Minggu, 26 September 2021

Surat untuk Adnan


pixabay.com


Cerpen Agus Pribadi

 

 

Adnan ye ami sabasamaya bhalabasi[1],

Aku masih mengingatmu sampai kini. Dua puluh tahun penantian ini, tak juga membuahkan hasil. Kau tak juga datang menemuiku di Dhaka. Kabar dari Tania—salah seorang teman kuliah kita dulu, kau tinggal di Islamabad.

Kalung dengan bandul berbentuk ikan ini masih melingkar di leherku. Dulu kau memberikannya kepadaku sebagai tanda kau memilihku sebagai kekasih hatimu, meski Tania juga menaruh harap kepadamu. Tania memang sahabat terbaikku. Dia menghormati keputusanmu yang memilihku daripada memilihnya. Bahkan ketika kau menghilang dalam peristiwa berdarah saat demonstrasi dulu, Tania begitu aktif mencari tahu di mana keberadaanmu, hingga kabar terbaru darinya kau masih hidup dan menetap di ibu kota Pakistan itu.

Masih teringat, waktu itu tanggal 21 Februari 1952[2]—pagi sekali, kau pamit padaku untuk berdemonstrasi bersama teman-temanmu.

“Muna …, aku akan berjuang bersama teman-teman dan masyarakat Bangladesh. Bahasa Bengali harus sejajar dengan Bahasa Urdu sebagai bahasa nasional. Kami memprotes pemerintah yang meminggirkan bahasa kita. Walau nyawa taruhannya, kami rela memperjuangkannya.” Aku hanya menunduk.

“Aku pasti akan kembali menemuimu, dan kita akan menikah setelah kita lulus dari kampus ini. Pakailah selalu kalung ini,” ucapmu lagi sambil memakaikan kalung berbandul ikan ke leherku. Aku hanya mengangguk sambil menahan embun-embun yang berdesakan ingin keluar dari mataku. Embun-embun itu pun akhirnya tak mampu kutahan lajunya, kemudian bergelantungan di tepi kelopak mataku sebelum akhirnya jatuh ke pipiku. Kau mengusapnya dengan jari tanganmu. Sesaat aku bersandar di dadamu yang sekokoh karang.

“Aku pasti akan kembali menemuimu, Priya[3],” ucapmu lagi seperti menjawab kegalauan hatiku.

“Aku ikut ….”

“lebih baik kau di rumah saja.”

Kakiku bergetar melepas kepergianmu. Keadaan sedang tak menentu. Media massa memberitakan: pemerintah melarang keras kegiatan demonstrasi. Para polisi anti huru-hara berjaga-jaga di sudut-sudut kota. Kau beserta teman-teman bersikeras untuk tetap berjuang agar tuntutan suara hati rakyat Bangladesh dikabulkan.

Beberapa jam kemudian, aku mendengar kabar kegiatan demonstrasi yang kau lakukan bersama teman-teman dan masyarakat menimbulkan korban jiwa. Ada beberapa mahasiswa yang mati ditembaki polisi.

Aku dan Tania mencarimu di rumah sakit, barangkali kau menjadi salah satu korban yang tertembak. Barangkali tetes-tetes darah di sepanjang koridor rumah sakit berasal dari tubuhmu. Aku tak menemukanmu. Aku bersyukur karena berarti kemungkinan kau masih hidup lebih besar daripada aku menemukanmu terkapar dengan dada berlubang oleh peluru yang ditembakkan polisi.

Berhari-hari aku menunggumu untuk menemuiku, tetap saja kamu menghilang. Aku mencoba mengikuti berita-berita di media massa, dan tak satu pun media massa yang memberitakan tentang dirimu. Hari demi hari berlalu, tak terasa bertahun-tahun aku menunggu dan mencarimu. Tania sudah menikah dengan seorang lelaki pilihannya dan memiliki tiga orang buah hati—satu lelaki dan dua perempuan—yang lucu dan menggemaskan, sementara aku masih setia dengan kesendirian ini. Hanya lamunan-lamunan yang kadang menghanyutkanku tentang kita yang menikah dan memiliki buah hati yang juga lucu dan menggemaskan. Aku akan selalu menununggu kedatanganmu sampai kapanpun, karena aku yakin kau masih hidup dan akan datang padaku sesuai janjimu dulu.

Adnan amara atmana bandhu[4],

Aku menulis surat ini dalam bahasa Bengali—bahasa yang dulu kamu perjuangkan bersama teman-teman agar diperlakukan sejajar dengan bahasa Urdu. Semoga kau tetap suka membacanya. Aku berharap setelah kau membaca surat ini, kau juga menulis surat balasan padaku dalam bahasa Bengali. Setahun yang lalu telah muncul negara baru, yakni negara di mana kini aku tinggal sehingga kita berada di dua negara yang berbeda—aku berada di timur (Bangladesh), dan kau berada di barat (Pakistan)—meski aku yakin hati kita satu.

***

Muna dayalu ebam sundara[5],

Aku mewakili Adnan menulis surat ini. Sebagai seorang ibu yang melahirkannya, aku merasa bisa mewakilkan perasaannya kepadamu saat ini. Sebagai seorang perempuan, aku bisa merasakan perasaanmu yang selalu berada dalam penantian seorang lelaki yang berjanji akan kembali menemuimu. Sebagaimana aku, dulu pernah sekian lama menunggu seorang lelaki dan akhirnya aku bisa hidup bersama lelaki itu yang kini menjadi suamiku. Sehari setelah kejadian demonstrasi berdarah itu, suamiku mengajakku dan Adnan untuk menetap di Islamabad. Suamiku memiliki usaha di Islamabad, ia ingin mengembangkan usahanya di sana.

Aku dan Adnan pun mengikuti ajakan suamiku. Perlu kau tahu, sejak kecil Adnan sangat dekat dengan ayahnya. Adnan tak pernah menolak permintaannya, termasuk kepindahan kami keluar dari Dakha yang sedang ricuh waktu itu. Kau tidak salah mengirim surat ke alamat yang tertera dalam amplop surat yang kau kirim ini. Namun, setahun yang lalu Adnan menghadap Yang Kuasa. Ia mengalami kecelakaan saat mengendarai sepeda motor. Adnan sempat dibawa ke rumah sakit, tapi nyawanya tak tertolong karena pendarahan hebat di kepalanya akibat sebuah benturan yang teramat keras.

Adnan ingin sekali menemuimu di Dakha, tapi ayahnya melarangnya. Sebagai anak yang dekat dengan ayahnya, Adnan memenuhi keinginan ayahnya. meski sebagai ibu yang melahirkannya aku tahu, perasaan hatinya selalu bergejolak antara memenuhi janjinya menemuimu atau memenuhi perintah ayahnya. Adnan menjadi berubah, ia sering melamun, bahkan ketika sedang mengendarai sepeda motor pun ia kerap melamun. Kejadian kecelakaan itu pun, kemungkinan Adnan sedang melamun sehingga ketika akan berbelok ke kanan ia tak tahu kalau ada mobil yang melaju begitu kencang di sebelah kanan sepeda motor yang dikendarainya. Tabrakanpun tak dapat dihindari.

***

Aku sungguh senang ketika menerima balasan surat darimu—lebih senang lagi karena alamat yang tertulis dalam bahasa Bengali, pasti isinya juga dalam bahasa yang sama. Tak sabar aku masuk ke kamar dan dengan dada berdebar-debar aku buka sampul surat berwarna merah muda itu. Aku buka lipatan kertas yang ada di dalam amplop, dan mulai aku mulai membaca …(*)

Banyumas, 8 November 2020



[1] yang selalu kucintai

[2] UNESCO menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional yang mulai diperingati tahun 2000

[3] sayang

[4] Belahan jiwaku

[5] Yang baik hati dan cantik


Keterangan: Cerpen ini termaktub dalam buku Masa Depan Koin (Penerbit Rumah Kreatif Wadas Kelir, 2020)


Profil Penulis

Agus Pribadi, Pendidik di sebuah SMP di Purbalingga. Pemenang Harapan Sayembara Penulisan Cerita Bermuatan Lokal Bagi Guru Balai Bahasa Jawa Tengah 2020.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar