Oleh Agus Pribadi
Bagian 1
Pulang dari
sekolah,
wajah Arman
terlihat lesu.
Ia
masuk ke kamar tanpa sepatah katapun pada ibunya. Biasanya dia akan menuju
ke depan,
ke warung nasi milik ibunya,
dan akan menyapa ibunya yang sedang berada di warung itu. Barangkali ibunya sedang
melayani para pembeli atau sedang mencuci piring. Namun, kali ini Arman langsung
masuk ke dalam
kamarnya entah apa yang terjadi sebelumnya di sekolah atau pada saat perjalanan
pulang ke rumah.
Ketika Martini mengetahui Arman
langsung masuk ke dalam kamar,
Martini
menyusulnya ke dalam kamar Arman tetapi pintu kamar Arman tertutup sehingga Martini tidak bisa berbuat
apa-apa.
Ingin
ia mengetuk
pintu kamar anaknya itu,
tetapi ia urungkan karena takut anaknya merasa terganggu maka Martini kembali lagi ke dalam
warung.
Setelah berganti baju, Arman melihat empat ekor cecak yang ada di dinding
dan atap kamarnya.
Cecak-cecak itu hanya diam tanpa
bergerak ke mana-mana, entah apa sebabnya, apakah sedang malas atau
karena seharian lapar menunggu nyamuk-nyamuk yang tidak juga datang. Namun, hal itu tidak menarik
perhatiannya,
Arman lebih tertarik menerawang ke kejadian tadi sebelum pulang sekolah sebelum
ia naik bus.
Ia dihampiri oleh Ayu teman satu kelasnya di kelas 3 SMA di sebuah kota kecil. Biasanya Ayu dijemput oleh
ayahnya dengan mobil tapi kali ini sepertinya Ayu ingin pulang bersama-sama
dengan Arman naik bus.
Di
bawah sebuah pohon tidak jauh dari SMA di tepi jalan Ayu menghampiri Arman. Kebetulan Arman agak jauh
dari teman-temannya yang lain ketika menunggu bus sehingga Ayu bisa dengan mudah untuk menghampiri dan mengobrol dengan Arman.
“Aku ingin pulang bareng
kamu,”
kata Ayu
pada Arman yang pandangannya tetap
lurus ke depan.
“Kenapa pulang bareng aku? Apa kamu tidak mual nanti
kalau naik
bus?” tanya Arman.
“Nggak apa-apa kok, aku juga pernah beberapa
kali naik bus.”
Sebenarnya ada bus
yang lewat,
tetapi karena penumpangnya cukup penuh Arman belum juga beranjak untuk naik bus menuju ke rumahnya, sedangkan Ayu sepertinya
mengikuti saja dengan Arman mau
memilih bus
yang mana yang akan dinaikinya.
Sementara
teman-teman yang lain sebagian sudah naik bus yang berhenti dan
kondekturnya berteriak-teriak agar anak-anak berseragam putih abu-abu yang
menunggu segera naik ke bus.
Ini kali terakhir mereka pulang bersama. Hari ini
ijazah sudah berada di tangan mereka.
“Mau melanjutkan ke mana?” tanya Ayu.
“Saya enggak akan ke mana-mana?”
“Kenapa?”
“Nggak ada biaya.”
“Kalau aku mungkin akan
melanjutkan ke fakultas biologi.
Maukah
kamu kuliah bareng aku?”
Ayu seperti merajuk,
tapi Arman sepertinya cuek saja sambil melihat lalu
lalang kendaraan dan beberapa temannya yang sibuk berebut tempat duduk
di dalam bus yang akan dinaiki oleh mereka.
“Kan aku sudah katakan
nggak ada biaya.”
“Apa kamu sudah tidak mau
bersama aku lagi,” ucap
Ayu sambil menatap mata Arman.
Ditatap
Ayu seperti itu Arman mencoba menghindarinya.
“Untuk mewujudkan komitmen
apa kita harus belajar dalam hal yang sama? Kamu kan tahu ayahku hanya petani
penggarap sawah sementara ibuku hanya berjualan di warung yang sederhana.”
Ayu ingin menimpali ucapan Arman, tetapi sebuah
bus melintas dengan penumpang yang tidak terlalu penuh. Hal itu dimanfaatkan Arman untuk menghindari
percakapan tentang topik yang tidak disukainya itu.
“Ayo kita naik!” seru Arman sambil menggandeng
tangan Ayu yang
mengikuti
saja sedikit berlari bersama Arman menuju ke bus yang berhenti tepat di
depannya.
Arman dan Ayu duduk berdua di bangku yang kosong dekat pintu bus.
Kali
ini mereka tidak bercakap-cakap,
barangkali mereka
mencoba merasakan dan menghayati kecamuk yang ada di dalam hati mereka
masing-masing saat ini.
Ayu
sedikit memiringkan tubuhnya ke bahu Arman. Rambutnya yang hitam sebahu tertiup angin, menyentuh bahu Arman menguarkan aroma wangi sampo di hidung Arman.
Bus berhenti di
sebuah pertigaan jalan besar.
Arman dan Ayu turun untuk kemudian naik lagi angkutan pedesaan yang sudah lama
menunggu para penumpang.
Tak lama setelah Arman dan Ayu naik angkutan pedesaan
perlahan tapi pasti mobil
berwarna kuning itu meluncur menuju ke sebuah kampung di mana mereka tinggal.
***
Di dalam kamar, Arman memikirkan perihal Ayu. Dari kelas 1 sampai kelas
3 SMA mereka selalu berada di kelas yang sama.
Jika ada PR menulis puisi dari guru Bahasa Indonesia,
maka Ayu
akan meminta
diajari atau dibuatkan puisi
oleh Arman. Hal
itu bermula saat Ayu tidak sengaja membaca puisi yang ditulis oleh Arman di
bagian akhir buku tulis
Arman. Meski puisi itu tidak ditujukan pada
siapa-siapa,
tapi Ayu merasa kalau puisi itu ditujukan untuk dirinya. Berawal dari menyukai
puisi-puisi Arman, Ayu
juga menyukai sosok Arman.
Jika Ayu lebih suka
bermain bola basket dengan teman-temannya, maka Arman lebih suka duduk berlama-lama di
pojok perpustakaan sekolah seorang diri sambil membaca buku-buku yang disukainya.
Arman lebih suka membaca buku-buku kumpulan cerpen, novel, kumpulan puisi atau buku-buku yang
lainnya.
Jika Ayu melihat Arman sedang menuju ke perpustakaan sekolah,
maka ia akan mengikuti Arman.
Ayu
akan menemani Arman memilih-milih buku atau membaca buku. Ayu suka bermain bola basket
bersama teman-teman,
tapi ia juga suka membaca buku seperti Arman walaupun tidak sesering Arman
menuju ke perpustakaan.
Meski tidak terucap hubungan mereka seperti dimulai
sejak duduk di
kelas 1 ketika awal-awal Ayu
mengenal puisi-puisi Arman yang di tulisnya di buku tulis Arman. Membaca puisi-puisi Arman, hati Ayu seperti merasa
ada ketenangan, dan
seperti bercermin dalam puisi-puisi itu.
***
Lamunan Arman
terhenti saat Martini
mengetuk pintu kamarnya yang tertutup rapat. Setelah Arman membuka pintu sedikit kemudian Martini masuk ke kamar Arman.
“Hari sudah sore, kamu
belum makansiang,
Arman?”
“Nanti saja, Emak. Aku belum lapar.”
“Emak ambilkan ya?” Arman tak menyahut, tapi selang beberapa menit
kemudian Martini
sudah kembali ke kamar Arman dengan sepiring nasi beserta lauk pauknya, dan 1 gelas teh hangat.
***
Pagi hari, Arman sudah mengenakan baju putih lengan
panjang dan celana panjang hitam. Rambutnya yang agak panjang dan belum dicukur
disisir rapih. Barangkali ini kali pertama sejak tiga bulan yang lalu ia
dinyatakan lulus dari SMA pada selembar kertas yang bernama ijazah.
“Mau kemana kamu, Arman. Tumben berpakaian rapi,” kata
Martini ketika melihat anaknya sedang menyisir rambutnya.
“Aku mau melamar pekerjaan, Emak.”
“Alhamdulillah … ternyata anak emak yang ganteng ini
memiliki semangat untuk mencari kerja. Betul itu, jangan sampai Ayu direbut
orang lain loh …”
Arman hanya menyunggingkan senyum. Ia berpamitan pada
ibunya, diciumnya tangan Martini kemudian melangkah menuju jalan di dekat
rumah, menunggu angkutan pedesaan lewat.
Berbekal tas ransel hitam yang berisi berkas lamaran pekerjaan, Arman
melangkah pasti mendatangi lowongan pekerjaan yang diiklankan melalui pesawat
radio itu. Di dompetnya hanya berisi beberapa lembar uang dua puluh ribuan
pemberian Martini.
Sesampainya di tempat yang dituju, Arman disambut oleh
seorang ibu berumur sekitar 40 tahunan. Bajunya biasa saja tidak terlalu rapih.
Namun, Arman berpikiran kalau wanita ini adalah pemimpin kantor atau entah apa
namanya ini.
“Silahkan masuk,” ucap wanita berambut sebahu dan
berperawakan tidak terlalu tinggi itu.
Arman duduk di kursi depan meja kerja wanita itu.
Pandangan Arman menunduk seperti bawahan pada atasannya meskipun Arman belum
dinyatakan diterima di kantor itu.
“Coba saya lihat berkas lamaran pekerjaanmu.”
“Ini, Bu.” Arman menyodorkan stopmap berwarna biru
yang berisi berkas lamaran kerja berupa ijazah terakhir, pas foto, dan surat
lamaran kerja.
“Kamu saya nyatakan diterima,” ucap wanita itu setelah
beberapa saat memeriksa berkas lamaran pekerjaan milik Arman.
Arman terkesiap antara senang dan bingung. Ia
menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
“Selamat ya Mas,” wanita itu menyalami Arman yang masih
bingung. Kakinya masih seperti tidak menapak ke lantai.
“Hari ini kamu akan langsung mendapatkan training
bersama karyawan yang lama. Sekarang juga kamu ditugaskan untuk mengikuti Aldi
ke kota sebelah.” Pemuda yang dipanggil Aldi segera muncul memperkenalkan diri
kepada Arman, seperti sudah diatur skenarionya dengan manis.
Siang itu juga Arman bersama Aldi naik bus menuju ke
kota sebelah. Dengan perut yang mual dan perasaan campur aduk antara senang,
ragu, dan bingung Arman bertekad untuk menjalani masa training ini. Entah
training apa, Arman tidak mengetahuinya.
Di dalam bus, pemuda yang mendampingi Arman
menjelaskan panjang lebar bahwa training ini untuk melatih kemampuan negosiasi
dan kekuatan mental, dan hal-hal positif lainnya. Arman hanya manggut-manggut.
Turun dari bus, Arman langsung diajak menawarkan
barang dagangan dari rumah ke rumah. Arman hanya mendampingi Aldi dengan tekun
menawarkan barang dagangan meski belum juga ada yang membelinya meski sudah
menawarkannya ke beberapa orang.
Ketika akan menuju ke suatu tempat lagi dengan menaiki
bus, Arman memutuskan untuk tidak mau ikut. Arman memutuskan untuk cukup segini
saja training hari ini. Aldi pun tidak memaksa Arman untuk mengikutinya lagi.
Keduanya naik bus dengan arah yang berlawanan. Arman berniat untuk mengundurkan
diri dari training yang baru saja dijalaninya hari ini. Ia akan membicarakannya
baik-baik dengan wanita yang menjadi pemimpin kantor itu. Namun, sesampainya
Arman di kantor itu, ia tidak bertemu dengan wanita itu. Ia pun berpamitan
dengan seorang pria yang berumur 35 tahunan, entah sebagai apa di kantor itu.
***
Lebaran tahun ini Arman bertemu dengan Darsun, yakni adik ibunya. Darsun yang bekerja di kota
besar mengajak Arman untuk bekerja bersamanya.
“Ini alamat saya di kota besar, Man. Kapanpun kamu mau, kamu bisa bekerja
bersamaku di sana,”
ucap Darsun
sambil menyodorkan sebuah kartu nama.
“Terima kasih Paklik.” Hanya itu yang terucap
dari bibir Arman,
sementara Martini yang mendengar percakapan mereka ikut menimpali, “Iya Arman … kamu ikut Paklikmu saja di kota besar. Belajarlah mandiri, mencari uang sendiri,
jangan hanya di rumah
saja menulis puisi atau
entah apa itu yang nggak jelas!”
Arman
hanya diam saja.
“Tiga tahun aku meninggalkan kampung ini
sepertinya banyak kemajuan ya,
Yu?” ucap Darsun pada Martini.
“Iya pembangunan desa
lumayan pesat. Lurah
Darto,
ayahnya si Ayu itu kan gencar mengadakan pembangunan, memperbaiki jalan, membuat talud, dan lain-lain.”
“Oh begitu ya, Yu.”
“Bagaimana kabar istrimu, Sun? Kenapa tidak mau ikut ke sini?”
“Rini belum mau ikut, Yu … katanya masih malu
dengan kejadian dulu.”
“Ah … kejadian apa? Kami sudah melupakan dan
memaafkannya kok.
Lagi pula kamu kan sudah
bertanggung jawab menikahinya.”
“Iya Yu … Lebaran tahun depan akan
saya ajak ke sini bareng anak-anak.”
Ketika mereka bertiga sedang mengobrol tiba-tiba
datang Marno, ayah Arman yang baru pulang dari sawah dan membawa beberapa ekor
belut yang diikat dengan tali.
Marno hanya menyunggingkan senyum pada Darsun,
kemudian langsung menuju ke belakang. Sebenarnya Darsun ingin berbincang dengan
Marno tapi karena Marno langsung masuk ke belakang sehingga diurungkannya
keinginannya tersebut.
Keesokan harinya Darsun langsung berpamitan pada Martini
untuk pulang kembali ke kota. Marno tak sempat bercengkerama dengan marno,
karena pagi-pagi sekali ia harus segera naik bus menuju ke kota di mana ia
bekerja.(*)