. Jika kualitas buku yang dihasilkan baik, maka akan memiliki kemanfaatan yang tinggi bagi pembacanya.

Guru Penulis

Sorotan ditujukan pada guru mengenai aktivitasnya dalam menulis buku tertulis dalam berita berikut ini: “Pegiat sastra di wilayah Banyumas mulai terusik dengan fenomena 'mendadak sastra'. Gejala ini muncul di kalangan pendidik seperti guru untuk mengejar angka kredit demi kenaikan golongan.” (Berita Suara Banyumas (SM), 27/2/2020 bertajuk "Pegiat Sastra Terusik Fenomena Mendadak Sastra").

Sorotan mengenai mendadak sastra tersebut, menurut hemat penulis cukup berlebihan mengingat fenomena pelatihan dan penerbitan buku yang marak akhir-akhir ini bukan hanya diikuti oleh kalangan guru, melainkan berbagai latar belakang usia dan profesi. Selain itu, banyak guru yang memang sudah cukup lama menulis sastra yang diakui keberadaannya, sebagai contoh: Mashdar Zainal, Farisal Sikumbang; keduanya penulis cerpen yang karyanya telah beredar di media media massa. Selain mereka berdua tentu masih banyak lagi guru yang aktif menulis sastra, misalnya Agustav Triono (Pegiat sastra), Jefrianto (Pegiat sastra Jawa), dan masih banyak lagi. Mereka menulis dan berkegiatan sastra tentunya berangkat dari minat dan bakat masing-masing, bukan hanya untuk mengejar angka kredit untuk kenaikan pangkat dan golongan jabatan guru.

Jikapun guru menulis buku sastra (puisi, cerpen, dan novel) untuk tujuan mendapat angka kredit untuk kenaikan pangkat dan golongan, itu sah-sah saja. Hal itu diatur dalam peraturan Menpan RB nomor 16 tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Dalam peraturan itu, guru mata pelajaran apapun bisa menulis buku kumpulan puisi, kumpulan cerpen, atau novel; dan ketiga buku itu termasuk karya inovatif kategori seni sastra. Tentu ada aturan khusus agar ketiga jenis buku itu dapat lolos penilaian angka kredit dan ada nilainya. Misalnya untuk buku kumpulan puisi dengan penulis tunggal minimal 40 puisi dengan nilai angka kredit 4. Buku kumpulan cerpen dengan penulis tunggal minimal 10 cerpen dengan nilai angka kredit 4. Buku novel dengan penulis tunggal dengan nilai angka kredit 2.

Namun demikian, sorotan di atas bisa dijadikan momentum bagi para guru di mana pun berada untuk lebih meningkatkan kualitas tulisannya. Bagi yang memiliki minat dan bakat menulis sastra, bisa terus berproses belajar melalui bacaan baik buku maupun lingkungan; seiring terus mengasah kemampuan menulisnya agar semakin berkualitas. Keseriusan menulis bisa dimulai dari kapanpun, namun kegiatan itu tak ada akhirnya seperti jalan tak berujung. Dengan demikian, harapannya sorotan mendadak sastra bagi para guru dapat terbantahkan.(*)

 Catatan:

Artikel opini ini ada di Buku "Guru Penulis dalam Sorotan" (SIP Publishing, 2020)


 


Agus Pribadi, S.Si. guru IPA SMP N 1 Kalimanah Purbalingga. Gemar membaca dan menulis cerpen. Telah menerbitkan beberapa buku baik fiksi maupun nonfiksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar