Agus Pribadi
Sebagai salah satu orang yang
pernah aktif di komunitas Penamas, saya tergelitik saat membaca dua kalimat
terakhir yang ada pada paragraf penutup esai bertajuk “Mengingat Lagi Antologi
Iwak Gendruwo” yang ditulis oleh Hanenda Jayastu (Radar Banyumas, 20 Juni
2021). Dua kalimat tersebut tertulis:
Sebagai penutup, akhirnya muncul sebuah pertanyaan
sebagai orang yang sudah sangat lama tidak mengikuti persastraan di Banyumas.
Bagaimana kondisi Penamas di tahun 2021 ini dan karya apa saja yang telah
mereka lahirkan?
Esai tersebut seperti
membangkitkan kembali romantisme berkomunitas Penamas yang jika menggunakan
patokan karya bersama berarti sudah vakum selama tujuh tahun. Karya terakhir Penamas
berupa Buku Antologi Cerkak Iwak Gendruwo (2014). Pada tahun 2014 itu dan
beberapa tahun sebelumnya, kami memiliki semangat bersama untuk belajar menulis
di grup Facebook Penamas (Para Penulis Muda Banyumas). Di media itu, kami biasa memposting tulisan
berupa cerpen, cerkak, puisi, dan tulisan lainnya. Kami biasa pula memberikan
masukan pada tulisan-tulisan yang diposting di sana. Grup Facebook itulah yang
menjadi cikal bakal berdirinya komunitas Penamas pada 17 Agustus 2011. Meski
kami menamakan diri penulis muda Banyumas, tetapi anggotanya terdiri dari
beragam usia dan latar belakang. Semangat “muda” para anggota yang senantiasa
kami pupuk pada waktu itu.
Dalam pemikiran saya pada
waktu itu, Penamas bisa bermakna sebagai individu dan sebagai komunitas.
Penamas sebagai individu berarti ruh penamas (pena emas) melekat dalam diri
para anggotanya masing-masing yang terwujud dalam karya para anggotanya sampai
saat ini. Penamas sebagai komunitas berarti gerak langkah komunitas dalam
melakukan aktivitasnya termasuk dalam menghasilkan karya tulisan.
Jika dilihat sebagai
komunitas, memang setelah tahun 2014 Penamas sudah tidak menghasilkan karya
bersama. Namun, jika dilihat Penamas sebagai semangat menulis yang melekat
dalam diri para anggotanya, tentu akan lain hasilnya. Meski mungkin tidak
semuanya, sampai saat ini masih banyak anggota Penamas yang aktif menulis
sesuai bidangnya masing-masing. Kalau boleh menyebut beberapa nama diantaranya
adalah Agustav Triono, Arsyad Riyadi, Singgih Swasono, dan sejumlah nama
lainnya. Agustav Triono aktif menulis puisi, sampai saat ini karya-karyanya
kerap muncul di sejumlah media. Agustav juga menulis cerkak, terjemahan, dan
tulisan lainnya. Arsyad Riyadi aktif menulis tema-tema pendidikan sesuai dengan
latar belakangnya saat ini sebagai Pengawas Sekolah di Dinas Pendidikan
Kabupaten Purbalingga. Arsyad juga seorang blogger yang aktif memposting
tulisan-tulisannya di blognya tersebut. Keduanya juga berkecimpung di dunia
teater dan sempat mengelola media online sastra Teplok.id. Sementara itu
Singgih Swasono masih tetap konsisten menulis khususnya bidang pertanian dan
kuliner.
Menilik keaktifan Penamas
dalam rentang 2011 – 2014, maka sebelum dan sesudahnya ada komunitas-komunitas
lainnya yang ikut meramaikan dunia sastra di Banyumas. Pada periode sebelumnya,
salah satu komunitas menulis yang ada adalah Himpunan Penulis Muda (HPM)
Banyumas di era 70-an yang di dalamnya ada nama Hindaryoen NTS, Dharmadi, dan
lain-lain. Pada beberapa tahun terakhir, terlihat aktif berbagai komunitas yang
ada di Banyumas Raya, sebut saja KPI (Komunitas Penyair Institute), SKSP (Studi
Kepenulisan Sastra Peradaban), Katasapa (Komunitas Teater Sastra Perwira), Komunitas
Sastra Pinggiran, dan lain sebagainya. Dan yang masih hangat beberapa waktu
yang lalu diluncurkan Buku Antologi Karya Sastra Para Penulis Banyumas Kembang
Glepang 2 yang diprakarsai oleh Dewan Kesenian Kabupaten Banyumas bekerja sama
dengan Radar Banyumas dan Majalah Ancas.
Jika menilik alur sejarah
sebelum dan pasca keaktifan Penamas tersebut, maka masih perlukah Penamas untuk
bangkit kembali? Atau biarlah Penamas menjadi “anak zaman”-nya saat itu, dan
biarkan arus sejarah berputar? (*)
Catatan: Esai ini dimuat di Radar Banyumas (20 Juni 2021)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar