pixabay.com
Cerpen Agus Pribadi
Adnan ye ami sabasamaya bhalabasi[1],
Aku masih mengingatmu sampai kini. Dua puluh tahun penantian ini, tak
juga membuahkan hasil. Kau tak juga datang menemuiku di Dhaka. Kabar dari Tania—salah
seorang teman kuliah kita dulu, kau tinggal di Islamabad.
Kalung dengan bandul berbentuk ikan ini masih melingkar di leherku. Dulu
kau memberikannya kepadaku sebagai tanda kau memilihku sebagai kekasih hatimu,
meski Tania juga menaruh harap kepadamu. Tania memang sahabat terbaikku. Dia
menghormati keputusanmu yang memilihku daripada memilihnya. Bahkan ketika kau
menghilang dalam peristiwa berdarah saat demonstrasi dulu, Tania begitu aktif
mencari tahu di mana keberadaanmu, hingga kabar terbaru darinya kau masih hidup
dan menetap di ibu kota Pakistan itu.
Masih teringat, waktu itu tanggal 21 Februari 1952[2]—pagi
sekali, kau pamit padaku untuk berdemonstrasi bersama teman-temanmu.
“Muna …, aku akan berjuang bersama teman-teman dan masyarakat
Bangladesh. Bahasa Bengali harus sejajar dengan Bahasa Urdu sebagai bahasa
nasional. Kami memprotes pemerintah yang meminggirkan bahasa kita. Walau nyawa
taruhannya, kami rela memperjuangkannya.” Aku hanya menunduk.
“Aku pasti akan kembali menemuimu, dan kita akan menikah setelah kita
lulus dari kampus ini. Pakailah selalu kalung ini,” ucapmu lagi sambil
memakaikan kalung berbandul ikan ke leherku. Aku hanya mengangguk sambil
menahan embun-embun yang berdesakan ingin keluar dari mataku. Embun-embun itu
pun akhirnya tak mampu kutahan lajunya, kemudian bergelantungan di tepi kelopak
mataku sebelum akhirnya jatuh ke pipiku. Kau mengusapnya dengan jari tanganmu.
Sesaat aku bersandar di dadamu yang sekokoh karang.
“Aku pasti akan kembali menemuimu, Priya[3],”
ucapmu lagi seperti menjawab kegalauan hatiku.
“Aku ikut ….”
“lebih baik kau di rumah saja.”
Kakiku bergetar melepas kepergianmu. Keadaan sedang tak menentu. Media
massa memberitakan: pemerintah melarang keras kegiatan demonstrasi. Para polisi
anti huru-hara berjaga-jaga di sudut-sudut kota. Kau beserta teman-teman
bersikeras untuk tetap berjuang agar tuntutan suara hati rakyat Bangladesh dikabulkan.
Beberapa jam kemudian, aku mendengar kabar kegiatan demonstrasi yang kau
lakukan bersama teman-teman dan masyarakat menimbulkan korban jiwa. Ada
beberapa mahasiswa yang mati ditembaki polisi.
Aku dan Tania mencarimu di rumah sakit, barangkali kau menjadi salah
satu korban yang tertembak. Barangkali tetes-tetes darah di sepanjang koridor
rumah sakit berasal dari tubuhmu. Aku tak menemukanmu. Aku bersyukur karena
berarti kemungkinan kau masih hidup lebih besar daripada aku menemukanmu
terkapar dengan dada berlubang oleh peluru yang ditembakkan polisi.
Berhari-hari aku menunggumu untuk menemuiku, tetap saja kamu menghilang.
Aku mencoba mengikuti berita-berita di media massa, dan tak satu pun media massa
yang memberitakan tentang dirimu. Hari demi hari berlalu, tak terasa
bertahun-tahun aku menunggu dan mencarimu. Tania sudah menikah dengan seorang
lelaki pilihannya dan memiliki tiga orang buah hati—satu lelaki dan dua
perempuan—yang lucu dan menggemaskan, sementara aku masih setia dengan
kesendirian ini. Hanya lamunan-lamunan yang kadang menghanyutkanku tentang kita
yang menikah dan memiliki buah hati yang juga lucu dan menggemaskan. Aku akan
selalu menununggu kedatanganmu sampai kapanpun, karena aku yakin kau masih
hidup dan akan datang padaku sesuai janjimu dulu.
Adnan amara atmana bandhu[4],
Aku menulis surat ini dalam bahasa Bengali—bahasa yang dulu kamu
perjuangkan bersama teman-teman agar diperlakukan sejajar dengan bahasa Urdu.
Semoga kau tetap suka membacanya. Aku berharap setelah kau membaca surat ini,
kau juga menulis surat balasan padaku dalam bahasa Bengali. Setahun yang lalu telah
muncul negara baru, yakni negara di mana kini aku tinggal sehingga kita berada
di dua negara yang berbeda—aku berada di timur (Bangladesh), dan kau berada di
barat (Pakistan)—meski aku yakin hati kita satu.
***
Muna dayalu ebam sundara[5],
Aku mewakili Adnan menulis surat ini. Sebagai seorang ibu yang
melahirkannya, aku merasa bisa mewakilkan perasaannya kepadamu saat ini.
Sebagai seorang perempuan, aku bisa merasakan perasaanmu yang selalu berada
dalam penantian seorang lelaki yang berjanji akan kembali menemuimu.
Sebagaimana aku, dulu pernah sekian lama menunggu seorang lelaki dan akhirnya
aku bisa hidup bersama lelaki itu yang kini menjadi suamiku. Sehari setelah
kejadian demonstrasi berdarah itu, suamiku mengajakku dan Adnan untuk menetap
di Islamabad. Suamiku memiliki usaha di Islamabad, ia ingin mengembangkan
usahanya di sana.
Aku dan Adnan pun mengikuti ajakan suamiku. Perlu kau tahu, sejak kecil
Adnan sangat dekat dengan ayahnya. Adnan tak pernah menolak permintaannya,
termasuk kepindahan kami keluar dari Dakha yang sedang ricuh waktu itu. Kau
tidak salah mengirim surat ke alamat yang tertera dalam amplop surat yang kau
kirim ini. Namun, setahun yang lalu Adnan menghadap Yang Kuasa. Ia mengalami
kecelakaan saat mengendarai sepeda motor. Adnan sempat dibawa ke rumah sakit,
tapi nyawanya tak tertolong karena pendarahan hebat di kepalanya akibat sebuah benturan
yang teramat keras.
Adnan ingin sekali menemuimu di Dakha, tapi ayahnya melarangnya. Sebagai
anak yang dekat dengan ayahnya, Adnan memenuhi keinginan ayahnya. meski sebagai
ibu yang melahirkannya aku tahu, perasaan hatinya selalu bergejolak antara
memenuhi janjinya menemuimu atau memenuhi perintah ayahnya. Adnan menjadi
berubah, ia sering melamun, bahkan ketika sedang mengendarai sepeda motor pun
ia kerap melamun. Kejadian kecelakaan itu pun, kemungkinan Adnan sedang melamun
sehingga ketika akan berbelok ke kanan ia tak tahu kalau ada mobil yang melaju
begitu kencang di sebelah kanan sepeda motor yang dikendarainya. Tabrakanpun
tak dapat dihindari.
***
Aku sungguh senang ketika menerima balasan surat darimu—lebih senang
lagi karena alamat yang tertulis dalam bahasa Bengali, pasti isinya juga dalam
bahasa yang sama. Tak sabar aku masuk ke kamar dan dengan dada berdebar-debar
aku buka sampul surat berwarna merah muda itu. Aku buka lipatan kertas yang ada
di dalam amplop, dan mulai aku mulai membaca …(*)
Banyumas, 8 November 2020
[1] yang selalu
kucintai
[2] UNESCO
menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional yang mulai
diperingati tahun 2000
[3] sayang
[4] Belahan jiwaku
[5] Yang baik hati
dan cantik
Keterangan: Cerpen ini termaktub dalam buku Masa Depan Koin (Penerbit Rumah Kreatif Wadas Kelir, 2020)
Profil Penulis
Agus Pribadi, Pendidik di sebuah SMP di Purbalingga. Pemenang Harapan Sayembara Penulisan Cerita Bermuatan Lokal Bagi
Guru Balai Bahasa Jawa Tengah 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar