Pixabay.com
Agus
Pribadi, S.Si.
Beberapa tahun terakhir ini, terlihat
fenomena maraknya guru menulis dan menerbitkan buku. Hal itu didukung oleh
bertebarannya pelatihan penulisan buku, dan banyaknya penerbit buku yang
menyediakan kemudahan bagi para guru untuk menerbitkan buku, salah satunya
melalui jalur self publishing.
Fenomena tersebut setidaknya memunculkan
dua hal. Pertama, semakin banyak buku
yang ditulis oleh guru, baik buku fiksi maupun nonfiksi. Kedua, sorotan mengenai guru dan aktivitasnya dalam menulis buku.
Kualitas Buku
Menurut Idris Apandi (2017): Banyak jenis
buku yang bisa ditulis oleh guru. Misalnya menulis buku referensi, buku mata
pelajaran, buku suplemen, buku cerita, buku hasil penelitian, buku best practice, dan sebagainya. Intinya,
tergantung kepada bidang mapel yang diampu, dan minatnya. Intinya, guru
diharapkan dapat membangun dan mengembangkan budaya menulis. (Artikel
Kompasiana, 1 Maret 2017 bertajuk “Fenomena Guru Menulis dan Menerbitkan Buku”
penulis Idris Apandi).
Banyaknya guru yang berhasil menerbitkan
buku perlu disambut dengan baik, berarti gairah menulis di kalangan guru
meningkat. Hal itu sejalan dengan pengembangan keprofesian guru baik dalam hal
publikasi ilmiah maupun karya inovatif—salah satunya melalui penciptaan karya
seni sastra (puisi, cerpen, dan novel).
Sejalan dengan semangat pengembangan
keprofesian berkelanjutan, kualitas buku yang dihasilkan seyogianya senantiasa
ditingkatkan. Bagaimana standar sebuah buku terbit bisa menjadi acuan yang
senantiasa berusaha untuk dicapai dalam setiap penulisan buku.
Buku adalah muara dari kegiatan tulis
menulis. Jika kualitas buku yang dihasilkan baik, maka akan memiliki
kemanfaatan yang tinggi bagi pembacanya.
Guru Penulis
Sorotan ditujukan pada guru mengenai
aktivitasnya dalam menulis buku tertulis dalam berita berikut ini: “Pegiat
sastra di wilayah Banyumas mulai terusik dengan fenomena 'mendadak sastra'.
Gejala ini muncul di kalangan pendidik seperti guru untuk mengejar angka kredit
demi kenaikan golongan.” (Berita Suara Banyumas (SM), 27/2/2020 bertajuk
"Pegiat Sastra Terusik Fenomena Mendadak Sastra").
Sorotan mengenai mendadak sastra tersebut,
menurut hemat penulis cukup berlebihan mengingat fenomena pelatihan dan
penerbitan buku yang marak akhir-akhir ini bukan hanya diikuti oleh kalangan
guru, melainkan berbagai latar belakang usia dan profesi. Selain itu, banyak
guru yang memang sudah cukup lama menulis sastra yang diakui keberadaannya,
sebagai contoh: Mashdar Zainal, Farisal Sikumbang; keduanya penulis cerpen yang
karyanya telah beredar di media media massa. Selain mereka berdua tentu masih
banyak lagi guru yang aktif menulis sastra, misalnya Agustav Triono (Pegiat
sastra), Jefrianto (Pegiat sastra Jawa), dan masih banyak lagi. Mereka menulis
dan berkegiatan sastra tentunya berangkat dari minat dan bakat masing-masing, bukan
hanya untuk mengejar angka kredit untuk kenaikan pangkat dan golongan jabatan
guru.
Jikapun guru menulis buku sastra (puisi,
cerpen, dan novel) untuk tujuan mendapat angka kredit untuk kenaikan pangkat
dan golongan, itu sah-sah saja. Hal itu diatur dalam peraturan Menpan RB nomor
16 tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Dalam
peraturan itu, guru mata pelajaran apapun bisa menulis buku kumpulan puisi,
kumpulan cerpen, atau novel; dan ketiga buku itu termasuk karya inovatif kategori
seni sastra. Tentu ada aturan khusus agar ketiga jenis buku itu dapat lolos
penilaian angka kredit dan ada nilainya. Misalnya untuk buku kumpulan puisi
dengan penulis tunggal minimal 40 puisi dengan nilai angka kredit 4. Buku
kumpulan cerpen dengan penulis tunggal minimal 10 cerpen dengan nilai angka
kredit 4. Buku novel dengan penulis tunggal dengan nilai angka kredit 2.
Namun demikian, sorotan di atas bisa
dijadikan momentum bagi para guru di mana pun berada untuk lebih meningkatkan
kualitas tulisannya. Bagi yang memiliki minat dan bakat menulis sastra, bisa
terus berproses belajar melalui bacaan baik buku maupun lingkungan; seiring
terus mengasah kemampuan menulisnya agar semakin berkualitas. Keseriusan
menulis bisa dimulai dari kapanpun, namun kegiatan itu tak ada akhirnya seperti
jalan tak berujung. Dengan demikian, harapannya sorotan mendadak sastra bagi
para guru dapat terbantahkan.(*)
Agus Pribadi,
S.Si. guru IPA SMP N 1 Kalimanah Purbalingga.
Gemar membaca dan menulis cerpen. Telah menerbitkan beberapa buku baik fiksi
maupun nonfiksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar