Minggu, 26 September 2021

Perempuan Itu

 


Cerpen Agus Pribadi

 

Perempuan itu terlihat kepayahan, sedang menuntut sepeda motor. Sebentar-sebentar ia mengusap keringat di lehernya yang seperti terpanggang matahari. Setelah semakin dekat, ternyata sepeda motor revo warna hitam itu mesinnya tidak menyala. Mungkin kehabisan bensin, atau ban sepeda motornya kempis, atau ada sebab lain? Aku bertanya dalam hati dari sini—dari warung cuci motor milikku.

Sepertinya aku tak berkaca pada diri, tak melihat githok. Bagaimana mau melihat tengkuk sendiri kalau letaknya di bagian bawah kepala bagian belakang. Muskil. Kecuali kalau sedang cukur di warung pangkas rambut milik Pak Mad. Tengkuk sendiri bisa dilihat dari perpaduan dua cermin besar dan kecil yang ada di bagian depan dan belakang orang yang sedang dicukur.

Aku peduli pada keadaan orang lain, sedangkan aku abai pada nasibku sendiri yang mengenaskan—sudah berumur 40 tahun tapi belum memiliki kekasih hati. Aku hanya tinggal bersama ibuku yang sudah sepuh. Tiap malam aku tidur kedinginan berteman angin dari sawah depan rumah yang menyelusup melalui lubang angin kamarku yang seperti sarang Bajing.

Hari ini aku baru mendapat satu pelanggan yang mencuci sepeda motornya. Uang sepuluh ribu yang kusut dan kusam dari satu-satunya pelanggan itu ada di kotak. Kondisi pandemi saat ini yang entah sampai kapan akan berhenti, menambah semakin sepinya warungku.

“Permisi Pak, saya mau ada perlu.” Saat sudah berada di depan warungku, perempuan itu—yang rambutnya lurus sebahu—berbicara dengan suara halus dan senyumnya semanis madu. Air liur aku tahan agar tidak keluar dari mulutku. Kok tidak memanggil “mas” ya, sebegitu terlihat tuakah diriku?

“Pak …, kok malah melamun, melamunkan saya ya?” Aku belum sempat menyahut, perempuan itu—yang lesung pipitnya menggodaku—bertanya lagi, sambil membetulkan letak masker sekali pakai yang talinya sempat terlepas dari salah satu telinganya sehingga pipinya yang ranum dan berlesung pipit itu terlihat semakin menarik. Kok ada perempuan cantik yang mau bercanda denganku, jangan-jangan ia suka padaku?

“Eh … iya Mbak, maaf aku kamitenggengen—kakiku seperti lengket ke tanah—karena ada bidadari lewat, kepripun Mba?” Aku menimpali semampuku, entah itu berupa rayuan atau lelucon garing menurutnya. Perempuan itu—umurnya sekira 30 tahun—kemungkinan besar bukan gadis, boleh jadi sudah punya suami atau kemungkinan lainnya seorang janda.

“Begini Pak, saya mau minta tolong, saya kehabisan bensin dan dompet saya ketinggalan di rumah. Tadi saya tergesa-gesa mau main ke tempat sepupu di kampung sebelah. Saya mau meminjam uang sepuluh ribu buat beli bensin.”

Aku terdiam sejenak. Bukannya tak memahami perkataannya. Heran saja, perempuan berpenampilan semenawan itu kok mau meminjam uang sepuluh ribu. Perempuan itu juga entah siapa dan entah di mana alamatnya. Selama ini aku belum pernah melihatnya. Lagi pula uang sepuluh ribu adalah pemasukanku hari ini—satu-satunya yang ada di dalam kotak. Kalau uang itu aku pinjamkan padanya berarti aku sudah tidak punya uang lagi.

“Bagaimana Pak, dimintai tolong kok cuma garuk-garuk kepala, bisa apa nggak?” Suaranya yang halus terdengar seperti meniup keras telingaku yang lebar.

“E … iya Mbak, aku ada uang.” Seperti terhipnotis, aku mengambil uang yang ada di kotak dan langsung kuberikan padanya. Mungkian karena aku sudah terpesona atau kerinduanku untuk memiliki pendamping hidup.

“Terima kasih sekali Pak, lusa saya ke sini mengembalikan uang yang saya pinjam. Sekali lagi terima kasih Pak, jarang ada orang sebaik Anda.” Entah hanya memuji atau memang benar adanya, aku seperti terbang ke langit biru bersamanya.

Setelah menerima uang dariku, perempuan itu melanjutkan menuntun sepeda motornya.

***

Hari ini lumayan, aku mendapat tiga orang pelanggan yang mencuci sepeda motornya. Warungku aku tutup lebih gasik karena aku akan potong rambut. Besok perempuan itu berjanji akan datang mengembalikan uang yang aku pinjamkan. Aku harus tampil menawan, siapa tahu ia jodohku yang selama ini tertawan. Setelah selesai menutup warung, aku melaju di atas sepeda motor bututku menuju warung cukur Pak Mad.

Aku menjumpai Pak Mad sedang duduk melamun, dan ia sepertinya kaget ketika aku datang.

“Wah lama kamu gak ke sini ya, Ran?” tanya Pak Mad menyambut kedatanganku.

“Ya … lumayan. Ini rambutku sudah gondrong minta dipangkas.” Aku duduk di depan cermin besar dan aku bisa melihat tengkukku sendiri karena di bagian belakang ada cermin kecil.

“Wah tumben kamu mau potong rambut, biasanya kamu biarkan gondrong. Ini pasti kamu sedang kesengsem sama janda ya?”

“Ha … ha … ha …!”

Kami tergelak bersama. Salah satu hiburan untuk melipur diri kami masing-masing dari keadaan yang tak menentu ini.

“Pak Mad tahu saja.”

“Siapa?” sahut Pak Mad sambil tangannya memainkan gunting merapikan rambutku yang sebelumnya acak-acakan.

“Ada deh ….”

Ketika baru saja Pak Mad mengoleskan bedak dan mengerik bagian tepi rambutku—bagian akhir dari proses cukur—aku melihat sepintas seorang perempuan yang memarkirkan sepeda motor di depan warung. Ah, sepertinya aku mengenal perempuan itu, jangan-jangan …

Ternyata tak salah lagi, dia perempuan berlesung pipit itu.

Aku belum juga beranjak meski Pak Mad sudah menyelesaikan tugasnya merapikan rambutku. Kini ia menemui perempuan itu.

Di belakangku, perempuan itu sedang bercakap-cakap dengan Pak Mad. Aku bisa melihatnya dari cermin di depanku. Isi percakapan mereka hampir sama  seperti yang kemarin juga aku percakapkan dengan perempuan itu. Pak Mad seorang duda yang ditinggal pergi istrinya bekerja di luar negeri selama puluhan tahun dan tak pernah kembali. Sepertinya Pak Mad juga terpikat dengan bujuk rayunya.

Ini tidak beres. Kakiku seperti kram. Dari cermin, aku melihat Pak Mad sedang mengulurkan selembar uang sepuluh ribu kepadanya. Saat perempuan itu sudah mengucapkan terima kasih pada Pak Mad dan meniggalkannya, aku baru bisa menggerakkan kakiku.

“Aku juga kemarin meminjaminya uang sepuluh ribu padanya,” ucapku pada Pak Mad. Si tukang pangkas rambut itu seperti akan mengejarnya tapi urung. Perempuan itu sudah menghilang di perempatan jalan, entah melaju ke arah mana.

“Aduh aku tertipu ini. Ekonomi sedang sulit seperti ini, uang diberikan cuma-cuma pada orang lain.” Pak Mad menepuk keningnya yang lebar seperti cermin di dalam warungnya. (*)

Banyumas, 3 Agustus 2021

 Catatan: cerpen ini termaktub dalam buku Antologi Lupa Luka (SIP Publishing, 2021)

Biodata Penulis

Agus Pribadi berprofesi sebagai guru IPA di SMP Negeri 1 Kalimanah Purbalingga Jawa Tengah. Cerpen-cerpennya termaktub di Kompas.id, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Radar Banyumas, dan lain-lain. Buku terbarunya sebuah kumpulan cerpen berjudul Lelaki Penjaring Ikan dan Gadis di Tepi Hutan ( SIP Publishing, 2021)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar